Siang itu, langit Jakarta tampak murung. Udara terasa tebal dan lembap, seolah siap menumpahkan isinya kapan saja. Di rumah Klara, semua anggota PINK berkumpul, kecuali Marwah dan Joe. Nama terakhir sudah tidak bisa dihubungi lagi. Tidak ada yang tahu keadaannya, apakah sakit, atau... sudah tiada. Axel sudah putus asa. Ia pernah menyambangi rumah Joe, namun bogeman seorang petugas keamanan membuat kepalanya benjol. Ia kapok, dan tak tahu lagi harus berbuat apa setelahnya.
"Di rumah ini, di ruangan ini, sepuluh tahun lalu PINK didirikan," Klara memulai, duduk di kursi paling tengah, berhadapan langsung dengan Gibran. "Dan di ruangan ini pula, PINK akan berakhir."
"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi hari Senin besok," lanjutnya. "Mungkin kalian sudah tahu isu yang berkembang. Sungguh, aku terkejut. Laporan dari anak-anak eks-JMI dan HTI ternyata sangat serius. Mereka tidak main-main. Info yang kudengar, potongan video YouTube PINK lengkap dengan menit dan detik ke berapa saat kita membicarakan LGBT juga dijadikan barang bukti."
"Seandainya kita tidak menerima Marwah, semua ini tidak akan terjadi," Anna menimpali, jari-jarinya meremas ujung roknya.
Klara menatap satu per satu wajah di hadapannya. "Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam rumah tangga PINK. Apakah kalian saling tikam dari belakang, memusuhi, membenci, atau seperti apa?"