Jika tidak memilih sekali pun adalah sebuah pilihan, maka aku memutuskan untuk tidak memilih kedua-duanya. ~ Putri Zianka ~
Nyayu benar. Asby bersikeras untuk menungguku. Ya … Bukan Asby namanya bila tak ngotot, pria itu tak akan menyerah sebelum bisa mendapatkan apa yang dia inginkan, ia nekat menungguku di Dermaga Poin. Tristan yang tak ingin disalip oleh Asby pun nekat menunggu di tempat yang sama. Keduanya tampak akur bercakap-cakap, mungkin mereka sudah melupakan pertikaian mereka dulu.
Sungguh aku tak mengerti apa maunya mereka. Mereka memaksaku untuk duduk bersama menyelesaikan segala persoalan yang sebetulnya sudah lama berakhir, tetapi mereka menganggap ini belum selesai.
Tak tahu harus dengan cara apa lagi aku menyampaikan kepada keduanya kalau hati tak bisa paksa dan tak mungkin memaksakan sesuatu yang bukan menjadi takdirku. Pantang pula bagiku menjilat kembali saliva yang telah dibuang ke tanah. Pahit pasti rasanya.
Aku sudah sangat lelah dan ingin buru-buru pulang. Tapi mereka bagai ranjau yang menghalangi jalan pulangku, menghalangi pandangan untuk menatap lurus ke masa depan. Letih rasanya menghadapi persoalan yang itu-itu saja, tak ada habisnya, seolah tak ada pria lain saja sehingga aku harus memilih salah satu dari mereka. Lagi pula mereka belum tentu jodohku.
“Kak. Bang Asby masih menunggu, Kak Tristan juga.” Nyayu masuk mendekatiku, berbisik memberikan laporan. Bibir tipisnya mengulas senyum simpul yang penuh makna.
“Astaghfirullahal’azhiim. Mau apa lagi coba?” mulutku menghembuskan napas kesal. Hingga sisa kertas yang berhamburan di meja berpindah posisi.
“Nggak tahu, kak. Padahal sudah Nyayu katakan semua yang kakak suruh tadi. Tapi tetap aja dia ngotot ingin menunggu dan bicara sama kakak. Kak Tristan juga ikut-ikutan, heran Nyayu, kok tambeng banget ya mereka,” ujar Nyayu sambil geleng-geleng kepala.
Aku terpekur sejenak. Sempat terlintas dalam benak untuk menemui mereka dan menuntaskan semuanya malam ini.
Kata ibunda: “Salah satu keberanian dalam hidup adalah siap menghadapi situasi paling sulit yang tak pernah diduga sama sekali akan terjadi.”
Ya, walau sebenarnya aku tak ingin berada dalam situasi yang rumit ini. Tapi tak ada pilihan lain, semakin aku menghindar mereka akan terus mengejar hingga aku menyerah dan jatuh di tangan salah satunya.
Dan aku tak mau menyerahkan diri kepada pria selalu meragu. Terlebih pada Asby, pria yang ucapannya selalu membelakangi hatinya. Dulu ia persis seperti matahari yang berbohong kepada siang, pura-pura tak menginginkan panas. Ia mengingkari kata hatinya, melupakan semua janji demi wanita yang telah memiliki buah hati. Alasannya sederhana karena kasihan dan ingin menolong wanita tersebut. Sekarang ia seperti kemarau yang mengemis hujan.
Aku juga tak mau menyerahkan diri kepada Tristan yang dapat menjauhkanku dari ridho orangtua. Terlalu banyak perbedaan antara aku dan pemuda bermata elang tersebut, perbedaan yang tak dapat di toleransi lagi. Ayahanda dan ibunda sangat menentang hubunganku dan Tristan karena kami berasal dari kasta yang berbeda.
Aku tak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Jika tidak memilih sekali pun adalah sebuah pilihan, maka aku memutuskan untuk tidak memilih kedua-duanya. Petunjuk yang diberikan Kakek Balya melalui daun pemberiannya sudah sangat jelas, kalau yang tertulis di sana bukanlah nama Asby dan bukan pula nama Tristan.
Mungkin ini menyakitkan bagi mereka. Tapi lebih baik begitu bukan, dari pada aku membiarkan semua menggantung tanpa keputusan.
Aku mengatur napas beberapa kali, melirik Adel dan Dias, lalu berkata: “Del, Dias, tunggu sebentar ya. Aku mau menyelesaikan satu urusan lagi. Yu, temani saya.”
“Baik, kak.”
“Teh, kalau saran Adel. Lebih baik hindari saja, khawatir bila ditemui akan semakin panjang urusannya dan nggak akan selesai-selesai.” Wajah Adel tampak terlihat cemas dan gelisah.
“Betul, Teh, apa yang dibilang Adel. Lagi pula ini sudah malam, nanti kemalaman Tetah pulang ke Mariana.” Ujar Iwan yang membuatku jadi ragu untuk menemui mereka.
“Loh. Zianka belum pulang?” tanya Bang Wiji dan Kak Aksan yang sudah bersiap akan pulang.
“Itu bang, di luar Bang Asby dan Kak Tristan masih menunggu Kak Zianka.” Nyayu yang menjawabkan untukku.
Bang Wiji geleng-geleng kepala, sementara Kak Aksan melongokan kepala ke pintu, kemudian kembali lagi.
“Benar. Mereka masih ada di luar.” Kata Kak Aksan menatapku prihatin. “Ini bakal ramai kalau kamu menemui dia lagi, kalau wanita itu tahu bisa ngamuk dia melihat suami simpanannya menemuimu lagi. Kalau Tristan sih tak begitu membahayakan.” Sambung Kak Aksan.
“Kamu sudah nggak ada hubungan dan urusan apa-apa lagi kan, Zi, baik sama Asby atau pun sama Tristan?” tanya Bang Wiji serius.
“Sama sekali tak ada lagi, bang. Semua sudah Zianka selesaikan, tapi mereka selalu menganggap ini belum selesai.” Kataku.
“Sekarang kamu pulang, sudah malam. Nanti ibundamu mencari. Iwan dan Aksan kawal Zianka, Dias ikut mobil Zianka saja biar motornya dibawakan sama Iwan. Adel kamu pulang ke rumah Zianka kan?” tanya Bang Wiji menatap kami bergantian.
“Iya, bang.” Sahut Adel.
“Nanti aku pulangnya gimana, bang?” tanya Iwan.
“Ya, pulangnya kamu boncengan motor sama Aksan. Gimana sih!” katanya geram. Iwan mengangguk paham. “Rei, sini kamu. Gara-gara kamu ini.” Dengan nada suara yang meninggi, Bang Wiji memanggil Rei yang mengendap-endap hendak pulang.
“Kok gara-gara saya?” Rei urung pulang, ia berjalan lambat mendekati kami. matanya tak berani menatapku.