Di Belahan Hati Yang Lain

Vitri Dwi Mantik
Chapter #2

Why New York?

“Eh... Ehm... Ngomong-ngomong... Apa definisi kalian tentang kesuksesan?” tanya Dena sambil menggigit sedotan dengan gugup.

Sabitha menjawab dengan ringkas dan ringan. “Tidak termakan oleh iming-iming hadiah yang mengalihkan perjuangan dan kerja keras kita.”

“I like that, Bitha!” Kata Dena akhirnya sambil menyedot jusnya.

“Apa maksudmu?” tanya Utari pada Sabitha meminta kejelasan. Utari selalu persis dalam segala hal, tapi dia merasa Sabitha selalu melakukannya dengan lebih baik. Sabitha lebih kalem, sangat baik dengan detail-detail, dan lebih on point, hal-hal yang sulit disaingi oleh jenis orang yang terlalu forward, relentless, ambitious seperti dirinya. “Apakah itu berarti kita nggak benar-benar bisa mengantisipasinya?"

“Yea! Gua setuju lo, Bith. And that can be the reason, menurut gue, Tari,” kata Erlan menunjuk Utari dengan sedotannya dengan gesture yang sangat manly. Utari merebut sedotan itu, sambil lalu dia mengacungkannya kemudian menaruhnya di atas meja. Dibalas Erlan dengan mengangkat kedua tangannya sambil bergidik.

“Don't shrug like that, that's so gay!” Kata Utari sambil melotot pada Erlan.

Erlan mengerutkan kening dengan mulut terkatup, tak suka ucapan Utari. Dia selalu menganggap dirinya sebagai orang yang paling hetero di masa kini. Itu dibuktikannya dengan sekian banyak hubungan yang telah dijalinnya bersama wanita. Hetero dalam definisi Erlan adalah hubungan dengan lawan jenis yang didasari respek terhadap sifat alami masing-masing. Di matanya, wanita bisa menjadi dan bersikap seperti apapun itu, as long as they are treating him being the man that he is. Mengatai laki-laki hetero dengan sebutan gay akan menurunkan rasa harga diri yang ditanam pada diri laki-laki tersebut. Alasan itu baru saja membuat Erlan enggan untuk mengencani Utari, semenarik apapun wanita yang menjadi mitra bisnisnya tersebut.

“Kenapakah itu bukan menjadi kaya, sukses dalam karir, menikah dengan orang paling cakep di kota, dan melanglang buana bersamanya?” tanya Noire pasti. Walaupun begitu, dia masih belum bisa memperhitungkan, kenapa dari sekian banyak cowok kayak, sukses dalam karir dan paling cakep di kota, dan broad-minded, justru orang kayak Angus yang masih menadah uang dari bokapnya, nggak punya karir yang tetap, penampilan rata-rata dan masih suka main game itu?

Dena menimang-nimang perpaduan antara Mas Danang yang kaya raya tanpa harus bekerja sedikitpun dan tergila-gila padanya, dengan Dio simpanannya yang adonis dan sering berganti teman wanita tapi dia tergila-gila padanya. “Ya, nggak bisa kayak gitu juga,” katanya mendelik. “Kalian tahu, sukses di mata wanita adalah membina rumah tangga dengan laki-laki yang sempurna, dan orang semacam itu nggak ada! Semua laki-laki yang berumah tangga tahu diri mereka nggak sempurna! Tapi, kenapa ukuran itu selalu menjadi alasan para wanita untuk mencari pasangan dalam keluarga? Kenapa wanita nggak punya hak untuk “memilih untuk tidak memilih”? 

Dena membuat tanda kutip untuk kata “memilih untuk tidak memilih”, sejak dia ingin menyimpan kedua-duanya, baik Mas Danang maupun Dio.

Semuanya merengut, tak terkesan kalau mereka setuju. Terlalu riskan untuk mendebat Dena yang cepat terbakar emosi itu, dengan arah pemikiran yang sukar diraba. Suasana kafe sudah terasa panas dengan kemenangan Sabitha berkali-kali.

Termasuk Erlan, tapi kemudian dia mengangkat bahu. “Oke. Kamu nggak setuju kalau wanita lebih merasa berharga dengan mendedikasikan hidupnya sebagai wanita terhormat yang menjaga kehormatan suami dan mendidik anak-anaknya untuk menghormati wanita lain. OK. Sepertinya kamu punya pandangan sendiri dalam melihat aspek kehidupan untuk menentukan kata respek yang kamu inginkan,” katanya sambil melirik Utari di akhir kalimatnya, agak nyindir. Tapi, Utari cuek bebek aja.

Dena masih ingin melanjutkan. “Karena apa? Lebih sering, wanita terkekang dengan semua penyesalan akan “iming-iming” yang nggak terwujud. Mereka tua sebelum waktunya, boro-boro dihadiahi, mereka malah mengasuh suaminya yang kekanak-kanakan. So, kenapa nggak nikmati hidup yang kita inginkan, apapun itu dan dengan siapapun itu?”

Semua orang terpandang-pandang. Aneh, kurang setuju, tapi tidak menyela.

Bahkan Erlan saja terpekur. Dia menggedik kecil, melihat Utari yang menatap Dena dengan putus asa. Pernikahan Utari yang rumit dan bikin wanita berkarakter halus itu merasa sakit jiwa, sepertinya tidak termasuk ke dalam pengecualian dari yang diucapkan Dena. 

“OK,” kata Erlan. “I can see your point.”

 “Yeah. You can be right…,” kata Utari sedih. 

“Well, yea,” kata Noire, mengangkat bahu.

“Hell, yeah!” kata Dena menyemangati dengan menggebrak meja.

Lihat selengkapnya