Januari 2017
Pagi menyeruak. Di ufuk timur mentari menyala laksana lentera. Cahayanya yang keemasan memberi hangat setelah semalam diguyur hujan lebat. Bulir-bulir embun sisa hujan semalam masih menggantung di pucuk daun yang rimbun, sebelum jatuh ke tanah yang basah, yang rebah, sesudah dikibas kepak sayap sekawanan burung yang turun dari gunung.
Di antara baris pohon pinus yang rindang, sebuah vila bergaya klasik berdiri menjulang. Dari jendela yang setengah terbuka tampak seorang gadis yang kerap dipanggil Valen oleh rekan-rekannya sedang menggeliat membentangkan kedua tangannya, persis seperti merpati mengepakkan kedua sayapnya.
Gadis manis itu masih menggerakkan kedua tangannya, satu-satunya cara untuk membebaskan diri dari rasa kantuk yang menjerat matanya. Setelah menguap berkali-kali ia mengucek matanya yang perih disengat cahaya mentari.
“Selamat pagi,” ujarnya lirih sambil menatap lukisan Simone de Beauvoir di depan ranjang tidurnya.
Di sampingnya sesosok tubuh membujur bagai mayat tengah terlentang dengan tenang. Seorang pemuda masih terlelap. Mungkin saja malam tanpa bintang masih memberikan mimpi indah untuknya. Gadis berusia 19 tahun itu hanya tersenyum melihat tubuh pemuda itu yang penuh.
Dengan gerakan pelan dara manis itu menarik selimut yang menjutai ke lantai, kemudian menutupi tubuh pemuda itu yang nyaris telanjang. Entah apa yang gadis itu pikirkan, ia masih memandangi tubuh pemuda itu yang tegap bagai pilar. Dan, itulah pemandangan indah di pagi hari yang ia lihat dengan mata telanjang.
Saat akan mengambil baju tidurnya yang berserakan di lantai, ia tercengang melihat bercak darah di seprai. Darah itu belum sepenuhnya kering saat ujung jarinya menyentuhnya. Segera saja pikirannya tertuju pada suatu hal yang ia lakukan semalam.
“Apakah ini darah perawanan,” gumamnya dalam hati diliputi penasaran. Kemudian ia memeriksa selangkangannya. Dengan gerakan refleks ia menyentuh bibir vaginanya dan mendapati apa yang ia lihat: bercak darah.
Aku sudah tak perawan.
Ya, selaput vaginanya telah robek sebagai tanda kesakralan seorang gadis dalam pandangan umum telah ia singkirkan. Telah ia serahkan tanpa pamrih. Tanpa ada tawar menawar. Ia bukan pelacur. Juga tidak minta pertanggungjawaban untuk dinikahi. Semua terjadi begitu saja. Seperti tersihir. Seperti air mengalir dari hulu ke hilir.
Dalam keadaan bingung seperti itu, sama sekali ia tidak mempunyai pikiran purbasangka. Sebab, yang ia tahu dirinya baru saja melakukan satu pengalaman eksistensial ketubuhannya. Satu pengalaman alamiah bagi manusia dewasa yang memenuhi kodratnya: bercumbu.
Bukankah semua orang melakukan itu, pikirnya.
Tidak ada sesal dari air mukanya. Meski ia tahu telah berbuat dosa. Sebagai gadis merdeka ia tahu tidak semua perbuatan dosa harus dihukum oleh negara. Ini republik bukan khilafah. Bukan kerajaan. Meski masih feodal, komunal, dan primordial.
Setelah membungkus tubuhnya dengan baju tidurnya yang tipis ia bangkit dari ranjang tidurnya secara perlahan dan berjalan mendekati cahaya mentari yang tumpah di wajahnya. Baru saja membuka jendela kamarnya, udara dingin menyergap tubuhnya, menampar wajahnya, dan mengibas rambutnya yang panjang bergelombang hingga berkibar bagai bendera di atas tiang yang menjulang saat upacara kemerdekaan.
Cukup lama gadis berwajah oval itu berdiri melonggokkan kepalanya di hadapan hutan pinus, dan hamparan kabut yang turun di langit Bogor.
“Pagi yang ramah,” ujarnya kepada diri sendiri dengan senyum mengembang sebelum membuang tubuhnya ke kursi.
Setelahnya ia memejamkan matanya sebelum mengerutkan dahinya yang disanggah kedua telapak tangannya. Ia merasa ada sesuatu yang ganjil pada dirinya—pada tubuhnya.
Bukan karena kesuciannya sebagai seorang gadis telah ia serahkan kepada seorang pengarang berwajah manis, yang acap kali membunuh hati perempuan dengan pesonanya—kata-katanya. Sungguh bukan itu. Ia masih bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya—tubuhnya.
“Apa yang terjadi denganku, Tuhan. Januari telah tiba dan seharusnya aku bahagia, bukan untuk menyambut tahun baru yang lekas, tetapi sesuatu yang sudah lama aku rencanakan bersama PINK. Kini kesempatan itu telah datang. Lalu kenapa ada perasaan ganjil dalam hatiku. Seperti melewati malam Minggu tanpa pasangan yang rindu pelukan dan ciuman,” begitulah isi kepala gadis itu berkicau.
Ia masih termenung sedikit murung.
Dua menit kemudian ia merebahkan kepalanya dan mencoba mengingat kembali petualangan semalam yang penuh debar. Satu keputusan yang harus ia tempuh selain untuk memuaskan rasa penasarannya, juga ketertarikan di hadapan tubuh yang tak sama dengan tubuh miliknya. Setelah menjalani masa remaja yang dilanda kegundahan dalam diri, yang menggerus rasa percaya diri—yang kerap mengundang sebuah tanya: mengapa aku tertarik pada tubuh perempuan dan lelaki sekaligus?
Valen sepenuhnya sadar, kepergian Kristin tidak hanya meninggalkan rasa sakit, sedih, amarah, kecewa, dan rasa putus asa. Namun, juga sebuah tanda tanya. Kristin tidak hanya meninggalkan kenangan manis tetapi juga tragis. Kisah yang menegaskan dirinya: perihal cinta, masa depannya, dan kebahagiaannya yang tidak ia dapatkan dengan tubuh lainnya. Termasuk dengan tubuh Gibran—pemuda yang telah mengerami tubuhnya malam ini. Meski Valen diam-diam tidak bisa menolak tubuhnya. Pendeknya, menginginkannya. Bukan hanya dengan tubuh Kristin, tetapi juga dengan tubuh Gibran.
Membicarakan Gibran memang tidak ada habisnya. Ia seperti halaman buku yang tidak pernah tamat untuk dibaca. Pemuda yang satu ini memang menarik bukan hanya sebagian tetapi seluruhnya. Ia penuh kharisma dan sangat memesona, bukan hanya dilihat dari tubuhnya yang berisi, tetapi pikirannya yang juga seksi.
Benarkah aku menginginkannya sebagai kebutuhan? Atau tuntutan sosial? Apa yang terjadi semalam seharusnya sudah lebih dari cukup untuk mengambil sebuah kesimpulan, apa yang menjadi kebutuhan tubuhku, bukan mengikuti kemauan masyarakatku, budayaku, dan agamaku. Tidak, sungguh bukan itu.
Valen masih terus berpikir sambil memandangi Gibran yang masih terlelap. Ia mencoba mengais-ngais kejadian semalam, menyegarkan kembali ingatannya tentang percumbuan yang melelahkan. Dan saat mentari terbit di matanya melahirkan tanya: Benarkah aku menyukai tubuh yang sama atau tubuh yang lainnya... Atau keduanya? Haruskah aku pasrah—berserah?