Di Daun Yang Jatuh Itu Tertulis Namamu

Nimas Rassa Shienta Azzahra
Chapter #4

Chapter 4. Ramalan Encim

Ramalan adalah pemaksaan takdir. Sesuatu yang belum seharusnya untuk diketahui sudah dipaksa untuk diketahui. Meramal itu mencuri rahasia langit melalui garis tangan dan metode terawangan. ~ Putri Zianka ~

Palembang, Agustus 2019.

Belakangan ini aku lagi suka duduk berdua dengan kenangan, membiarkan pikiran berlari ke masa lalu, mencari jejak yang tertinggal. Ya, mungkin saja dengan begitu aku bisa kembali menemukan jejakmu yang samar oleh besarnya keinginan.

Mengenang kadang meremukan, tetapi sesekali kadang menyenangkan. Yang hadir serta dalam pertemuan bersama kenangan bukan hanya rindu dan airmata, tetapi senyum pun datang meramaikan suasana hati. Kadang sesak, kadang lega. Ya, begitulah sejarah yang sebenarnya, tak hanya tertulis dengan tinta kebenaran, tetapi tinta kekeliruan pun turut menggoreskan kisahnya.

Hari ini aku tak sendirian bercengkrama dengan kenangan. Seorang gadis berkulit putih, bermata sipit, bibir sensual dan bertubuh subur, duduk menunduk dihadapanku.

Tidak, ia menunduk bukan sedang merapalkan mantra, tetapi ia sedang melalap sebuah cerita yang di dalamnya tertulis namanya. Sesekali ia tertawa, kadang cemberut, tak lama kemudian jemarinya menyeka butiran embun yang gugur di pipi.

Tiga belas ribu seratus empat puluh lima hari, Palembang dalam pelukan kenangan. Bicara soal kenangan, hari ini waktu memutar kisah masa remaja, masa yang belum begitu banyak konflik hidup. Bahkan masa remajaku biasa saja, tak ada cinta-cinta monyet, tak ada pacar-pacaran. Yang ada setiap hari aku selalu bergaul dengan setumpukan buku hafalan, mengikuti satu olimpiade ke olimpiade lain, pindah dari satu tempat karantina ke karantina yang lain. Nyaris tak ada waktu untuk bermain, apalagi pacaran.

Itulah kenapa. Hingga saat ini aku tak tahu apa itu cinta. Cinta bagiku hanyalah antara aku, Allah dan orangtuaku. Aku juga tak pernah merasakan bagaimana kencan di malam minggu, naksir-naksiran dengan cowok. Hidupku kaku, monoton.

Aku tak tahu, apa gadis di depanku ini juga sedang berjalan-jalan ke masa remajanya dulu atau justru ia sedang mengenang hati yang pernah retak oleh harapan. Selama beberapa menit kami lalui dengan saling diam dan sibuk menjamu kenangan masing-masing.

Palembang, Agustus 1998.

“Kalian percaya ramalan?” tanya Devi pada suatu malam saat kami tengah berkumpul dihalaman depan rumah Dias pada sebuah malam di hari libur sekolah.

Aku melirik sekilas, tak begitu tertarik dengan apa yang akan dibahas Devi. Aku lebih tertarik mengamati kumpulan bintang di langit yang bisa berbentuk macam-macam. Kadang terlihat seperti layang-layang berhias lampu berwarna biru yang tiada henti bekerlap kerlip pada pekatnya langit malam, kadang bintang-bintang itu tampak membentuk seperti seorang gadis yang sedang memanah, dikejauhan tampak ada kumpulan bintang yang membentuk seperti kepiting dan bagiku ini sangat menakjubkan.

“Ramalan zodiak?” pertanyaan Alci itu sebenarnya juga ada dipikiranku, tetapi aku enggan menanyakannya karena tak tertarik dengan topik tentang ramalan jenis apapun. Alci melirik sekilas pada Devi, lalu ia mengikutiku berbaring pada sebuah bangku malas panjang yang kosong.

“Bukaaan. Bukan ramalan bintang seperti yang ada di majalah-majalah, di internet atau di koran-koran. Bukan pula ramalan kartu tarot. Tapi ini ramalan nasib melalui garis tangan.” Papar Devi, nada suaranya naik turun dibumbui dengan ekspresi mata yang mampu membuat orang jadi berminat untuk mendengarnya, ia tampak sangat bersemangat sekali membahas tentang ramalan.

“Oh.” Kataku dan Alci serempak.     

“Percaya nggak?” desak Devi lagi, kepo menunggu jawaban kami. 

“Aku sih nggak percaya? Aku baru percaya kalau apa yang dikatakan peramal itu sudah terbukti kebenarannya.” Sahut Alci memiringkan tubuh ke arah Dias dan Devi yang duduk bersisian di ayunan. Tangan kiri Alci mengepal menyangga kepalanya.

“Kalau aku percaya banget. Aku sering di ramal dan itu jadi kenyataan.” Sahut Dias antusias. Kepalanya mengangguk-angguk dengan sorot mata yang penuh keyakinan.

Aku tersenyum miring masih dengan mata sibuk menghitung jumlah bintang di langit sana. Satu tangan kugunakan untuk mengalasi kepala.

Dalam hati aku berkata: Dasar Dias hidupnya memang dibesarkan oleh ramalan dan primbon Jawa. Sampai-sampai saat hari haid datang pun ia langsung membuka primbon untuk melihat keberuntungannya.

“Kenapa harus percaya ramalan?” tanya Alci. Nada suara yang skeptis.

“Bagiku orang yang bisa meramal itu keren. Bayangkan hanya dengan membaca garis tangan saja, dia sudah bisa mengetahui masa depan orang. Andai aku bisa seperti itu—” aku menoleh sekilas pada Dias, lalu kembali menatap ke atas langit.

Aku memilih diam dan menyimak saja obrolan mereka.

“Kamu sendiri percaya dengan ramalan nggak, Dev?” kali ini Dias yang bertanya pada Devi.

“Percaya sih. Tapi nggak seratus persen percaya. Sampai sekarang cuma ramalan Encim itulah yang paling aku percaya, soalnya tiga hari setelah dari tempat Encim, aku jadian dengan Musa.” Katanya serius.

“Serius?” seru Alci langsung duduk sambil mengikat rambut sebahunya dengan karet gelang, ia tampak kaget mendengar pengakuan Devi.

Mendengar cerita Devi barusan, aku sedikit merubah posisi berbaring dengan sedikit mengangkat tubuh agar bisa bersandar. Sepertinya aku ketinggalan berita ini, setahuku pacar Devi adalah Haris, kenapa tiba-tiba dia jadian dengan Musa. Musa yang mana ya? Gumamku dalam hati.

“Oh. Yang ikut aku ke tempat Encim di hari kamis kemarin ya?” Dias memastikan. Devi mengangguk.

“Ya salam. Kalian berdua hobi banget sih ke tempat Encim?” kataku, geleng-geleng kepala.

“Tahu nih, Dias sama Devi mah hobi banget ngeramal.” Alci ikut menyela.

“Eh, asli. Encim ini sakti. Ramalannya selalu jadi nyata.” Kata keduanya bersamaan. Aku dan Alci saling pandang dan melempar senyum skeptis.

“Kebetulan saja kali.” Kataku. melorotkan tubuh untuk berbaring lagi.

“Nggak kebetulan, Zi. Ini benar-benar terjadi loh.” Aku hanya mengendikkan bahu untuk menanggapi perkataan Dias.

“Kamu nggak percaya ya, Zi, dengan ramalan?” tanya Devi.

“Nggak.” Sahutku singkat tanpa menoleh.

“Kenapa?” tanya ketiga sahabatku bersamaan.

Lihat selengkapnya