Pukul delapan pagi Joe dan Axel sedang sibuk membagikan pamflet berisi manifesto PINK. Bukan hanya isi pamflet yang menarik perhatian, melainkan penampilan keduanya yang mengenakan tanktop ketat sukses mengundang gelak tawa. Meski tidak sedikit yang geli dan jijik.
Sebuah penampilan baru yang sama sekali tidak terpikirkan di benak Joe. Ide itu datang dari Axel yang kerap mempunyai imajinasi liar.
“Apa kamu yakin dengan pakaian semacam ini?” tanya Joe ragu sesekali membetulkan tanktop-nya yang menurutnya aneh untuk tubuh lelaki.
“Apa ada yang salah?” sahut Axel dengan santainya, “ini abad 21, Bung. Definisi fashion sudah berubah. Apa kamu tahu Hary Styles?”
“Ya.”
“Bagi Hary Styles pakaian itu untuk kenyamanan penggunanya tanpa pandang alat kelaminnya. Genderless!”
Keduanya pun melenggang ke kampus dengan pakaian ganjil dalam pandangan umum. Alhasil, semua orang yang melihatnya dibuat geleng-geleng kepala. Axel yang berbadan kekar begitu percaya dirinya melenggang ke sana kemari. Berbeda dengan Joe yang bentuk badannya seperti triplek begitu canggung sedikit kaku karena sebenarnya ada perasaan malu.
Di kantin anggota PINK paling pendiam, siapa lagi kalau bukan Anna yang kerap tenggelam oleh kacamatanya yang tebalnya, dan lebih suka tampil apa adanya, pagi itu dibantu tiga orang rekannya sedang sibuk mengutak-atik website PINK.CO.
“Kalau seperti ini bagaimana, An?” tanya rekannya kepada Anna yang sibuk menenggelamkan wajahnya pada layar laptop.
“Oke, juga,” balasnya ringkas. Pagi itu dia langsung mengerjakan tugas yang diinstruksikan oleh Valen untuk membuat rubrik baru khusus membahas LGBT. Nantinya rubrik baru itu bisa diisi oleh siapa saja yang ingin mempublikasikan pandangannya tentang LGBT. Sedangkan rubrik esai mingguan masih diisi oleh tulisan-tulisan Gibran.
Kantin di kampus mana pun sama: tempat favorit semua mahasiswa. Di tempat itulah kebahagiaan terpancar dari kaum muda yang sedang menatap masa depannya. Kantin adalah satu tempat bebas yang menampung segala hal mulai dari ide liar, radikal, maupun slengean. Semuanya mengudara dalam bentuk wacana. Kisah kasih juga banyak terpotret di tempat ini. Protes terpendam juga diucapkan di tempat ini. Beberapa dosen juga kerap nongkrong di sini. Berbaur menjadi satu. Di sini pula anggota PINK nongkrong. Tepatnya di pojok kantin ditandai spanduk berwarna pink di dindingnya, mereka berlima—Gibran, Valen, Anna, Axel, dan Joe berkumpul untuk berdiskusi. Sesekali menggosip.
Kurang dari lima meter dari tempat Anna duduk, seorang dosen bernama Klara baru saja memesan kopi. Usianya sudah 40 tahunan, tetapi kecantikannya masih jelas tergurat di wajahnya. Sudah banyak lelaki yang mencoba melamarnya dan semuanya ditolak. Mungkin saja ia masih menikmati profesinya yang sudah dijalaninya selama beberapa tahun ini sebagai pengajar filsafat dan feminisme di almamater kampusnya.
Sambil membawa segelas kopi ia menghampiri Anna dan duduk di sebelahnya. Tanpa basa-basi ia ikut nimbrung menanggapi Anna dan teman-temannya yang sedang membicarakan PINK.
“Aku pikir agenda PINK tahun ini begitu berani,” ujarnya sambil menyodorkan pamflet yang ia dapat dari Axel.
“Oh, Bu Klara. Betul karena presiden baru PINK mendakku pemikir kiri yang revolusioner. Meski sebenarnya aku ragu,” balas Anna menyeringai.
“Siapa?”
“Valen,” balas Anna, “oh, ya, Bu, kami juga akan mengadakan seminar di kampus dengan tema yang berbeda dari tahun sebelumnya.”
“Bagus dong. Meski...”
“Meski apa, Bu?’ potong Anna.
“Isu yang diangkat sangat sensitif. Ini berbahaya untuk diri kalian sendiri. Sebab, tidak ada yang melindungi kalian, kecuali sebagai warga negara yang dilindungi haknya untuk bicara—menyampaikan pendapat. Hanya itu tok. Lain tidak.”
“Gibran sudah mengingatkannya. Sayangnya Valen bersikeras dengan gagasannya. Entah apa yang mendorong Valen hingga ia begitu berani mengambil keputusan radikal. Mungkin Gibran tahu alasan di balik itu, keduanya begitu dekat.”
“Nanti aku tanyakan langsung kepada Gibran. Selamat ya, YouTube PINK sudah tembus tiga juta Subcriber. Kontennya juga semakin variatif.”
“Ibu mengikutinya?”
“Selalu dong.”
Ketika Klara dan Anna sedang asyik mengobrol layaknya seorang ibu dengan anaknya, di depan kantin terdengar suara keributan. Tiga satpam kampus dibuat kelimpungan membubarkan sekelompok mahasiswa yang mulai beringas. Anna dan teman-temannya langsung menghampiri penasaran apa yang sebenarnya terjadi pagi-pagi sudah ada jual beli makian dan adu pukulan. Begitu pun Klara yang ikut penasaran.
“Kampus harus bebas dari LGBT...” teriak salah satu mahasiswa dan diikuti teriakan lainnya, “tolak LGBT. Bersihkan kampus dari LGBT.”
“Semuanya bubar,” teriak satpam tak kalah galaknya.
Di tengah kericuhan terlihat Axel dan Joe sedang mempertahankan dirinya dari kelompok mahasiswa penentang gerakan LGBT di kampus. Kebanyakan dari mereka ialah kader partai politik berbasis Islam yang cukup mapan di tanah air. Selain jumlahnya masif dan tersebar di berbagai kampus, kelompok ini juga sangat militan, terorganisir sangat rapi hingga menempati pos-pos penting di sejumlah kampus—termasuk UI. Mereka menamakan dirinya sebagai Jaringan Mahasiswa Islam (JMI). Selama dua tahun ini anggota PINK kerap bersitegang dengan kelompok JMI (yang juga terafiliasi dengan Hizb ut-Tahrir Indonesia).
Keributan makin panas dan meluas. Salah satu dari mereka mencoba menghajar Axel dan Joe yang sudah terkepung. Saat genting seperti itulah Gibran muncul bagai pahlawan kesiangan dan berhasil menyelamatkan dua rekannya dari amukan mahasiswa yang sudah kesetanan.
“Kalau berani satu-satu,” teriak Axel kesal.
“Tindakan kalian memalukan,” kali ini giliran Gibran yang berteriak di tengah kerumunan, “apakah ini yang dinamakan kaum terpelajar? Jika kalian menentang sebuah ide, maka lawanlah dengan ide pula. Lawan argumen dengan argumen, bukan dengan sentimen. Mahasiswa yang berpengetahuan tidak menyisihkan ruang kosong di hatinya untuk memelihara kebencian.”
“Banyak bacot Lu...” potong salah satu dari mereka sambil melayangkan tinju yang berhasil ditangkis oleh Gibran, meski ia akhirnya terjungkal setelah satu pukulan liar entah dari mana datangnya berhasil mendarat di pelipisnya.
“Usir mahasiswa pendukung LGBT. Keluarkan dari kampus. Jangan sampai kampus kita dinodai oleh kelompok kafir. Takbir...” begitulah suara mahasiswa yang kesal dengan keberadaan kelompok PINK di kampus.
Keributan akhirnya dapat dilerai setelah Axel, Joe, dan Gibran digiring ke ruang rektorat. Massa yang menolak gagasan PINK perlahan membubarkan diri setelah mengancam akan menggelar demo jika Gibran dan teman-temannya tidak dikeluarkan dari kampus. Bagaimana pun mereka harus mampus, begitulah mereka mengancam dan mengecam keras sekaligus tegas sebagai peringatan.
Perselisihan antara dua kelompok tersebut sebenarnya tidak lepas dari peristiwa tewasnya Kristin setahun yang lalu. Kristin ditemukan tewas bunuh diri di toilet kampus dengan cara mengiris urat nadi lengan tangannya. Kejadian itu tidak hanya menggegerkan kampus, tetapi juga menghantam psikologis anggota PINK terutama Valen. Di berbagai media dengan lantang Valen menuding kampus di balik tewasnya Kristin.
Kematian Kristin juga mencoreng reputasi Gibran yang gagal melindungi rekan-rekannya. Karena alasan itulah ia mengundurkan diri sebagai ketua PINK meski sisa jabatan yang diembannya menyisakan setahun lagi. Ia menerima semua kritik yang dilayangkan koleganya dengan lapang dada. Termasuk Valen yang mengkritik Gibran mengedepankan sikap kompromi.
Menurutnya, Gibran tidak membawa semangat “kiri” yang radikal sekaligus revolusioner. Apa yang dituduhkan Valen tidak sepenuhnya salah, sebab Gibran seorang revisionis dalam memandang segala hal. Misalnya saja ia memercayai teori Gramsci yang menggugat kegagalan komunisme. Sikap ini jelas berbeda dengan rekan-rekannya terutama yang sedang semangat-semangatnya mempelajari ideologi “kiri’. Bagi anak muda kiri itu seksi. Meski setelah berkeluarga kebanyakan dari mereka menjadi budak korporat dan menarik diri dari isu neo-kapitalisme.
Kegagalannya memimpin PINK ia curahkan kepada dosennya Klara. Di mata Gibran sosok Klara bukan hanya seorang dosen di kelas, lebih dari itu ia guru sekaligus sekutu. Waktu itu hari Minggu saat ia menyambangi rumah Klara di daerah Bintaro. Setelah disuguhi kopi Gibran menceritakan peristiwa kematian Kristin.
Di halaman belakang rumah Klara yang tidak terlalu besar tapi cukup untuk melepaskan penat, Gibran menyandarkan kepalanya di atas kursi yang terbuat dari pohon bambu. Ia sedikit lebih tenang menikmati konsep rumah dosennya itu yang berbeda dengan rumah lainnya. Kicauan burung yang bertengger di ranting pohon mangga, suara ayam di pekarangan menjadi pemandangan yang menyegarkan mata—yang setiap hari bosan melihat kemacetan di jalan raya.
Setelah menyeruput kopi hasil olahan tangan kreatif Klara beberapa menit yang lalu, Gibran membuka obrolannya: “Sangat berat hidup di budaya Timur bagi mereka yang mendambakan peradaban Barat. Kematian Kristin tidak akan terjadi jika setiap orang menerima perbedaan, mengakuinya, dan menghormati ketubuhannya. Sayangnya mereka memandang dengan perasaan jijik, dengan tatapan ganjil, dan dengan naluri kebencian yang sedari kecil sudah ditanamkan, bahwa sesuatu di luar doktrin agamanya ialah perbuatan menyimpang, terkutuk, laknat sekaligus kafir yang harus dienyahkan. Sungguh yang aku sesalkan dari awal Kristin tidak pernah bercerita jika ia kerap di-bully di kampus—di dalam kelas.”
Kristin begitu serius mendengar keluh kesah mahasiswa kesayangannya itu. Kemudian Gibran mengajukan tanya, “Boleh aku bicara sambil merokok, Bu.”
“Panggil saja Klara supaya egaliter. Sudah berulang kali aku mengingatkanmu. Kamu sudah lama mengenalku, tidak usah kaku begitu,” Klara memprotesnya lalu tertawa dengan manisnya.
“Baik, Klara,” balasnya sedikit kaku.
“Katanya mendambakan barat.”
Gibran kemudian tertawa.
“Oh, ya, kamu sedang bertamu di rumahku, dan rumahku bukan kampus yang banyak aturan. Juga bukan masjid, gereja, maupun biara. Rumahku adalah bumi manusia dengan segala persoalannya. Sesekali aku juga merokok,” kata Klara, “akhirnya apa yang aku takutkan benar-benar terjadi. Sebelum kamu mendapat risiko yang berat, sebaiknya bubarkan saja PINK. Dari awal aku tidak setuju dengan rencanamu menghidupkan kembali PINK.”
Gibran mengeluarkan napasnya dengan berat, dadanya terasa sesak mendengar saran dari dosen panutannya itu.
Sambil menyandarkan kepalanya, ia menimpali saran Klara yang baginya terlalu berat untuk dikabulkan.