Sudah sebulan ini Gibran dan Valen kembali aktif menulis kolom di laman website PINK.CO. Begitu juga dengan Valen dan Anna yang kembali rajin membuat video untuk tayangan YouTube PINK:Unstoppable Women’s.
Praktis hanya Alex dan Joe yang sulit ditemui, dihubungi, dan diajak diskusi. Gibran mencium gelagat aneh kedua temannya itu. Terlebih Joe masih timbul dan tenggelam, kadang terlihat batang hidungnya hanya sekejap, sebelum lindap seperti setan hilang dengan senyap. Bukan hanya di kampus, tetapi juga di luar kampus. Kejanggalan itu membuat Gibran meminta semua teman-temannya berkumpul di basecamp.
Sabtu malam Minggu semua anggota PINK hadir di basecamp kecuali Joe. Seperti biasa Gibran membuka diskusinya. Kali ini tanpa basa basi. Tanpa prolog, apalagi monolog.
“Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk hadir di sini. Sudah lama kita tak berkumpul seperti ini. Kita refleksi saja berbagai hal yang terjadi belakangan ini. Pertama, pembubaran HTI yang diikuti dinonaktifkannya JMI di kampus, tidak serta merta akan memudahkan perjuangan kita. Mereka bagai begal yang selalu mengawasi aktivitas kita. Lengah sedikit saja kita bisa mati digebuki. Orang-orang seperti Abdul, Razak, Ilyas, Ibrahim dan lainnya bukanlah sosok asing. Aku banyak mendapat informasi dari beberapa teman, katanya mereka sedang menyusun rencana untuk meringkus perjuangan kita di kampus. Kedua, persoalan rumah tangga PINK. Persoalan internal PINK. Jika aku perhatikan setelah peristiwa kerusuhan malam itu, kita kesulitan menemui Joe. Setidaknya membicarakan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Axel seharusnya tahu apa yang terjadi dengan Joe. Diskusi kali ini aku ingin semuanya bicara. Tidak terkecuali Axel dan Marwah.”
Semuanya menyimak. Marwah tampak serius hingga berulang kali mengusap keringat di wajahnya. Baru kali ini ia diajak berdiskusi dengan anggota inti PINK. Selama bergabung menjadi anggota PINK, ia belum mendapat tugas apa pun, kecuali menamani Gibran berdiskusi dengan kelompok lain. Biasanya Gibran memilih Valen sebagai rekan duetnya. Namun, kali ini ia sendiri yang meminta Marwah untuk menemaninya. Tidak bisa dimungkiri kebersamaannya dengan Gibran membuat dirinya tahu ada perasaan ganjil di hatinya. Satu perasaan suci yang dialami seorang anak gadis. Apakah itu yang dinamakan cinta? Entah, Marwah sendiri sampai kini terus bertanya-tanya tentang perasaannya itu.
Pukul sepuluh malam diskusi makin dalam menyentuh ke putihnya tulang permasalahan. Axel tidak bisa lagi mengelak dari cecaran Valen dan Gibran. Ia pun berterus terang mengenai keadaan kekasihnya: Joe.
“Sebelumnya aku minta maaf,” kata Axel dengan suara pelan. Ia masih menundukkan kepalanya saat berujar yang membuat semua teman-temannya tercengang. Tidak terkecuali Marwah yang sebelumnya tidak percaya, tetapi pengakuan Axel telah membenarkan isu yang selama ini berkelindan tentang PINK. “Sebelum peristiwa keributan di belakang kampus, aku dan Joe pulang ke rumah. Aku menginap di rumah Joe, tidak sekali melainkan sudah berkali-kali. Malam itu, ibu Joe memergoki...”
Semua diam. Semua tahu apa yang terjadi kecuali Marwah.
“Apa yang ibu Joe pergoki?” tanya Marwah dengan wajah bingung.
Semua mata kini tertuju kepada Marwah.
“Baik, biar tidak ada dusta di antara kita,” Gibran mencoba mencairkan suasana yang tegang. “Tujuan PINK sangat jelas. Kita menerima perbedaan tidak terkecuali orientasi seksual.”
Marwah nyaris tak percaya dan mempertegas kembali pertanyaannya. “Jadi desas-desus mengenai PINK selama ini benar?”
“Ya,” Axel memotongnya. “Aku dan Joe lupa mengunci pintu kamar dan ibu Joe melihat kami sedang bercumbu.”
“Astagfirullah,” Marwah menutup wajahnya tidak percaya apa yang baru saja didengarnya.
Gibran dan Valen saling pandang.
“Sejak kejadian itu Joe dilarang keluar rumah oleh kedua orangtuanya. Sekarang aku tidak lagi berkomunikasi dengan Joe. Ia sendiri yang memintanya agar aku menjauhi dirinya.”
“Apa itu sebabnya Joe tidak hadir di malam dan menolak bergabung kembali bersama PINK?” kali ini Valen yang mengajukan tanya kepada Axel.
“Joe diminta untuk berobat keluar negeri,” balas Axel sambil terkaca-kaca.
“Itu bukan penyakit. Itu given,” teriak Gibran kesal.
“Gibran...” potong Marwah dan Gibran mengisyaratkan tangannya untuk tidak memotong ucapannya.
“Unstoppable Women’s,” kata Marwah memandangi Gibran. “Ini bukan Gibran yang aku kenal.”
Suasana terasa tegang.
Menyadari kesalahannya Gibran menghampiri Marwah dan memeluknya.
“Maafkan aku. Jangan berhenti untuk mengingatkan kesalahanku,” bisik Gibran di telinga Marwah.
Gibran masih memeluk Marwah dan semua mata ke arahnya. Valen bahkan dibuat bengong dengan pertunjukkan yang dibuat Gibran dan Marwah di depan matanya.
Pelukan Gibran yang begitu hangat dirasakan Marwah. Inilah kali pertama seseorang lelaki menyentuh tubuhnya—memeluknya. Mendadak jantung Marwah berdetak hebat. Secara perlahan ia mulai mendekap tubuh Gibran sambil memejamkan matanya. Tanpa sadar air mata Marwah jauh membasahi punggung Gibran.
“Jangan hapus kecantikanmu dengan air matamu ini,” kata Gibran sambil mengusap air mata Marwah yang jatuh menyeberangi pipinya yang ranum, sebelum jatuh ke bibirnya yang merah bata.
Di saat Gibran dan Marwah saling tatap seakan-akan cahaya cinta telah terbit di kedua mata mereka, Valen segera memisahkan keduanya dengan berujar, “Silakan Axel, lanjutkan.”
Axel pun melanjutkan ceritanya. Alih-alih menceritakan kondisi Joe dan mencari jalan keluar, pemuda berbadan kekar itu malah mencurahkan kesedihan hatinya. Ia menyesal tidak dapat mengontrol berahinya saat berdua dengan Joe. Meski sudah berulang kali bercinta, ia tetap ingin melakukannya, dan itu juga yang dirasakan Joe saat berdua dengan dirinya—di mana pun—kapan pun.
Marwah tidak kuat lagi mendengar cerita Axel memutuskan pamit undur diri. Gibran yang tidak bisa membiarkan Marwah pulang sendiri kemudian menawarkan diri untuk mengantarkannya pulang. Awalnya Marwah menolaknya, tetapi setelah melihat jam yang menunjukkan pukul setengah dua balas malam ditambah hujan rintik-rintik Marwah pun luluh menerima tawaran Gibran.
“Pegangan Marwah, aku bukan tukang ojek,” kata Gibran sambil menyetir motornya.
Marwah tak membalasnya kecuali mengikuti perintah Gibran. Ia mulai memeluk Gibran dari belakang. Dan rasa nyaman ia rasakan meski hujan deras membasahi tubuh keduanya. Lagi-lagi inilah pengalaman pertama Marwah berduaan sambil memeluk tubuh lelaki yang kerap mengganggu hati dan pikirannya—hadir dalam mimpi-mimpi indahnya.
Apakah ini yang dinamakan perasaan cinta, kata Marwah dalam hatinya.
“Jadi kita ke mana kita Nyonya?” tanya Gibran membuyarkan lamunan Marwah. “Ke istanakah?”
Marwah ketawa sebelum akhirnya menimpali: ke rumah.
“Bagaimana dengan Bapakmu?”
Marwah diam.
Gibran menghentikan motornya di pinggir jalan.
“Ke tempatku saja. Bilang saja ke Bapakmu kalau malam ini kamu menginap di rumah Zulaiha.”
“Siapa Zulaiha?”
“Tokoh fiksi.”
Marwah tersenyum.
“Tidak apa-apa kan sesekali membohong?”
Marwah kembali tersenyum.