Di Hadapan Cinta Semua Tubuh Sama

Ade Mulyono
Chapter #3

TIGA

Baskara perlahan merangkak dan kini tepat di atas ubun-ubun kepala. Suara azan berkumandang sahut menyahut sebagai tanda waktunya beristirahat. Ada yang bergegas memenuhi panggilan Sang Pencipta untuk menunaikan salat, tidak sedikit yang langsung menyerbu warung makan untuk mengisi perut. Namun, ada juga memilih meluruskan kaki atau minggir sebentar ke tepi jalan. Tentu saja bagi mereka yang berburu rupiah di sepanjang aspal setelah dipanggang sepanjang siang.

Di dalam gedung universitas yang megah, bel berbunyi nyaring sebagai tanda: waktunya merehatkan badan—menurunkan suhu pikiran.

Mendengar bunyi bel mahasiswa berhamburan keluar dari kandangnya. Bagai kerbau setelah dipaksa bekerja membajak sawah. Begitulah sistem pendidikan disesuaikan dengan jam produksi kelas pekerja. Tidak terkecuali tingkat pendidikan di bawahnya yang mengekor: SMA-SMP-SD (para siswa riang gembira mendengar bel berbunyi sebagai tanda kemerdekaan hari telah diraihnya setelah sepanjang pagi dijajah para guru yang gemar menggurui).

Kantin sudah sesak saat Valen dan Gibran meninggalkan ruangan dosen (bidang kemahasiswaan). Satu jam lamanya dua anak muda itu dicecar berbagai pertanyaan. Layaknya penuntut umum yang mencecar tersangka di muka persidangan untuk membuktikan kesalahannya.

Setelah meladeni pertanyaan para dosen yang maha benar itu, Valen dan Gibran keluar ruangan dengan langkah payah. Begitu berat memanggul kekalahan di atas pundaknya.

Seperti pasangan pengantin keduanya berjalan beriringan. Seperti pasangan yang sedang bertengkar keduanya berjalan tanpa bertukar kata. Valen sibuk dengan ponselnya, Gibran sibuk dengan pikirannya sendiri. Sesampainya di kantin keduanya langsung diburu oleh ketiga rekannya—Axel, Anna, dan Joe yang sudah menunggunya dengan debar.

“Kenapa lama sekali, apa yang dibicarakan Pak Subagio?” tanya Axel penasaran sambil mengikuti langkah Valen dan Gibran menuju tempat biasa mereka nongkrong: pojok kantin.

“Tolong pesankan aku kopi, pikiranku runyam sekali,” balas Gibran sambil memegang kepalanya yang pusing seperti digebuki.

Anna beranjak dari tempat duduknya menuruti permintaan Gibran.

“Kalau kamu bagaimana, Va?” kali ini Axel mengajukan tanya pada Valen setelah mendapat jawaban yang tak memuaskan dari Gibran.

“Tanyakan saja pada sang pujangga kita yang di dalam ruangan hanya berpuisi menyoal rembulan,” sahut Valen yang tak dapat menyembunyikan kekesalannya. Keceriaan tidak tampak dari wajahnya yang ayu. Senyumnya yang manis seketika lenyap begitu saja.

Axel diam kecuali matanya yang terus bergerak memperhatikan kedua rekannya. Ia menduga kedua sahabatnya itu sedang berseteru. Sesuatu telah terjadi pada keduanya. Entah apa yang para dosen lakukan pada kedua sahabatnya itu.

Melihat semua temannya gagu, Joe berdiri menggebrak meja. “Tolong bicara, apa yang sebenarnya terjadi?”

Semua melihat ke arah Joe yang ikut kesal.

“Aku minta maaf. Semua ini salahku. Aku kelewat batas hingga keributan tadi pagi harus terjadi. Sungguh ini sambutan yang tak menyenangkan. Sesuatu yang seharusnya bisa aku hindari,” sambut Axel kemudian menepuk pundak Joe mencoba menenangkan amarahnya yang mulai bergemuruh.

“Aku tidak menyangka kalian berdua akan bertindak sejauh ini,” Gibran akhirnya buka suara setelah mengeluarkan rokok dari saku celananya yang sedari tadi menggaruk-garuk pahanya minta untuk dijamah dan dihisap.

“Semua atas perintahku,” Valen langsung menanggapi pernyataan Gibran. Kali ini Gibran menemukan lawan yang sepadan. Dengan tatapan tajam Valen berujar lantang, “aku yang mengatur semuanya. Aku pikir kita tidak perlu lagi bersembunyi-sembunyi. Kita tidak sedang menyebarkan agama. Berkhotbah... Kita juga bukan nabi yang diutus ke bumi. Kita tidak mempunyai tanggung jawab moral. Satu hal yang perlu kita teguhkan, renungkan, dan laksanakan adalah memperjuangkan kelompok yang tertindas di kampus kita, mereka setiap hari kena bully hanya orientasi seksual mereka berbeda. Bukankah ini tujuan PINK dihidupkan. Kata-kata tanpa aksi hanyalah verbalisme kosong. Omong kosong. Aku masih ingat ucapanmu Gibran yang kerap meminjam Paulo Freire yang kamu puja-puja itu. Kata tanpa aksinya ibarat asap berselubung kabut.”

Gibran berdiri kemudian menimpali, “Tanpa perencanaan matang? Maka seperti inilah hasilnya. Apa kalian semua ingin tahu apa yang dibicarakan kami di ruang dosen tadi, rektorat mengultimatum siapa saja yang melanggar norma aturan kampus akan dikeluarkan dari kampus. Semua yang berhubungan dengan PINK dilarang di kampus. Barangkali dua hari ke depan surat larangan LGBT akan dikeluarkan.”

“Semua ini bisa dihindari jika Gibran berani melawan,” sergah Valen dengan wajah memerah bagai bara api sampai urat lehernya tampak menegang. “Entah apa yang kamu inginkan Gibran. Kenapa seluruh pengetahuanmu seolah-olah menjadi beku di hadapan para dosen yang sok maha-tahu?”

“Apa yang aku inginkan? Jelas aku menginginkan kalian semua tetap di sini mengenyam pendidikan sampai selesai. Aku diam bukan berati menyerah, aku memikirkan nasib kalian,” balas Gibran dengan suara agak keras, “sekarang tujuan kita bertambah berat. Ruang gerak kita terbatas, bahkan kita tidak punya ruang sama sekali di kampus ini. Di mana kita harus membicarakan kesetaraan gender. Di mana kita harus membicarakan ketubuhan. LGBT dan lain sebagainya. Peluang kita menyelenggarakan seminar dengan mengundang pemikir feminis untuk membicarakan kesetaraan gender dan pendidikan inklusif pupus sudah.”

Anna datang dan langsung menyuguhkan kopi dan Gibran menyambarnya.

“Apa aku terlambat?” tanya Anna, “sepertinya ada berita penting yang belum aku dengar.”

Tak lama berselang Valen menitikkan air matanya.

Gibran meliriknya. Rasa sesal timbul di hatinya telah bicara dengan nada tinggi pada perempuan. Meski sebenarnya ia bingung dengan perubahan Valen yang drastis sejak kematian Kristin. Apa sebegitu dalamnya rasa persahabatan yang ia jalin dengan Kristin hingga hanya dalam kedipan mata sikapnya pandangan dan sikapnya seketika berubah, pikirnya. Mengingat setelahnya, Valen kerap menangis, bersedih tanpa mengungkapkan alasannya, dan sering melamun. Apakah semua itu ada hubungannya dengan rencananya yang menggebu-gebu agar kampus menerima dan membuka diri kepada para peserta didik maupun mahasiswa LGBT secara luas. Masif. Bagian ini yang sedang diperjuangkan. Dan perjuangan selalu tidak mudah. Berdarah-darah dan terluka.

“Ada apa denganmu, Va,” tanya Anna sambil menenangkan sahabatnya itu.

Sambil terisak Valen berujar, ”Sampai kapan kita seperti ini? Diperlakukan tidak adil. Tertindas. Teraniaya. Bukankah kita juga membayar ongkos kuliah yang tidak murah. Kenapa pihak kampus melakukan kita berbeda? Aku hanya ingin tidak ada lagi orang-orang seperti Kristin yang tersingkir, terasing, dan teraniaya hanya ia mengaku lesbi. Hanya ia penyuka sesama jenis! Dan kamu Gibran, kamu yang bilang sendiri tidak semua perbuatan dosa harus dihukum negara apalagi kampus. Kampus ini tak ubahnya seperti gereja, masjid, biara yang gemar menghukum jemaatnya—yang dianggap menyimpang dari ajarannya—dari kitab sucinya. Dan para dosen, mereka bukanlah Juru Selamat! Mereka bukan nabi yang mengajak jalan ke surga untuk mahasiswanya. Sampai kapan kita seperti ini?”

“Semua butuh waktu, itu juga yang sedang kita perjuangkan, Va.”

“Sampai kapan?”

Kali ini Gibran kembali terlibat perdebatan sengit. Keduanya tetap mempertahankan pandangannya. Jual beli argumen tidak terhindarkan. Dan, dari saling tuding itulah diketahui jika Gibran dan Valen di persimpangan jalan. Gibran menghendaki PINK berkompromi dengan peraturan kampus. Hanya dengan begitu mereka tetap dapat melanjutkan pendidikannya. Juga kegiatan lainnya termasuk agendanya bersama PINK secara klandestin.

Sedangkan Valen sebaliknya. Ia menghendaki PINK berterus terang dengan tujuannya. Menurutnya hanya dengan mengampanyekan agenda PINK secara terbuka, maka dunia akan melihat dengan mata telanjang bahwa ada sekelompok anak muda yang sedang memperjuangkan mahasiswa LGBTQ mendapatkan pendidikan secara inklusif. Setara. Adil. Meski ia tahu konsekuensinya: drop out.

Bagi Valen, sikap yang jelas jauh lebih baik ketimbang harus berpura-pura saleh dan bersembunyi di balik jaket almamater kampus sebagai kaum intelektual. Padahal, tak ubahnya bagai polisi moral (yang gemar menentukan apa yang disebut baik dan benar).

Valen yang belum bisa menerima keputusan dari kampus bergegas pergi tanpa permisi. Ia mengeluyur begitu saja sesekali mengusap air matanya yang berurai mengiringi langkah kakinya.

“Va, mau ke mana?” seru Anna yang kemudian mengejarnya.

Axel dan Joe juga mengikuti langkah Anna mengejar Valen.

Kini tinggal Gibran seorang. Ia tak ubahnya seekor burung yang ditinggal terbang kawanannya. Tanpa kata, tanpa tatapan mata untuk melihat kawan-kawannya pergi meninggalkan dirinya.

Dinyalakannya sebatang rokok. Dihirupnya dalam-dalam kemudian mengeluarkan asap beracun itu bersamaan kegundahan hatinya. Ia tidak menyangka keributan pagi tadi, yang menyeret kedua sahabatnya Joe dan Axel dengan kelompok JMI akan menjadi runyam seperti sekarang ini.

Sebelumnya, Joe dan Axel terlebih dahulu mendapat surat peringatan keras. Setelah keduanya barulah, giliran Valen dan Gibran diundang ke ruang rektorat. Pamflet, brosur, dan naskah artikel tentang feminisme yang dijadikan bukti membuat Gibran terperangah.

Ia sama sekali tidak mengetahui apa yang dilakukan teman-temannya. Lebih mengecewakan lagi Valen sama sekali tidak memberi tahu dirinya perihal pamflet dan brosur yang disebar di kampus. Baginya, itu bukan tindakan radikal, melainkan provokatif. Bertambah kecewanya Gibran setelah mengetahui bahwa tindakan itu dilakukan di luar kesepakatan yang telah dibuat bersama saat pengesahan Valen menjadi ketua baru PINK kemarin malam.

Di hadapan segelas kopi dan gorengan Gibran masih merenung memikirkan cara terbaik untuk menyelamatkan teman-temannya dari ancaman D.O.

Satu demi satu mahasiswa mulai meninggalkan kantin. Mereka kembali ke habitatnya: kelas. Beberapa mahasiswa masih bertahan, di sela-sela jari mereka sebatang rokok sedang diapitnya. Biasanya mahasiswa tersebut kelas kakap, senior, atau golongan ugal-ugalan yang malas masuk kelas.

Gibran tidak memedulikannya. Sesuatu yang tidak menarik untuk dipikirkan, apalagi diperhatikan. Gibran terlihat begitu tenang meski pikirannya sangat ramai memikirkan banyak hal. Kopi di hadapannya hampir tandas. Berbatang-batang rokok memenuhi asbak di depannya. Barangkali nikotin yang diisapnya sudah memenuhi paru-parunya.

Memberi jarak pada teman-temanya terutama Valen adalah cara yang terbaik saat ini, pikirnya. Setidaknya ia perlu memberikan waktu pada perempuan yang sudah lama dikenalnya itu untuk menenangkan dirinya. Menjernihkan alam pikirnya, terutama emosinya yang timbul dan tenggelam.

“Assalamualaikum, selamat siang. Apa kabarmu Mas?” seorang perempuan yang entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang Gibran yang sedang melamun. Sontak saja Gibran sedikit kaget. Pikirannya buyar.

“Baik,” kata Gibran sambil memandangi perempuan yang asing di matanya.

“Apa kamu lupa? Aku Marwah, beberapa bulan yang lalu kita pernah bertemu. Bertukar nama dan berbincang mengudara.”

“Marwah?”

“Marwah Az-Zahra. Mahasiswi keguruan. Tarbiah.”

“Oh, ya, aku ingat. Kalau tidak salah kamu yang waktu itu menghadiri acara bedah novelku kan?”

“Syukurlah kalau Mas Gibran masih mengingatnya.”

“Dan kamu selalu melupakannya. Sudah berapa kali aku katakan panggil saja Gibran. Tidak usah pakai gelar Mas.”

Marwah tersenyum sebelum kembali menimpalinya, “Baik. Sebenarnya aku sering melihatmu Mas, tapi segan untuk menyapamu. Ops, maaf.”

“Aku bukan anak pejabat juga bukan mahasiswa penting di sini. Tidak ada protokol yang harus dipenuhi untuk sekadar menemuiku. Menyapaku. Malahan aku senang kalau diajak makan.”

“Takut mengganggu saja. Sepertinya kamu sibuk dengan PINK.”

“PINK hanyalah alat bukan tujuan itu sendiri. Oh, kamu tahu PINK rupanya.”

“Semua mahasiswa di sini sepertinya juga tahu. Aku mengikuti semuanya; YouTube, website, dan diskusi-diskusi yang sering diselenggarakan PINK di luar kampus. Juga esai-esaimu yang lincah.”

“Terima kasih. Oh, ya, mau minum apa?”

“Tidak usah, aku tidak lama kok. Aku ada diskusi kecil dengan teman-teman...”

Hizbut-Tahrir Indonesia?” potong Gibran.

Marwah mengangguk kemudian berujar, “Di mana yang lain? Kok sendirian saja.”

“Sekarang sudah berdua kok.”

Marwah tersenyum.

“Mereka sudah kembali ke kelas mungkin. Kamu tidak masuk kelas?”

“Dosen pengampu hanya memberi tugas rumah. Oh, ya, aku sangat menyayangkan keributan tadi pagi. Semoga perjumpaan kita tidak meninggalkan bara. Meski percikan kerap terjadi di antara kelompok kita.”

Gibran tersenyum mendengar ucapan Marwah. Dengan tenang ia meresponsnya, “Perbedaan pandangan itu sunatullah di negara demokrasi. Yang dilarang ialah membawa pentungan untuk memukuli orang hanya karena berbeda pandangan.”

“Jadi kamu tidak marah, seandainya pun aku juga mengkritik pemikiranmu?”

“Kritiklah dengan keras! Itu gunanya kampus. Di sinilah tempat lalu lintas pikiran dipelihara. Mengurai berbagai persoalan dalam negeri, misalnya.”

“Setiap pembaruan memang butuh ujian. Apakah ia sebagai ide dan gagasan akan matang atau prematur.”

Lihat selengkapnya