Palembang, September 2019.
Siang ini, aku duduk sendirian dipelataran Kafe Kofie Senja yang ada di Dermaga Poin Benteng Kuto Besak, yang persis berada ditepian Sungai Musi. Disanding dengan satu gelas affogato—kopi unik yang disajikan dengan campuran es krim vanilla yang disiram dengan satu shots kopi espresso—beserta sepiring stik kentang goreng. Menunggu senja sembari memintal rindu dan menggelar kenangan di atas riak sungai yang tak pernah sepi dari aktivitas.
Palembang dalam kenangan. Sengaja ku undang cerita lama untuk hadir menemaniku bernostalgia dengan senja, mencari alasan untuk menangis agar berkurang berat pada dada ini. Tak habis-habis rasanya ujian ini, terus menerus mendera sehingga tubuhku semakin bertambah kurus termakan usia.
Aku larut terbawa arus kenangan yang mengalir dari Sungai Musi, lalu hanyut mengikuti arus air menuju muara perbatasan sungai dan samudera di ujung timur Sumatera.
Palembang, 11 Agustus 2014.
Enam tahun yang lalu di tempat yang sama, juga disudut kafe yang sama aku duduk berhadapan dengannya, bertarung menaklukan ego, mengajak hati berdamai pada kenyataan. Sepasang bola mata pekatnya tak lepas memandangi wajahku, ia tak perduli meski mataku terus berlari-lari menghindarinya.
Aku melarikan jauh pandangan ke tempat lain, mengamati anggunnya Jembatan Ampera yang bersejarah. Sesekali melepaskan pandangan ke arah sungai Musi, mengawasi sibuknya aktivitas nelayan, kapal pedagang dan angkutan sungai di dermaga benteng.
Kadang kubuang jauh pandangan ke seberang sungai. Pada sebuah lanskap bangunan rumah-rumah tua yang mempunyai nilah sejarah di masa Kerajaan Sriwijaya, di pelataran kampung tua itu tampak berdiri tegak atap-atap putih berbentuk kerucut, seperti payung besar. Orang Palembang menamakan tempat itu Kampung Kapitan.
Sebuah kampung yang berada di pinggiran Sungai Musi, tepatnya di Seberang Ulu Palembang, merupakan kampung etnis Tionghoa pertama di Kota Palembang yang telah ada sejak masa Dinasti Ming atau sekitar abad ke-16 masehi.
Aku sibuk memindai ingatan tentang Kampung Kapitan yang menyimpan begitu banyak sejarah besar dan menyisakan kisah misteri yang belum terungkap. Kabarnya di sana ada banyak benda sejarah peradaban Sriwijaya yang terkubur. Tapi tak tahulah. Aku belum berani berkunjung ke sana lagi semenjak peristiwa itu.
“Kalau kau mau ke Kampung Kapitan, akan kupesankan perahu getek atau speed boat untukmu.” Ujarnya, menjeda lamunanku.
Ia memaknai pandanganku sebagai sebuah keinginan, padahal tak ada sedikit pun rasa ingin untuk ke sana. Banyak yang ingin kulupakan dari kepahitan hidup yang telah terlewati di kota yang bermaskot ikan belido ini, sebelum kembali ke kampung halaman, bumi Parahyangan. Meski pada kenyataannya itu tak mudah
“Tidak. Aku tak mau ke sana. Aku tak mau masuk dalam spiral waktu yang dapat mengingatkanku lagi pada sebuah peristiwa.” Sahutku tanpa melihatnya. Nada suara kubuat datar yang mengisyaratkan bahwa tak ada minat sedikit pun untuk ke sana.
Cepat-cepat kupindahkan lagi pandangan ke arah Jembatan Ampera, lalu mata mulai sibuk menghitung jumlah mobil yang berlalu lalang di atasnya. Sesekali aku membidikan kamera android pada kapal-kapal yang melintas di atas perairan sungai yang menjadi sejarah Siddhayatra Dapunta Hyang ketika mencari tanah emas di pulau Sumatera.
“Peristiwa apa?” tanyanya ingin tahu. Matanya terus mengikuti wajahku.
Aku menggeleng, tak ingin membahasnya.
Terkadang mengingat jauh lebih menyakitkan hati dari pada mengalami perpisahan. Lagi pula, sedetil apapun penjelasanku, ia tak akan pernah mengerti perjalananku.
Aku membiarkannya tenggelam dalam penasaran. Sengaja tak kutanamkan benih asa di hatinya, sebab aku tak ingin mengulang kecewa yang sama seperti sebelumnya.
Aku berharap senja ini akan menjadi hari terakhir bersamanya. Kisah ini harus segera di akhiri. Seperti rumput liar yang tumbuh di dalam lingkaran adat, harus segera di cabut agar tak tumbuh subur di tanah yang bukan tempatnya untuk hidup.
Mungkin benar kata Fidalia. Aku adalah gadis yang paling kejam dan berhati dingin, tega membunuh rasa yang tak memiliki salah apa-apa, mengecewakan banyak hati dan meninggalkan luka yang terbalut dendam (mungkin), walau ada juga yang tidak mendendam.
“Zianka, bicaralah. Akhir-akhir ini kau tampak lebih pendiam dan selalu menghindari kebersamaan. Ada apa?” tanyanya. Seperti biasa, tak ada yang kurang dari perhatiannya, malah cenderung lebih ingin menguasai.
Aku menoleh ke arahnya sekilas, tersenyum tipis sembari menggeleng dan berkata pelan: “Bukankah kita selalu seperti ini, duduk bersama tanpa saling bicara.”
“Mungkin karena kita sama-sama pendiam ya,” sahutmu di iringi tawa kecil yang tak kusambut bahkan dengan senyuman sekali pun.
Ya, memang beginilah kenyataannya. Kita terbiasa duduk bersama tapi tak banyak bercakap, pun tak saling tatap. Aku sengaja menghindari kejaran matanya untuk membunuh ragu-ragu yang masih bersemayam dalam benak. Keinginan untuk memiliki lebih besar dari perintah untuk melepaskan. Merubah sukanya menjadi benci tak semudah membuatnya suka pada senja.