Matahari tergelincir ke barat. Cahayanya yang keemasan mulai redup. Sebentar lagi raib ditelan senjakala sebelum memuntahkannya menjadi rembulan. Hari sudah bernama sore saat Marwah berjalan beriringan di depan gerbang kampus.
“Ayo cepat jalannya,” seru Umamah kesal melihat Marwah berjalan seperti siput.
“Kenapa kamu memaksaku,” balas Marwah merasa terintimidasi oleh teman perempuannya yang terus mendesak.
“Aku tidak punya pilihan. Sebaiknya kamu sampaikan sendiri. Dan bicaralah baik-baik. Jangan menjadi duri dalam daging.”
Sesampainya di pinggir jalan mobil sedan berwarna hitam berhenti tepat di depan keduanya. Saat Marwah dan Umamah akan masuk ke dalam mobil, Valen dan Anna berteriak dari seberang jalan. Keduanya baru saja membeli sesuatu, entah apa yang dibawanya.
“Marwah mau ke mana?” teriaknya.
Umamah langsung mendorong Marwah masuk ke dalam mobil.
“Kamu benar-benar keterlaluan Marwah” kata seorang lelaki yang duduk di depan.
“Bukannya dia Valen,” balas Umamah.
“Aku tidak sedang bertanya kepadamu.”
“Jawab dong, Marwah,” pinta Umamah.
Marwah diam.
“Ada hubungan apa kamu dengan mereka sebenarnya? Mengapa kamu selalu menghindar dari kami?” Umamah kembali menginterogasi Marwah.
Marwah masih diam.
“Sebaiknya dibicarakan saja di basecamp,” potong lelaki itu yang diketahui bernama Abdul. “Yang lain sudah menunggumu, Marwah.”
Curiga dengan apa yang baru dilihatnya, Valen dan Anna segera menemui Gibran di kantin. Ia pun menceritakan apa yang baru saja dilihatnya.
“Kamu serius?” tanya Gibran kaget.
“Kapan aku pernah membohongimu?”
“Kira-kira mau ke mana mobil itu?”
Valen dan Anna mengangkat kedua bahunya.
Gibran mencoba tenang. "Tidak salah lagi, itu anak-anak JMI. Aku harus cari tahu kemana mereka pergi."
“Aku tidak bisa menemanimu,” teriak Valen melihat Gibran setengah berlari keluar kampus.
Butuh waktu satu jam lebih bagi Abdul mengendarai mobil yang membawa Marwah untuk sampai ke basecamp. Sore hari tidak ada ruang kosong di jalanan, semua kendaraan tumpah ruah menjadi satu. Satu penyakit klasik yang gagal dituntaskan gubernur Jakarta dari dulu sampai sekarang.
Di rumah Ustaz Zaki yang juga seorang dosen, sedikitnya sepuluh anak muda sudah berkumpul. Mereka semua pengurus teras JMI yang berafiliasi dengan HTI. Jumlah anggota JMI cukup banyak di kampus. Ide negara khilafah yang mereka kampanyekan berhasil menarik simpati para mahasiswa. Mereka juga menjalin relasi kuat dengan kader-kader muda partai politik Islam. Lebih hebatnya lagi jaringan mereka tersebar di berbagai kampus. Sekelas UI pun diisukan dikuasai oleh kader-kader partai berideologi Islam tersebut.
Setelah HTI dibubarkan, sayap-sayapnya organisasinya pun juga tidak luput dari pembersihan. Seperti kepak burung yang patah, tidak, seperti bebek lumpuh mereka tidak bisa berbuat apa pun selain mengumpulkan anggotanya demi satu tujuan terakhir.
Abdul memarkirkan mobilnya. Marwah dan Umamah sudah duduk melingkar bersama rekan-rekannya yang lain. Ustaz Zaki terlihat tidak tenang. Ia duduk di samping Junan dan Marwan yang sibuk dengan laptopnya. Sebagai ketua pembina sudah lima tahun ia menjadikan rumahnya sebagai markas. Basecamp.
Saat semuanya sudah berkumpul Ustaz Zaki langsung membukanya dengan mengucapkan Basmallah. “Semua bukti sudah dikantungi. Tinggal menunggu bukti pendukung yang akan dipaparkan oleh saudari Marwah. Sambil menunggu perkembangan gugatan petinggi HTI ke Mahkamah Konstitusi, kita siapkan rencana yang sudah disepakati, yakni membersihkan kampus kita dari anak-anak laknatullah LGBT. Targetnya kita potong kepalanya, maka tubuhnya pun akan ikut mati.”
“Kalau begitu siapa yang harus disingkirkan, Pak,” tanya Umamah.
“Gibran.”
“Sebab dialah aktor utamanya,” kata Abdul menambahi. “Sebenarnya sudah lama kami merencanakan ini. Atas saran Pak Zaki, maka Marwah kami utus untuk menyusup ke dalam internal PINK. Tujuannya untuk mencari tahu, apa agendanya, visi dan misinya, dan benarkah di antara mereka mempunyai kelainan orientasi seksual. Hasilnya mengejutkan. Silakan Marwah jelaskan.”
Marwah diam. Keringat membasahi wajahnya.
“Ayo,” pinta Abdul.
Marwah masih diam mengunci mulutnya.
“Ada apa Marwah?” tanya Ustaz Zaki.
“Jika boleh memberi masukan, tidakkah berlebihan jika harus menyingkirkan Gibran dari kampus,” kata Marwah yang membuat semuanya terperangah.
“Apa-apa ini,” sela Abdul kesal.
“Tidak bisa seperti,” kata yang lain, “bukan sedari awal kita sudah sepekat menyingkirkan PINK.”
“Bisa rusak kampus kita jika PINK masih bercokol di kampus.”
“Tenang semuanya,” Ustaz Zaki mengambil alih. Ia berdiri di tengah mencoba mendinginkan suasana. “Kita dengar penjelasan Marwah. Silakan Marwah...”
“Bismillahiramanirahim,” kata Marwah memulai, “aku mengenal Gibran sudah lama. Hampir setengah tahun. Meski baru mengenalnya secara personal kurang lebih tiga-empat bulan, aku lupa persisnya. Kepribadian Gibran sangat baik. Ia seorang pemikir, meski tidak dimungkiri agendanya bersama PINK bertentangan dengan keyakinan kita. Namun, membicarakan pendidikan, Gibran sangat paham. Tujuan utama PINK menghadirkan pendidikan yang setara. Ia bukan hanya seorang feminis, tetapi juga Freirean. Posisinya jelas mengenai pendidikan. Selama ini kita terlalu ke gabah menyerangnya dengan membabi-buta. Asal teman-teman tahu, Gibran satu-satunya anggota PINK yang menolak HTI dibubarkan. Jujur aku terkejut ketika mendengarnya saat ia bicara demokrasi.”
“Tolong jangan melebar, juga jangan berkhotbah tentang demokrasi, kami semua paham. Jelaskan saja apa yang kamu dapatkan setelah menyusup ke internal PINK,” potong Abdul terus memperingatkan Marwah.
“Itulah yang aku ketahui. Isu LGBT benar adanya. Tetapi...”
“Sudah cukup,” potong Ustaz Zaki, “seorang Marwah pun bisa terjerumus, apalagi mahasiswa baru yang masih mentah. Atau jangan-jangan kamu mempunyai hubungan khusus dengan Gibran?”
“Jika benar demikian, maka benarlah apa yang dikatakan Bapakmu, Marwah. Beliau pernah bercerita kamu pernah pulang larut malam dengan seorang lelaki bernama Gibran,” lagi-lagi Abdul melancarkan serangan. Di antara teman lainnya dialah yang paling vokal dan keras menentang Gibran.
Marwah semakin terdesak. Ia tidak membela dirinya juga tidak ada yang mau berpihak padanya.
“Jadi bagaimana teman-teman?” tanya Ustaz Zaki.
“Tetap pada rencana awal kita.”
“Setuju.”
“Setuju.”
“Baik. Kita susun semua yang diperlukan. Dalam waktu dekat ini kita ajukan ke dewan rektorat,” Ustaz Zaki memberi arahan. Belum selesai ia bicara Marwah pamit undur diri. Abdul berusaha mencegahnya tetapi dihalangi oleh Ustaz Zaki.
Di sepanjang jalan Marwah menangis. Ia merasa begitu bersalah, ia tidak bisa membayangkan pemuda yang dicintainya akan dikeluarkan dari kampus. Ia masih terus menangis di dalam angkot, di jalan ke arah pulang, dan sesampainya di rumah ia masih menangis hingga membuat kedua orangtuanya panik. Bingung sudah pasti apa yang terjadi dengan anak gadisnya.
Marwah segera masuk ke kamarnya dan meluapkan air matanya. Ibunya segera menghampiri dan menanyakan apa yang terjadi dengan dirinya. Ia baru mendapatkan jawaban setelah hari sudah bernama malam. Setelah bapaknya membiarkan putrinya untuk menguras air matanya.
“Biarkan saja dulu, Ma,” ujarnya.
Malam itu tepat pukul delapan, setelah menunaikan salat hajat Marwah baru mau bercerita kepada ibunya.
“Gibran, Bu,” katanya sambil menangis.
“Gibran kenapa sayang.”
Bukannya jawaban yang diberikan, Marwah justru menangis dipelukan ibunya.
“Marwah bingung, Bu. Bagaimana harus memulainya. Ini semua salah Marwah.”
“Belum bercerita sudah menyalahkan diri sendiri. Ayo ceritakan dulu biar lega. Rasa sakitmu akan menjadi rasa sakit Ibu juga. Tidak perlu ada yang disembunyikan. Ceritakan Marwah kenapa kamu menangis? Belum pernah Ibu mendapati kamu seperti ini sebelumnya,” tanyanya dengan pertanyaan yang sama sesudah di kamar anaknya. Dengan penuh kelembutan ia menginterogasi putrinya.
Marwah masih terdiam. Ia dilanda kebingungan. Dengan terpaksa Marwah berbohong, sebab ia tidak mau menyeret ibunya ke dalam permasalahan yang ia buat sendiri di kampus.
“Aku benci Abdul..” balasnya setengah berteriak.
“Kamu kenapa sayang. Abdul itu calon suamimu, lho,” balas ibunya sambil mengusap air mata anak gadisnya.
Seperti tersengat arus listrik betapa kagetnya Marwah mendengar jawaban ibunya.
“Sejak kapan? Aku tidak mau menikah Abdul. Tidak akan...”
“Marwah...”
“Bu...”
“Kamu kenapa?”
“Dia sudah memanfaatkan Marwah untuk menjatuhkan Gibran. Ibu tidak tahu apa-apa.”