Jangan mengambil dan memakan yang bukan hak kita. Bila satu saja cukup buat berdua, kita tak harus memakan lebih dari itu. ~ Reksa Fatih Saffaraz ~
Aku menyerah, terduduk lesu menyandarkan punggung di dahan pohon, kaki terjulur lurus ke depan, menghilangkan letih, menahan haus sambil menikmati hembusan angin yang memainkan ujung-ujung pasmina. Sejuknya angin sedikit menghibur diri, meski tak bisa membasahi tenggorokan.
Seandainya saja aku tak nekat kabur dari rumah, pasti tak akan jadi terlunta-lunta seperti ini. Tapi kalau aku tetap di rumah, ayahandan akan memaksaku menikah dengan pria yang sama sekali tak membuat hatiku bergetar.
Coba saja kalau mereka membebaskanku memilih teman hidup sendiri, aku pasti sudah memilih Dirga, pemuda blasteran Indonesia-Jerman itu. Calon arsitek, baik dan sangat menyayangiku.
Tapi aku bisa apa? Adat istiadat keratonan ini benar-benar membuatku sebal dan aku tak mempunyai kekuatan untuk melawan semua ini. Aku ingin jadi gadis yang biasa-biasa saja, tanpa peraturan yang mengikat. Aku ingin menjadi pengembara seperti Dirga yang bebas merdeka.
Mengingat nama Dirga, membuatku larut dalam lamunan. Dirga adalah kakak tingkatku. Cakep, pasti. Dia idola para wanita di kampus, tapi Dirga bukan don juan yang playboy. Malah cenderung pendiam dan dingin. Banyak teman-teman yang bilang, kalau Dirga menyukaiku hanya saja tak memiliki cukup keberanian untuk mendekati sebab ia tahu status sosialku dari kalangan bangsawan.
Dirga tak pernah tahu kalau aku juga menyukainya. Lebih baik begitu bukan. Aku tak mau menyakiti hati pemuda yang baik itu, jangan sampai aku dan dia kecewa bila pada akhirnya kenyataan menolak cinta kami. Biar seperti ini saja, menganggumi dalam diam dan berdamai dengan takdir.
Aku selalu menghindari perjumpaan dengannya. Sengaja. Biar rasa suka tak tumbuh menjadi cinta. Lebih baik mematikan rasa dari awal dari pada membunuh perasaan yang telah terbangun oleh waktu. Dan sampai kuliah berakhir, perasaan kami tak pernah terungkapkan, Dirga memilih melanjutkan study pasca sarjana di Berlin, tempat kelahirannya dan ayahanda malah menjodohkanku dengan seorang pemuda, teman kerjanya yang berasal dari trah Mataram. Padahal aku masih ingin melanjutkan pendidikan kejenjang pasca sarjana, masih ingin berkarir dulu dan mewujudkan cita-cita menjadi seorang jurnalis.
Sebuah suara renyah dan ramah menyapa, membuat lamunanku jadi berantakan, lalu hilang. Baguslah, biar bayangan Dirga tak membangun perasaan megah di dalam hatiku.
“Assalamualaikum, permisi. Ada yang bisa saya bantu?” seorang pemuda berdiri di depanku, membungkukan sedikit badannya menyapaku dengan ramah.
Aku bergegas bangkit, merapikan tunik dan membersihkan rok panjang.
“Eh, ehm ... Wa’alaikumussalam.” Sahutku gugup.
Aku langsung mundur. Seperti biasa, ibunda selalu mengajarkanku agar menjaga jarak dengan orang asing. Melihatku mundur, pemuda itu tersenyum.
Oh my god, senyumnya. Aku membatin. Mungkin ia membaca gesture tubuhku yang tampak salah tingkah.
Papil mataku melebar menerobos iris mata coklatnya, dada pun bergemuruh, saking kuatnya gemuruh telapak tangan sampai berkeringat, kemudian terdengar suara klik yang halus mengunci lidah dan hati. Tubuhku lemas seketika.
“Kamu pasti kelelahan ya. Ini untukmu, simpanlah.” Pemuda itu menyerahkan dua buah butir apel kepadaku dari tiga butir apel yang ia petik dengan sangat mudah.
Ya, gampang sekali. Hanya dengan mengulurkan tangan, ia sudah bisa meraih tiga buah apel sekaligus tanpa perlu melompat-lompat seperti yang kulakukan tadi.
“Te ... ter ... terima kasih.”
Sial. Kenapa aku jadi gugup begini. Pada Dirga saja aku tak pernah seperti ini. Umpatku dalam hati.
“Kembali kasih, cantik.” Katanya ramah, menatapku penuh simpatik.
Tolong, jangan tatap aku seperti itu. Kataku dalam hati.
Tapi ia makin mempertajam tatapannya, sepasang bola mata bak biji buah coklat itu tampak berbinar-binar, membuat wajahku menjadi hangat. Ia mengambil posisi duduk di dekat dahan, kemudian memakan satu butir apel di tangannya dengan sangat lahap, aku hanya berdiri memandanginya sambil menggenggam erat dua butir buah apel pemberiannya.
Penampakannya membuat rasa hausku hilang. Ia sungguh mempesona, bukan hanya senyumnya yang indah, mata coklatnya yang berbinar-binar itu membuatku kehilangan banyak kata. Cahaya keimanan dan cahaya tauhid menyelimuti tubuh yang berbalut gamis putih panjang dengan serban yang melilit di leher membuatku terkesima.
Tubuhnya tinggi kurus, hidung macung dengan cuping yang meruncing, sepasang mata yang tajam, kumis tipis dan sedikit janggut menghiasi dagunya, bibir merah tanda tak pernah tersentuh nikotin dan kulit putih langsat.
Aku terperanjat, melihatnya seperti sedang bercermin pada diri sendiri. Aku tak bisa berucap apa-apa, senyum manisnya membius hingga lidah menjadi kelu dan mata nyaris tak berkedip melihat kesempurnaan ciptaan-Nya.
“Jangan berdiri terus, duduklah di sini, di dekatku.” Ia menarik tanganku hingga aku nyaris saja terjatuh dalam pelukannya bila saja kaki ini tak kuat menahan tarikannya.
“Iya.” Sahutku singkat. Lagi-lagi ia hanya tertawa saja melihat kegugupanku.
“Ini untukmu. Makanlah dan habiskan.” Ucapnya tiba-tiba, membuatku tergagap.
Ia memberikan sisa buah apel hijau yang telah ia makan sebagian itu kepadaku. Aku menatapnya heran. Sejujurnya aku tak terbiasa berbagi makanan dengan pria, apalagi yang belum dikenal.