Di Belahan Hati Yang Lain

Vitri Dwi Mantik
Chapter #4

At Noire's Wedding

Sebulan berlalu. 

Sabitha dikejar-kejar waktu.

"Sabitha!! Cepetan!!" Dena berseru di trotoar dengan menjinjing roknya. Di tangannya dia memegang sekuntum bunga putih.

Sabitha membuka pintu mobil sambil mengenakan sepatunya. Dia berkaca sebentar pada kaca MAC eyeshadow palette, mengoleskan lipstik tipis saja di bibirnya. Dia meraup bolero, tas kecil, buket bunga dan setumpuk hadiah. Kakinya menjejak di aspal basah sambil mengangkat rok, lalu dengan susah payah menekankan pinggulnya ke pintu mobil untuk menutup mobil. Dena memencet alarm mengunci SEAT Mii barunya itu. Mobil itu berdenyit beberapa kali.

Hujan baru saja turun di kompleks Casablanca Sentul, suasana alam di sekitar sangat tenang dan nyaman. Suara lagu favorit Noire, Time After Time sudah bisa terdengar saat Dena dan Sabitha melangkahkan kaki di undakan tangga rumah mewah itu. Setibanya di dalam, mereka menaruh semua hadiah, dan buket buka di atas meja yang telah disediakan.

Utari menyambut mereka dengan tergesa-gesa, mereka saling berciuman pipi sebentar.

"Apa yang membuat kalian begitu lama? Dia sudah mulai merengek saja! Kasihan riasannya!" Utari menggeram kesal.

"Macet di jalan, mom! Si Bitha udah dia lama, masih belum berdandan pula. Dia pakai gaun selama di jalan! Bayangkan saja..," Dena membalas menggeram. "Setting make up base di jalan sampai tiba di depan, baru memoles wajahnya, tuch..."

Sabitha hanya mengucap kata "sorry" tanpa suara pada Utari. Lalu berkelit ke pintu ruang makan di mana sebuah meja besar dipenuhi dengan berbagai macam hidangan lezat. 

Utari memelotot kesal padanya, dia sendiri terburu-buru mengikuti Sabitha. Sambil dia mendorong Sabitha dan Dena menuju kebun tempat digelarnya tempat perhelatan. Kebun itu indah dan dirias sangat sederhana dengan pita-pita dan bunga, semuanya bernuansa putih.

Undangan yang hadir sudah berkumpul bersama di taman belakang. Noire tampak cantik dengan gaun putih pengantinnya. Dia tampak gugup berdiri di samping Angus hingga melihat kedatangan Dena dan Sabitha. Kedua saksi bernafas lega mengambil tempat duduk di kursi saksi menghadap dua ujung meja. Di depan meja tersebut, duduk penghulu dengan beberapa petugas KUA. Acara akan segera dimulai.

Angus menghela nafas panjang, menarik tangan Noire untuk duduk di sampingnya. Tapi, Noire masih ingin menunggu dua sahabatnya itu mendekat dan memberikan ciuman di pipi untuknya.

"Apa yang membuat kalian begitu lama?" kata Noire kesal. "Bagaimana riasanku?” Dia menanyakan hal yang sama lagi untuk kesekian kalinya, yang sudah dilontarkannya pada Utari.

Dena dan Sabitha saling bergantian memeluk dan mencium dirinya. Keduanya membisik padanya.

"Perfect…," kata Sabitha.

"You're the most beautiful prince bride ever…,” kata Dena.

Lalu keduanya berdiri di belakang Noire. Noire pun duduk, lalu menatap calon suaminya dengan lega. Suara lagu kesayangan Noire yang diputar berulang-ulang itu masih terdengar, halus saja, setelah Erlan mengecilkan volumenya.

Angus mengangguk tersenyum pada para petugas yang akan meresmikan niatan pernikahan mereka.

Penghulu meminta semua yang hadir bersiap. Kemudian dia membawakan ucapan pembukaan. Peresmian itu pun diikuti dengan urusan kelengkapan syarat. Semuanyanya lengkap dan sesegeranya dipersilakan oleh para saksi untuk melanjutkan proses pernikahan.

Ayah Angus yang adalah seorang yang taat beragama sudah melatih putera satu-satunya itu untuk melafalkan kalimat yang harus diucapkannya. Puteranya tampak siap dan percaya diri, tak sedikitpun dia merasa ragu. Mempelai pria itu melirik pada mempelai wanita dengan penuh harap.

Penghulu membimbing upacara pernikahan itu dengan sangat berhati-hati dan jelas disaksikan oleh kedua orang tua, dan disimak dengan baik oleh para tamu undangan yang hadir. Di samping Noire, duduk Ibunda tercinta yang tak lepas memegang tangan anaknya dengan wajah mengeras. Noire memegang tangan ibunya lebih kuat lagi.

Saatnya Angus harus mengucapkan kalimat sakral itu, Noire berdesau halus. Rupanya dia menangis. Utari membungkuk membisikkan kalimat untuk menguatkannya. "This is your destiny... Be happy, darling..."

"Ingat riasan kamu, Noir..." Dena membungkuk di belakangnya.

Sabitha juga membungkuk sambil mengasongkan tissue. "This is the most wonderful wedding... I'm so proud of you..."

Noire mengangguk-angguk sambil menekan-nekankan tissue ke hidungnya.

Lalu, tiba gilirannya mengucapkan kesediaannya. Dengan suara bening, Noire menyatakannya. "Saya bersedia."

Setelah beberapa saat, keduanya Angus dan Noire menandatangani buku nikah. Lalu segenap undangan yang hadir bersorak bahagia. Acara itu ditutup dengan kedua mempelai memberikan ciuman di bibir. Noire hendak mencium tangan Angus, tapi laki-laki muda yang telah menjadi suaminya itu menarik tangannya, lalu mencium kening Noire. Noire akhirnya hanya bisa tersipu malu.

Para tamu mulai menyebar ke tempat duduk melanjutkan sajian minuman mereka. Mereka adalah anggota keluarga mempelai, tak banyak, hanya beberapa pasangan paman, bibi dan sepupu-sepupu kedua mempelai saja. Sejenak mengobrol satu dengan lainnya, juga bersama keempat sahabat-sahabat Noire.

Lihat selengkapnya