Di Daun Yang Jatuh Itu Tertulis Namamu

Nimas Rassa Shienta Azzahra
Chapter #5

Chapter 5. Takdir Yang Kebetulan

Tak ada kebetulan dalam hidup ini, Dias. Semua yang terjadi atas kehendak-Nya. Ramalan Encim mungkin salah satu dari isyaroh-Nya. ~ Putri Zianka ~

Dias terkekeh membaca tulisanku, matanya masih sibuk menyelami satu persatu kalimat yang kususun. Sesekali ia melirikku, lalu matanya kembali menelusuri jalinan cerita di sana, pelan-pelan ia membuka halaman berikutnya. Gerakan yang dramatis.

Aku menarik napas panjang, menghembuskannya secara lembut. Menyeruput sedikit Salted Caramel Freakshake, lalu melepas senyum kepada Dias yang terkekeh geli membaca kepingan kenangan masa remaja kami yang kutulis dalam sebuah buku yang berjudul, Palembang Dalam Kenangan. Dan aku masih setia menunggunya menuntaskan bacaan pada sebuah reuni kecil yang terjadi begitu saja tanpa membuat janji terlebih dahulu.

Aku baru ingat. Ternyata memang Kakek Balya telah mengikuti dari semenjak aku kecil. Kakek Balya selalu mendampingi perjalanan hidupku, secara tak langsung ia mengajarkan banyak hal padaku, terutama tentang ilmu kehidupan. Pantas saja di mimpi yang pertama saat ia memberikan daun takdir, ia telah mengingatkan aku, bahwa selama ini ternyata Kakek Balya lah yang selalu kutemui.

“Betul kan kata aku, ramalan Encim itu hebat. Apa yang dia katakan tentang kita telah menjadi kenyataan sekarang,” senyum Dias penuh kemenangan. Ia menyelipkan pembatas buku pada halaman terakhir yang ia baca.

Aku tertawa kecil, ada perasaan yang tak menentu yang kusingkirkan perlahan-lahan. Tanganku sibuk mengaduk-aduk Salted Caramel Freakshake bukan dengan sendok tetapi dengan stik keju, lalu menggigit ujung stik keju yang sudah lembut tersebut, tanpa perlu mengunyah lama-lama ia sudah langsung lumer di lidah.

Setelah menghabiskan satu stik keju dan menyeruput Salted Caramel Freakshake, aku baru menanggapi perkataan Dias. “Iya. Jujur baru sekarang aku mengakui kebenarannya.”

“Di buku ini kamu bercerita, sebelum Encim mengatakan semua itu, kamu sudah tahu lebih dulu apa yang akan terjadi pada masa depanmu. Apa kamu juga tahu, kalau kamu akan dilangkahi oleh adikmu?” tanya Dias, menatapku serius sembari memperlihatkan satu baris kalimat yang menuliskan tentang kegundahanku saat harus merelakan adikku menikah lebih dahulu.

Aku mengangguk pelan, menggigit bibir dan menelan kegetiran dengan senyum samar, baru kemudian aku berkata: “Iya, aku tahu semua. Bahkan aku pun tahu kalau aku akan telat menikah, tapi sungguh aku tak pernah menyangka bila waktunya akan sepanjang ini. Ehm, ingat nggak waktu kita baru masuk SMA, aku pernah bilang padamu. Kalau Devi akan menikah lebih dahulu dari kita. Padahal waktu itu kalian belum tahu tentang Encim kan?”

“Iya, iya, aku ingat kok. Kamu mengatakannya sambil bercanda dan kita semua menanggapinya dengan bercanda. Aku juga nggak nyangka, Zi, kalau penantianku akan sepanjang ini. Di antara sekian banyak yang Encim katakan padaku, ternyata ada beberapa yang meleset jauh sekali. Sekarang aku malah baru sadar, Zi. Mungkin ramalan Encim hanya kebetulan benar saja,” aku mendengar suara retakan hati yang patah dari ucapannya barusan.

“Setelah kamu menemukan ada banyak juga yang meleset, lalu kamu katakan yang benar itu hanya sebuah kebetulan. Begitu ya?” tanyaku, menyindirnya dengan senyuman.

Ia mengangguk malu-malu, setengah berbisik ia berkata: “Ya, bukan hanya kebetulan benar, tetapi juga kebetulan meleset. Hahaha.” Lalu ia menutupnya dengan gelak tawa yang mau tak mau membuatku ikut pula tertawa.

“Hahaha, Dias, Dias, ada-ada saja kamu ini,” aku geleng-geleng kepala mendengar yang ia katakan barusan padaku.

“Iyalah, Zi. Bila benar, ya, kebetulan saja sedang benar. Bila salah, juga kebetulan saja sedang tak jitu ramalannya atau mungkin ramalan bisa juga disebut sebagai takdir yang kebetulan. Kadang kalau dipikir-pikir, hidup ini banyak kebetulannya ya? Seperti pertemuan kita di kafe ini juga tiba-tiba saja tanpa rencana dan janji terlebih dahulu. Kebetulan sedang sama-sama free time.” Katanya. Mata sipitnya memaksa untuk tersenyum. Aku tahu, ada sepi di sana, pada sinar matanya.

“Terus, kalau semuanya kebetulan. Di mana letaknya takdir?” Dias terdiam, aku tak tahu apakah ia sedang mencari jawaban dalam diamnya atau ia tak menemukan jawabannya.

“Apakah ada kaitannya antara kebetulan dan takdir?” ia malah balik bertanya sembari menyendok Kakigori Strawbery Ice yang sudah mulai mencair karena ia abaikan selama melahap tulisanku.

“Ehm, kurasa tak ada.” Kataku sambil menikmati cream caramel yang meleleh di atas gelas, kenikmatannya membuatku sedikit melupakan lelahnya penantian.

“Ah, masa?” ia menggeleng tak percaya.

“He’em, memang tak ada. Karena tak ada kebetulan dalam hidup ini, Dias. Semua yang terjadi atas kehendak-Nya. Ramalan Encim mungkin salah satu dari isyaroh-Nya.” Tukasku seraya mengelap sisa cream caramel yang menempel ditepian bibir dengan tisu.

Ia meletakan sendoknya dan mendorong punggungnya hingga terdesak di sandaran. Kudengar napasnya tampak berat sekali, ada kesah yang ia sembunyikan dan ragu-ragu untuk ia katakan. Mata sipitnya menatap langit-langit White Café yang berdesign klasik Eropa. Kembali kudengar helaan napasnya.

Aku hanya menunggu, tanpa bertanya ada apa dan kenapa. Kupikir bila memang ia ingin cerita, tanpa ditanya ia akan menceritakannya, bila ia percaya padaku tentu ia tak akan ragu untuk berbagi. Begitulah caraku menghargai privacy orang.

“Ya … Mungkin sudah takdir kita seperti ini ya, Zi? Eh, Zi, kamu suka merasa lelah nggak?” aku tersenyum mendapatkan pertanyaan seperti itu.

“Jangan tanya, Dias. Tak terbilang lagi rasa lelah yang mendera, terkadang aku ingin menyerah, tapi itu bukan jalan keluar. Aku berusaha belajar memetik hikmahnya saja dari ujian penantian yang panjang ini. Mungkin, panjangnya waktu kesendirian ini adalah cara Allah untuk mengajari kita agar bisa lebih kuat bermujahadah memperbaiki diri dan memantaskan diri untuk pasangan kita kelak.” Kataku.

“Iya ya benar juga. Aku trauma, Zi. Sekarang aku nggak mau pacaran lagi, kapok. Pacaran bertahun-tahun, ujung-ujungnya dia jadi dengan sahabatku sendiri.” Akhirnya ia keluarkan juga uneg-unegnya.

“Ya salam. Jadi kamu yang terluka, namun hati temanmu yang dia rawat. Sungguh terlalu sekali.” Dias malah terkekeh mendengar ucapanku.

Lihat selengkapnya