Ingat baik-baik. Jangan memelihara keraguan dalam hidupmu, sebab itu bisa mencelakakan. Tapak dari semua langkah adalah keyakinan. Kamu harus memiliki ini bila ingin cepat sampai pada tujuan. ~ Kakek Balya ~
Aku menyeka peluh yang membasahi dahi dengan ujung jilbab, teriknya mentari siang ini membuatku nyaris dehidrasi. Aku baru saja melakukan perjalanan panjang, jalan kaki sendirian.
Kemana? Aku sendiri tak tahu mau pergi kemana.
Aku melangkah tanpa arah dan tujuan, mengikuti kata hati dan tarikan gravitasi semesta. Aku sudah muak dan bosan dengan segala peraturan serta adat istiadat kaum bangsawan kerajaan yang sangat mengekang, terlebih untuk para putri-putri keraton. Sebuah dogma kuat yang mengikat kebebasan para putri dalam memilih hidupnya sendiri.
Kemudian aku, menyerah pasrah pada takdir. Bukan tak punya keberanian untuk melawan, aku hanya tak ingin disebut anak durhaka, sebab apapun alasannya tak mungkin bisa melepaskan ikatan adat ini meski menangis mengiba, mereka tak perduli. Yang mereka tahu, aku harus patuh. Titik.
Lelah membuat langkah kaki terpaksa berhenti disebuah tanah lapang dengan rumput-rumput dan persawahan yang hijau membentang laksana sabana, namun tak ada satu pohon pun tumbuh di tempat seluas ini. Yang tumbuh hanya padi bernas yang setengah menguning.
“Tempat apa ini?” gumamku, bicara sendiri.
Mataku berputar-putar, melepas luas pandangan, memindai situasi sekitarku ke dalam memori otak. Aku melanjutkan perjalanan mencari air kehidupan, mencari benih Kaf.
Sepanjang jalan yang kutempuh, hanya sawah hijau yang tampak tertangkap mata, tak ada pepohonan, tak ada rumah penduduk dan tak ada seorang pun di tempat ini. Aku benar-benar seperti musafir yang kehilangan arah, tak tahu harus bertanya pada siapa.
Sungguh … Aku tak mengenali tempat ini.
“Sepertinya aku tersesat!” Aku kembali bergumam resah. Mengibas-ngibaskan ujung pasmina untuk mengusir gerah.
Aku berhenti di tengah pematang sawah, menatap langit biru. Teriknya sinar mentari membuat mata silau dan tubuh bersimbah peluh, tepian pasmina yang melingkari wajah yang tirus telah basah oleh keringat, tenggorokan mulai terasa kering. Aku mulai ragu untuk melanjutkan perjalanan, sebab mataku tak melihat tepian. Seluas mata memandang yang kulihat hanya persawahan yang papak dengan bulir-bulir padi yang setengah matang.
“Jangan ragu. Terus melangkah, ikuti saja kata hatimu. Di ujung sana kamu akan bertemu dengan seseorang yang kamu cari selama ini.” Sontak aku membalikan tubuh, melihat sosok suara serak yang menyapa dari belakang.
Refleks kaki menarik tubuh untuk mundur selangkah. Seorang kakek berjubah dan mengenakan serban putih berdiri kurang lebih satu setengah tobak dari jarakku berdiri, tubuhnya kurus, tidak tinggi dan tidak juga pendek, wajahnya juga tidak terlalu tua, namun tak bisa pula dikatakan muda. Janggutnya panjang menutupi seluruh dagu yang menggantung bak sarang lebah. Sejuk sekali melihat wajahnya, senyumnya berkharisma. Tangan kanannya menggenggam butiran tasbih batu berwarna hitam, sementara tangan kirinya menggenggam batu putih yang harumnya seperti harum kemenyan.
“Kakek siapa?” tanyaku pelan.
Ia hanya tersenyum, kemudian menggigit batu putih tersebut. Setelah mengunyah gigitan kemenyannya, ia memasukan batu tersebut ke saku jubah, lalu merogoh saku di sisi lain dari jubahnya
“Kakek Balya, sebut saja begitu. Kakek telah mengikutimu dari sejak kamu kecil, ingat?” sepasang alisku bertaut, berusaha mengingat.
Sayangnya aku gagal mencari data base masa kecil. Mungkin otak ini sudah terlalu penuh oleh banyak data sehingga kenangan masa kecil tertimbun data-data yang belum lama di input dan di simpan dalam memori kepala. Aku menggeleng pelan dan ragu.
“Tak mengapa bila kamu belum bisa mengingat semuanya, nanti juga ingatanmu akan menuturkan segala kebenaran itu. Sekarang pergilah menuju arah selatan, di sana ada jalan untuk ke luar dari tempat ini. Ini untukmu!” ujarnya, kemudian menyerahkan sebuah helaian daun yang masih hijau dan menebarkan aroma khas, harum yang tak pernah aku temui di toko parfum manapun.
“Apa ini, kek?” tanyaku menerima daun tersebut dengan kebingungan.
“Daun.” Sahut Kakek yang bernama Balya itu singkat. Sebaris gigi putih tampak rapi terlihat bersama senyum yang tersungging di bibirnya.