Di Hadapan Cinta Semua Tubuh Sama

Ade Mulyono
Chapter #5

LIMA

Semua malam adalah malam kemarau bagi mereka yang sendiri. Memeluk tubuh sendiri. Berbincang dengan diri sendiri. Menggigit bibir sendiri. Namun, pendapat umum itu tidak berlaku bagi Gibran, yang sedang sibuk menenggelamkan dirinya di depan layar laptop untuk menulis sebuah kritik terhadap kebijakan pemerintah. Gibran hanya geleng-geleng kepala saat memahami argumentasi pemerintah yang menganggap eksistensi ormas radikal, yang dicap anti Pancasila sebagai kegentingan yang memaksa.

Sebatang rokok keluar dari tempatnya berpindah ke mulut. Gibran masih bersungut-sungut. Gelembung asap keluar menghajar nyamuk di atas kepala. Saat ia sedang menikmati sebatang rokok sambil membaca tulisannya di layar laptop, panggilan masuk terdengar dari ponselnya.

Annatasya Rengganis muncul di layar ponselnya.

“Bisa datang ke sini?” suara panik Anna terdengar dari dalam ponsel.

“Ke mana An?” balas Gibran malas.

“Belakang kampus. Diskusi sebentar lagi dimulai.”

“Terus?”

“Cepatlah datang ke sini aku takut.”

“Baik, tunggu, aku siap-siap dulu.”

Sambil membereskan buku yang berserakan, kemudian menaruh laptop di tempatnya, Gibran langsung meluncur dengan sepeda motornya. Jarak ke tempat acara tidak terlalu jauh, sekitar 30 menit perjalanan.

Sesampainya, Gibran memarkirkan motornya. Terlihat sejumlah pemuda berpakaian serba putih seperti pocong yang berkerumun mendatangi tempat acara diskusi. Mereka memaksa masuk ke dalam ruangan dengan kasar. Kedatangan segerombolan pemuda beringas yang membawa atribut ormas yang dicap brutal telah membuat gentar penjaga parkiran dan sejumlah panitia sebelum mereka memutuskan lari sambil terkencing-kencing.

Suasana panas tidak dapat dikendalikan.

“Gibran...”

Gibran yang mengenal suara Anna segera menghampirinya.

“Apa yang terjadi An?” tanyanya setelah menghampirinya.

“Biasa pemuda beringas memaksa masuk. Mereka akan membubarkan diskusi,” balasnya panik.

“Jaringan Pemuda Islam?”

“Ya.”

“Di mana Valen?”

“Di belakang panggung.”

Belum jauh Gibran melangkah suara keributan sudah terdengar. Pekikan Allahuakbar menggema bersamaan kursi yang beterbangan. Berhamburan. Baliho tema diskusi yang terpajang di atas panggung dibongkar paksa. Panggung juga diacak-acak. Anna memegang tangan Gibran dengan erat. Wajahnya tampak pucat.

“Lonte...” teriak salah seorang pemuda dengan beringasnya.

Gibran langsung menghampiri pemuda yang sedang memaki Valen dengan kasarnya.

“Adakah kata yang lebih beradab?” Gibran tampil ke depan dan meminta Valen untuk menjauh. Ia begitu jengkel dengan aksi yang dilakukan segerombolan pemuda beringas, yang seakan-akan pemegang otoritas kebenaran, yang berhak melakukan apa saja atas nama kesalehan.

 “Oh, ini jagoannya,” kata pemuda itu dengan nada tinggi.

Gibran mengisyaratkan Valen dan Anna untuk mundur ke belakang.

Saat bersamaan Alex dan Joe muncul dan langsung mendampingi Gibran. Sekarang tiga pemuda itu berhadapan dengan anak-anak JMI yang jumlahnya sepuluh kali lipat lebih banyak.

“Atas dasar apa kalian melarang diskusi? Kalian seperti hidup pada zaman Orde Baru,” kata Gibran lagi berusaha tidak terpancing dengan provokasi yang mereka lakukan.

“Banyak cincong kamu...” teriak anak muda berbaju putih persis seperti pocong dengan mulut yang masih moncong.

“Dasar kaum TUSBOL,” ujar yang lainnya mencoba mengintimidasi.

“Hati-hati kalau ngomong mulut monyong,” pekik Axel kesal.

“Apa kamu bencong,” sahut pemuda lainnya.

Gibran menahan keduanya temannya yang sudah tersulut emosinya.

“Auman kalian memang besar, tetapi menggerombol.” Kali ini Gibran menaikkan nada suaranya. “Kalian bukan singa. Kalian tidak lebih dari gerombolan serigala.”

“Berisik...” potong salah seorang pemuda sambil melayangkan tinjunya dan tepat mengenai kening Gibran.

Perkelahian pun pecah.

Dari kejauhan teman-teman mahasiswa yang simpati dengan perjuangan PINK ikut membantu menghalau kelompok JMI yang semakin beringas. Dari adu pukul hingga adu kursi menjadi tontonan yang menegangkan. Perkelahian massal itu baru bisa dikendalikan usai dua mobil polisi datang setelah mendapat laporan dari warga.

“Asu...”

“Bencong..’

“Bangsat..”

“Kafir...”

“Allahuakbar...”

Begitulah kata-kata tak beradab kecuali yang terakhir keluar dari anak-anak muda Jaringan Mahasiswa Islam mengamuk. Mereka bagai kerbau marah menyeruduk apa saja yang di dekatnya.

Sebenarnya Gibran enggan meladeni mereka, tetapi sebagai seorang lelaki kejantanannya terpanggil di hadapan perempuan. Begitulah sejarah laki-laki dari dulu. Gibran tahu JMI hanya menganut satu ideologi: pentungan. Mereka lebih senang berdakwah dengan adu pentungan daripada adu gagasan.

Melihat kegaduhan, Valen hanya menangis sambil menjauh dari kerumunan. Ia tidak lagi memikirkan rekan-rekan liberal-nya yang barangkali sudah kalang kabut entah berlarian ke mana.

Setelah keributan meluas hingga ke pinggir jalan raya, Gibran meminta rekan-rekannya mundur setelah mendengar raungan mobil polisi.

Gibran berlari sambil menggandeng Anna dan Valen. Ia berhasil meninggalkan tempat kerusuhan. Kecuali Joe dan Axel yang gagal melarikan diri dari sergapan polisi. Dua teman seperjuangannya itu dan puluhan pemuda lainnya diringkus dan digelandang ke kantor polisi Tangerang Kota.

Butuh satu jam lamanya bagi Gibran dan dua teman perempuannya untuk sampai ke Bogor. Gibran memutuskan membawa Valen dan Anna ke vila—ke basecamp-nya. Ia berpikir di situlah tempat paling aman. Setidaknya untuk beberapa hari.

Di ruang tamu Valen masih menangis dipelukan Gibran. Ia tampak panik dan takut. Gibran mencoba menenangkannya. Di kursi panjang Anna sedang mengurut telapak kakinya setelah berlari jauh tanpa sepatu.

Lihat selengkapnya