Di Hadapan Cinta Semua Tubuh Sama

Ade Mulyono
Chapter #10

SEPULUH

Sudah beberapa hari ini suasana kampus tidak kondusif. Bentrokan antar mahasiswa kerap terjadi. Terutama kelompok mahasiswa eks JMI dan simpatisan PINK. Gibran menjadi mahasiswa paling disorot. Berbagai tudingan miring mengarah padanya. Puncaknya saat Ustaz Zaki dan sejumlah dosen menemani Abdul dan beberapa mahasiswa melaporkan anggota PINK ke rektorat.

Abdul dan rekan-rekannya membawa sebundel dokumen dan flashdisk yang berisi bukti jika Gibran dan teman-temannya tidak hanya mensponsori gerakan LGBT di kampus, tetapi juga pelaku LGBT itu sendiri.

Sontak saja laporan yang dilayangkan Abdul menjadi buah bibir di kampus. Nama-nama anggota PINK kini menjadi perhatian di kalangan mahasiswa. Nama mereka kerap menjadi perbincangan, gunjingan, dan gosip murahan yang berkelindan di sudut-sudut kampus.

Tidak itu saja Abdul dan rekan-rekannya berhasil mengobok-obok emosi mahasiswa lainnya dengan seruan-seruan provokatif. Di kelas-kelas mereka gencar menebar kebencian dan menyulut bara emosi mahasiswa lainnya untuk bertindak aktif menyerang Gibran dan rekan-rekannya.

“Jika kampus kita ini sewaktu-waktu runtuh ditelan bumi, maka itu azab dari Tuhan yang marah dengan perilaku LGBT di kampus kita,” kata Abdul dan rekan-rekannya. Mereka berhasil memobilisasi massa. Seruan-seruan mereka mendapat sambutan dari mahasiswa lainnya.

Axel adalah korban pertama dari anggota PINK yang sedang mendapat intimidasi. Kejadian tak mengenakan itu berlangsung begitu cepat. Saat itu Axel sedang menunggu lift, ia tiba-tiba segerombolan mahasiswa menyerangnya dengan membabi-buta. Valen dan Anna juga mengalami hal yang sama.  Keduanya mendapat serangan verbal berupa makian dari mahasiswi lainnya. Dan yang paling naas ialah Gibran, puluhan tendangan dan pukulan ia terima saat sedang merokok di kantin.

Darah mengucur dari dahi, pelipis, hidung, dan mulutnya. Nyawanya berhasil diselamatkan saat rekan-rekan sekelasnya berhasil menolongnya dan membawa lari ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.

Klara yang mengetahui kejadian mengerikan tersebut segera menjenguk Gibran di rumah sakit. Di hari kedua Gibran masih belum diizinkan pulang. Kali ini ia tidak hanya ditemani oleh Klara, tetapi juga Marwah yang sudah dua hari tidak dilihatnya. Sebelum Klara pulang ke rumahnya, Gibran meminta izin akan mengumpulkan teman-temannya di rumah dosennya itu.

“Dengan syarat kamu harus sembuh dulu,” kata Klara kepada Gibran sebelum pamit pulang. “Marwah rawat pujanggamu.”

“Baik, Bu.”

“Sekarang makan ya, Mas,” ujar Marwah mulai menyiapkan makanannya.

“Ke mana saja kamu dua hari ini?”

“Keadaan begitu mencekam Mas. Maafkan Marwah, Mas,” dalih Marwah sebelum akhirnya menangis.

Lihat selengkapnya