Tak perlu jadi pemberontak jika hanya ingin mendapatkan apa yang kita inginkan. Sesungguhnya dibalik semua larangan pasti ada hikmahnya, mustahil semua ini terjadi bila tak ada campur tangan Allah. ~ dr. Ecy Sandra ~
Malam ini aku dirundung kegelisahan akibat perbuatan sendiri. Aku nekat bermain api di luar batas lingkaran, kini bara itu menyala menjadi api yang besar. Bisa saja sebentar lagi tubuhku akan hangus terbakar olehnya.
Tristan menepati janjinya, ia mengirimkan pesan singkat via WhatsApp dengan kalimat yang tegas dan lugas. Ia berkata, besok siang ia akan datang ke rumahku bersama murobbinya.
Harusnya aku bahagia bukan?! Setelah sekian lama menanti, akhirnya ada seorang pria salih yang datang melamar. Ya, harusnya aku senang dan bersyukur karena Allah mengirimkan pria yang baik hati, berparas tampan, berani datang menemui orangtuaku untuk menghalalkan wanita pilihannya.
Bukankah ini yang aku tunggu sejak lama?
Justru yang kurasakan saat ini tidak seperti itu. Tak tahu kenapa hati ini terasa sangat sempit sekali. Saking sempitnya, dada menjadi sesak dan napas pun berat. Kegelisahan ini menggiringku pada puncak emosi, ingin berteriak dan menangis sekencang-kencangnya.
Ya Allah, aku harus bagaimana? Benarkah dia orangnya, yang akan menggenapi hati dan menjadi teman dalam hidupku?
Bagaimana cara memberitahu ayahanda dan ibunda? Tanya hati gundah.
Aku mondar-mandir di dalam kamar, berpikir, mengumpulkan kata demi kata untuk kusampaikan kepada ayahanda dan ibunda perihal kedatangan Tristan besok. Menimbang dan mengukur resiko yang akan ku terima kalau hal ini disampaikan atau tidak disampaikan. Mempersiapkan jawaban bila ayahanda bertanya tentang siapa dan bagaimana Tristan.
Duuh, kenapa hidup jadi rumit begini? Keluhku.
Aku melirik meja kerja, benda persegi panjang seukuran 5,5 inci itu tampak bergerak-gerak bergetar, memanggil. Aku membuang kepala, tak memperdulikan panggilan telepon, lama-lama suara itu berhenti dan aku menarik napas lega. Malam ini ingin sendirian, kepala pusing, kelopak mata terasa panas, suhu tubuh pun terasa hangat. Aku lelah, mengantuk, tetapi mata enggan untuk terpejam.
Suara getar ponsel terdengar lagi. Ya Allah, siapa sih malam-malam gini telepon? Rutukku dalam hati.
Sepasang alis saling bertaut sambil melangkah pelan menuju meja kerja yang masih tampak berantakan, buku-buku, laptop dan ponsel bergeletakan di atas meja. Getar ponsel terdengar seperti sebuah sayatan sembilu. Takut-takut kubaca sebaris nama pada layar.
dr. Ecy Sandra. Aku tersenyum lega saat membaca nama yang terpampang pada layar. Pucuk di cinta ulam pun tiba, Allah telah menggerakan dokter spesialis jantung ini untuk menghubungiku.
“Assalamualaikum, Zi.”
“Wa’alaikumussalam, mbak.”
“Kok lama sekali angkat teleponnya. Sudah tidur ya?” suara cempreng Mbak Ecy—begitulah aku biasa menyapanya—diseberang telepon membuatku refleks menjauhkan ponsel dari telinga, lalu mencaru headset dilaci meja.
“Belum. Aduh ampun suaramu, mbak.”
“Hahaha, biar kamu nggak ngantuk.” Sahutnya asal saja. “Kamu lagi nulis ya, Zi. Kok lama banget angkat telepon?” ia mengulangi lagi pertanyaannya.