Di Hadapan Cinta Semua Tubuh Sama

Ade Mulyono
Chapter #4

EMPAT

Seminggu telah berlalu sejak peristiwa keributan di kampus yang membuat Gibran, Axel, dan Joe nyaris dihabisi oleh musuh ideologis mereka: JMI.

Selama seminggu itu pula, Valen masih bersikap dingin terhadap Gibran. Sampai di sini kesabaran Gibran masih diuji. Terbukti, dua anak muda yang dulu kerap menghabiskan waktu bersama, kini mulai renggang. Seminggu ini baru dua kali mereka bertemu, itu pun di dalam kelas. Selebihnya, Valen menghilang. Ia bahkan melewatkan mata kuliah yang diampu Klara: feminisme sebagai filsafat yang terlibat. Padahal, itu mata kuliah penting baik secara teoretis maupun praksis.

Ketidakhadiran Valen yang kerap bolos kuliah membuat Gibran merasa bersalah. Maka ditanyakanlah keadaan dan keberadaan Valen selama seminggu ini kepada Axel. Sialnya, biang kerok keributan itu hanya menggelengkan kepala.

Pukul setengah tiga sore, bel berbunyi. Mahasiswa berhamburan keluar kelas. Waktunya pulang, healing, pacaran, bergandengan, dan ciuman bagi mereka yang dimabuk cinta—berahi. Tentu saja, mereka tak mungkin melakukan hal itu di kampus.

Axel sudah menghilang dari kelas. Ia ada janji dengan kekasih rahasianya: Joe.

“Aku pergi duluan, kawan. Anna dan kamu juga, Bung, carilah pasangan agar malam Minggu kalian tak risau dan kering,” ujarnya sok puitis sambil melambaikan tangan.

Gibran hanya menggelengkan kepala mendengarnya.

Anna diam. Saran Axel tajam bagai silet yang mengiris hatinya: perih. Melihat Anna memasang wajah kecut, Gibran mendekatinya. Ia tahu Anna sudah lama sendiri. Jomlo. Di mata Gibran, Anna terlalu takut mengekspresikan dirinya—tubuhnya. Padahal, sebagai perempuan ia cukup cantik dan manis. Meski kerap kali tenggelam oleh kacamatanya yang tebal. Rambutnya panjang, lurus, dan hitam. Sore ini ia tampak anggun memakai rok mini. Penampilan yang belum pernah dilihat Gibran sejak pertama kali bertemu.

“Kamu terlihat cantik hari ini, An,” puji Gibran. Gadis itu hanya tersenyum mendengarnya. Entah mengapa ia menjadi gugup. “Nanti malam ini mau ke mana?”

Anna menggeleng.

“Kamu sakit?” untuk ketiga kalinya Gibran memberondong dengan pertanyaan sambil menyentuh kening Anna.

“Apa kamu tidak bisa membedakan antara sakit dan malu, Gibran?” seru Klara yang belum beranjak dari tempat duduknya. Ia masih sibuk membereskan buku ajarnya.

Anna dan Gibran menjadi gugup setelah sadar sedang diperhatikan dosennya.

“Oh, ya, aku ingin bicara dengan kalian berdua,” kata Klara lagi.

Dua menit kemudian, Klara sudah duduk di depan Gibran dan Anna. “Ada beberapa isu yang sedang ramai dibicarakan di ruang dosen,” kata Klara memulai. “Aku tak bisa berbuat banyak menolong kalian. Tindakan kalian telah mendorong diri kalian sendiri ke tepi jurang. Setelah PINK dilarang di kampus, aku dipanggil rektor. Begitu banyak keresahan, amarah, dan kekecewaan yang mereka luapkan. Memang aku berpihak pada kalian. Namun beribu maaf, aku tak punya kuasa. Big brother is watching you.”

Gibran dan Anna saling tatap.

“Ya, aku sudah menduganya. Sekarang Valen yang memimpin PINK. Aku tidak tahu apa agendanya ke depan setelah dilarang di kampus. Mungkin Anna tahu,” kata Gibran pelan.

“Sebelum Anna menjawab, aku ingin bertanya kepadamu, Gibran. Apa kamu dan Valen tidak sedang akur?”

“Entah. Dia selalu menghindar setelah keributan seminggu yang lalu. Aku sudah berusaha mencairkan suasana. Juga meminta maaf padanya. Dia seperti kedung: dalam dan diam.”

“Sekarang dia suwung,” Anna menimpali ucapan Gibran. “Terkait agenda PINK, Valen akan menggelar diskusi terbuka di belakang kampus.”

“Diskusi apa?” tanya Gibran penasaran.

“Tiga hari yang lalu Valen mengundang anggota PINK tanpa Gibran. Dalam diskusi itu, Valen dan kelompok Suara Kebebasan (anak-anak muda liberal) akan bekerja sama mengadakan diskusi terbuka dengan tema Bubarkan HTI, FPI, dan Kelompok Intoleransi.”

Gibran tercengang mendengar jawaban Anna.

Isu pembubaran ormas yang dituding anti-Pancasila bukanlah isapan jempol. Pemerintah sedang menyiapkan mekanisme PP untuk memudahkan pembubaran ormas-ormas yang dituding anti-Pancasila. Dua ormas keagamaan, FPI dan HTI, tentu saja yang paling disorot. Dukungan kelompok sipil kepada pemerintah untuk membubarkan dua ormas yang dicap radikal itu bagai air bah. Meski tidak sedikit yang menganggap pemerintah terlalu gegabah.

Gibran, meski pendukung sosialis dan seorang yang mengaku ateis, secara tegas menolak rencana pemerintah membubarkan ormas yang dianggap anti-Pancasila. Ia tidak sependapat dengan kelompok yang mengaku toleran, moderat, liberal—sekuler, yang mendukung pemerintah. Pendapat Gibran lebih politis ketimbang ideologis. Dalam kacamata analisisnya, pembubaran ormas dengan PP tidak hanya akan menurunkan kualitas demokrasi, tetapi juga dapat dijadikan alat politik untuk menghantam kelompok yang dianggap berseberangan. Penafsiran Pancasila tidak boleh hanya dilegitimasi secara kaku oleh negara. Gibran sangat khawatir Pancasila dijadikan alat untuk memukul suara kritis sebagaimana yang dilakukan Soeharto dulu.

“Kapan diskusi itu akan diadakan?” tanya Gibran dengan wajah tegang.

“Malam Minggu ini,” balas Anna. “Nanti malam Valen akan mengadakan rapat.”

“Rapat?”

“Maaf, tidak menyertakanmu, Gibran.”

Lihat selengkapnya