Perilaku dan akhlak kita terhadap orang-orang menentukan perilaku dan akhlak orang-orang terhadap kita. ~ Uyut Syekh Sultan Amirullah ~
Aku dan Dias bergegas menaiki tangga menuju aula yang ada di lantai dua dermaga poin Benteng Kuto Besak Palembang. Melirik jam digital pada ponsel yang berada di genggaman tangan kanan. Masih ada waktu sepuluh menit untuk make up dan merapikan jilbab.
Adel dan Iwan menyambut di depan pintu aula dengan wajah yang sumringah.
“Assalamualaikum,” sapaku.
“Wa’alaikumussalam, Teh. Sudah di tunggu Bang Wiji di dalam.” Kata Iwan,
“Oh iya. Suruh tunggu sebentar. Rei mana?” kataku, melongokan kepala ke pintu, sudah banyak teman-teman forum yang berkumpul di dalam sedang mendengarkan cerita Bang Wiji, seorang budayawan Palembang yang namanya cukup dikenal dan turut membantu dalam proses kreativitas kepenulisan naskah Sriwijaya.
“Itu ada di dalam.” Sahut Iwan. Menunjukan seseorang yang berada dalam ruangan dengan ibu jarinya.
“Del, tolong bawa masuk laptop saya.” Aku menyerahkan laptop pada Adel, lalu menoleh ke arah Dias.
“Teteh mau ke mana?” tanya Adel dan Iwan bersamaan.
“Mau ke toilet dulu, ngerapiin jilbab dan make up, biar nggak lusuh banget.” Kataku, lalu memperkenalkan Dias kepada teman-temanku: “Oh iya. Kenalkan, ini teman saya, namanya Dias. Dias ini Adel, asistenku dan ini Iwan bagian humas forum. Kamu duluan ya sama Adel, aku mau ke toilet dulu.”
“Hai, Mbak Dias. Senang berkenalan dengan mbak.” sapa Adel.
“Assalamualaikum, Mbak Dias.” Sapa Iwan dengan sopan.
“Wa’alaikumussalam, Mas Iwan dan Adel.” Balas Dias ramah.
“Aku ke toilet dulu ya, kalian ngobrol-ngobrol saja dulu.” Tanpa menunggu jawaban mereka aku langsung memutar tubuh mencari toilet terdekat.
“Zianka, tunggu. Saya ke toilet juga ya, Del, Mas Iwan.” Aku berdiri menunggu Dias yang berlari-lari kecil mendekatiku.
Kami berjalan beriringan menuju toilet wanita sambil bercakap-cakap. Bertemu teman lama tak pernah habis rasanya bahan untuk diceritakan.
“Bedah bukunya siapa, Zi?” tanya Dias menatapku ke cermin besar toilet.
“Aku dan tim dari Forum Lingkar Sriwijaya, kami membuat karya menulis sebuah buku tentang Kerajaan Sriwijaya.” Kataku dengan tangan yang masih sibuk memoles bibir dengan lipstick berwarna nude pink.
“Banyak juga ya buku yang sudah kamu buat,” katanya yang telah rapi.
“Alhamdulillah, setidaknya dalam masa penantian ini waktuku tidak sia-sia digunakan hanya untuk menunggu dan mencari saja, tetapi ada karya-karya yang lahir sebagai rekam jejak perjalanan.” Aku tersenyum, melepas jilbab dan menggantinya dengan yang baru.
Aku sudah biasa membawa jilbab lebih dari satu bila sedang banyak acara seperti ini, untuk menjaga penampilan saja agar lebih segar, bersih dan rapi.
Dias mengangguk-angguk seraya berujar: “Kamu keren, Zi. Nggak nyangka kamu bisa begini. Kamu hebat. Padahal kamu dulu orangnya pemalu, pendiam, siapa sangka sekarang malah jadi pembicara.”
“Kamu juga hebat. Aku selalu kagum dengan sosok guru, aku bisa seperti ini karena jasa seorang guru. Kamu mencerdaskan bangsa, Dias.” Kataku balas memujinya.
“Terima kasih, Zi. Wajar kamu banyak fans, terutama cowok karena kamu sangat pandai menyenangkan hati orang.” Pujinya lagi.
“Ehm, Dias ah biasa saja aku mah. Aku hanya sedang belajar menerapkan dan selalu mengingat pesan dari uyutku, bahwa Perilaku dan akhlak kita terhadap orang-orang adalah tolak ukur perilaku dan akhlak orang-orang terhadap kita.” Kataku bersandar pada dinding dan menatapnya penuh penghargaan.