Setelah percumbuan yang menggairahkan malam itu, Marwah sadar bahwa dirinya bukanlah yang dulu (atribut seorang muslimah yang melekat di tubuhnya). Kemewahan sebagai perawan yang selama sembilan belas tahun dipertahankannya, disandangnya, dan dibanggakannya kini telah sirna dalam sekejap—dalam semalam. Segala ucapan Gibran tentang kehormatan wanita bukan terletak di vaginanya, bertolak belakang dengan pandangan dirinya. Rasa sesal dan bersalah timbul di hatinya.
Marwah sadar dirinya telah melakukan kesalahan besar. Rasa bersalah itu yang kini bercampur dengan panik, apa yang akan terjadi setelahnya. Meski diliputi perasaan bersalah, ia tidak bisa menghakimi Gibran. Bagaimana pun ia melakukannya atas nama cinta. Ia masih mengingat ucapan Gibran:
Di hadapan cinta semua tubuh sama. Cinta tak mengenal agama. Kita terlalu sembrono menggunakan kosakata cinta, mendefinisikan secara serampangan, memaknainya dengan maksud terselubung, hingga ia bisa bermakna segalanya atau sebaliknya: tidak bermakna apa-apa. Dari situlah cinta kehilangan hakikat yang sebenarnya. Tidak ada yang tahu, tidak ada yang persis.
Maka atas nama cinta itu pula Marwah menggantungkan masa depannya kepada seorang pemuda yang telah menghirup kesuciannya. Ia harus berterus terang untuk mendapat satu kepastian yang dapat menenangkan dirinya: pernikahan.
Tidak ada lagi yang perlu dirahasiakan, bukankah rahasia tersembunyi sudah tersingkap? Keindahan mutiara di balik bajunya telah dilihatnya—diberikannya. Apa lagi yang perlu dipertahankan selain mengejar pertanggungjawaban. Itulah yang Marwah pikirkan—harapkan.
Setelah melewati malam yang mendebarkan itu, yang sampai kapan pun akan selalu terkenang di kening, Marwah dan Gibran bagai sepasang sayap yang sedang mengepakkan sayapnya di langit cinta. Mereka percaya kejadian malam itulah telah menyatukan dirinya—cintanya. Merobohkan tembok pembatas aturan yang dulu ia taati—yakini.
Gibran dan Marwah kini tidak lagi malu untuk memamerkan kedekatannya. Marwah bahkan acap kali cemburu jika Gibran berdekatan dengan perempuan lain. Kecemburuan itu ia ekspresikan dari sikapnya, bahasa tubuhnya—yang dapat dilihat dari raut wajahnya. Meski begitu satu hal yang masih mengganjal di hatinya. Gibran sampai hari ini belum mendeklarasikan perasaannya. Sebagai seorang perempuan yang butuh kepastian ia mengharapkan hal itu. Terlebih dirinya masih berpikir seks adalah daging dalam tubuh cinta.
Entah apa yang dimaui Gibran dari Marwah. Bukankah ia sudah mengorbankan sesuatu yang seharusnya dipertahankan sebagai sorang gadis beragama: keperawanannya.
Pukul delapan pagi Gibran dan Marwah sudah di kantin. Di atas meja berjejer dua gelas kopi, sepiring gorengan, dan buku sajak Rendra menemani obrolan yang mengudara. Marwah yang menganggap Gibran sebagai pasangan hidupnya, sudah beberapa hari ini memberi segala bentuk perhatian layaknya seorang istri melayani suaminya.
Membawa makanan yang ia masak sendiri ialah salah satunya. Marwah juga tidak bosan memperingatkan jantung Gibran yang tidak jeda disumpal asap rokok. Gibran sampai bosan mendengarnya. Dari situ Gibran sadar jika Marwah mencintai dirinya. Meski ia juga tidak bisa membohongi perasaannya sendiri, bahwa ia juga mencintainya. Sangat mencintainya. Satu perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
“Boleh aku ngomong jujur Mas?” Marwah mengajukan tanya di sela-sela obrolannya. Selain memikirkan nasib cintanya, ia juga masih memikirkan dari mana Gibran mendapatkan tulisan-tulisannya.
Gibran mengangguk: “Ya. Tidak boleh ada dusta di antara kita”
Sambil membenarkan posisi kerudungnya Marwah berujar, “Selama ini Mas tahu siapa diriku sebenarnya.”
“Ya, seorang gadis paling cantik di kampus ini yang akan selalu bersamaku dan aku akan cemburu bila kamu dekat dengan lelaki lain,” balas Gibran sambil memetik bibir Marwah yang merah.
“Bukan itu, Mas,” balas Marwah sambil terkekah.
“Lalu?”
Marwah diam beberapa detik. Setelah mengeluarkan napasnya ia menjawab: “Dari mana Mas mendapatkan tulisanku?”
Gibran tersenyum.
“Selama ini Mas tahu siapa diriku?”
Gibran mengangguk.
“Mengapa mengizinkanku bergabung dengan PINK?”
“Baik aku jawab satu-satu,” kata Gibran sebelum mengisap rokoknya. “Ya, aku mengenalmu dari tulisanmu. Ini dunia internet, kita manusia telanjang di alam raya bernama big data. Tidak ada ruang privasi untuk kita. Awalnya aku terkejut. Kamu menutupi dirimu dan berpura-pura layaknya gadis bodoh di hadapanku saat berdiskusi malam itu. Untuk bergabung dengan PINK, sebenarnya tidak ada syarat khusus. Aku juga tertarik dengan kecerdasanmu. Dengan begitu aku berharap orang yang berhaluan ideologis keagamaan dapat menilai lebih jernih pandangan feminisme. Itulah pertimbangan Valen saat menerimamu, juga saat kutanya mengapa menerimamu.”
“Jadi, Mas Gibran tidak marah meski sebenarnya aku berseberangan?”
“Apa kamu pernah mendengar saat kampus melarang mahasiswi menggunakan cadar? Siapa yang membelanya dengan lantang? Aku yang membela para mahasiswi yang memilih menggunakan cadar. Sebagaimana aku membela mahasiswi yang memilih menggunakan rok pendek. Kamu tahu artinya?”
Marwah mengangguk.
“Aku membela kebebasannya. Keyakinan yang ada di hati tidak mungkin kita perdebatkan. Termasuk pilihanmu meyakini HTI, selama paham aturan yang berlaku di negeri ini. Republik, itu final.”
“Aku setuju dengan pendapatmu, Mas. Aku sebenarnya juga tidak begitu fanatik, keberadaanku di JMI sebenarnya tidak lain hanya untuk belajar berorganisasi dan mengasah kemampuan menulis berdasarkan riset, misalnya. Terlebih selama ini aku juga tidak suka dengan sikap Bapak yang konservatif dalam beragama. Gemar menyalahkan yang berbeda dengan pandangannya. Itu sebabnya aku tidak begitu ngotot ketimbang teman-teman JMI yang lainnya.”
“Itu sebabnya kamu berada di depanku.”
“Itu sebabnya aku ingin selalu bersamamu.”
Keduanya ketawa berjamaah.