Di Hadapan Cinta Semua Tubuh Sama

Ade Mulyono
Chapter #12

DUA BELAS

Senin yang mendebarkan. Hari itu akan menentukan nasib Gibran dan teman-temannya di kampus, apakah masa perkuliahan mereka berlanjut, atau sebaliknya: pupus, dikeluarkan.

Beberapa hari terakhir, tidak ada lagi kegembiraan di wajah muda mereka. Masa muda yang membara seketika padam, menyisakan kegelisahan dan kecemasan. Gibran pun tidak terkecuali. Rasa takut timbul tenggelam di hatinya, berbagai pikiran buruk memenuhi kepalanya.

Setibanya di kampus, mereka berkumpul seperti biasa di pojok kantin. Setelah menghabiskan segelas kopi, dua gorengan, dan beberapa batang rokok, Gibran memeluk teman-temannya satu per satu. Seorang dosen lantas menggiring mereka ke ruang rektorat. Seperti barisan bebek, mereka berjalan berurutan.

Laporan yang dibuat Abdul dan rekan-rekannya membuat jajaran rektorat naik pitam. Orang nomor satu di kampus tidak ingin kecolongan untuk kedua kalinya. Ia segera memerintahkan jajarannya untuk melakukan investigasi, apalagi ancaman Abdul dan rekan-rekannya untuk membawa isu LGBT keluar kampus jika tuntutan mereka tidak ditanggapi, membuat rektorat bertindak cepat.

Pagi itu, Gibran dan teman-temannya dikumpulkan di sebuah ruangan. Mereka dicecar berbagai pertanyaan. Seperti maling, mereka diinterogasi untuk mengakui perbuatannya. Gibran terkejut melihat Joe sudah duduk dengan tenang di dalam ruangan. Kehadiran Joe disambut haru. Secara bergantian mereka berpelukan. Axel adalah orang terakhir yang memeluk Joe paling lama. Gibran merasa lega melihat Joe dalam keadaan sehat, meskipun tampak kurus dan berantakan.

Kemudian mereka duduk berjejer, menunggu 'polisi moral' yang secara bergantian datang dan pergi. Tidak sampai sepuluh menit menunggu, lima dosen memasuki ruangan: tiga laki-laki dan dua perempuan.

Penyelidikan pun digelar dalam suasana tegang, lebih tegang dari sidang skripsi. Di antara teman-temannya, hanya Valen dan Gibran yang sanggup meladeni argumen para dosen yang penuh tudingan tanpa bukti. Sayangnya, dalam penyelidikan itu, Gibran lupa bahwa mereka berkumpul bukan untuk memperdebatkan kedudukan kelompok LGBT di hadapan negara demokrasi, tetapi sebagai warga negara yang di-homo sacer-kan.

"Tidak semua perbuatan dosa harus dihukum," kata Gibran di hadapan para dosen yang bertindak sebagai juru kebenaran—penuntun jalan ke surga. "Orientasi seksual adalah pengalaman eksistensial yang tidak mungkin dirasakan oleh orang lain," lanjutnya, mendebat seorang dosen laki-laki berpenampilan agamis.

"Lalu apa orientasi seksualmu? Apa kamu suka laki-laki daripada perempuan? Dan apakah kamu tahu itu perbuatan menyimpang yang dilarang oleh agama—juga tidak bisa dibenarkan dalam budaya kita?" tanya seorang dosen.

"Layakkah pertanyaan itu diajukan kepada mahasiswanya?"

"Agar kasus ini menjadi terang, pertanyaan itu harus dijawab! Saya sudah curiga saat kamu menghidupkan kembali PINK dengan berbagai kegiatannya."

Setelah diam sesaat, Gibran menjawab pelan. "Apa yang saya lakukan adalah sikap keberpihakan saya. Bukankah setiap generasi mempunyai caranya sendiri untuk menyampaikan kegelisahannya? Melarang PINK, menyidang kami di sini adalah tindakan arogansi kampus. Kampus tak ubahnya negara kecil yang dikelola dengan kesewenang-wenangan atas nama ketertiban."

"Jadi kamu menginginkan hidup tanpa aturan? Silakan bikin kampus sendiri di tengah hutan dan belajarlah dengan para bintang."

"Sekalipun kita hidup tanpa aturan, kita tidak akan seperti binatang. Bapak dan Ibu tahu kenapa? Karena kita punya akal untuk menuntun hidup kita. Jika di hutan kancil dimangsa harimau, kepada siapa kancil mengadu? Tidak ada lembaga pengaduan. Itu terjadi karena tidak ada kesepakatan politis. Binatang tidak butuh itu, mereka berbuat mengikuti naluri alamiahnya. Sedangkan kita adalah manusia binatang yang berpolitik. Kita dituntun oleh akal. Itu sebabnya kita butuh peraturan yang rasional. Mengurus ranjang tidur saya jelas itu irasional. Kamar tidur saya adalah ruang paling privat di dunia ini. Kampus tidak perlu mengurusnya—apalagi mengintip saya tidur dengan siapa."

"Jangan ceramahi kami! Jawab saja pertanyaanku!"

"Saya alies. Heteroseksual."

"Teman-temanmu yang lain?"

Gibran diam.

"Jawab!"

"Itu bukan urusan saya. Perbuatan dosa atau tidak, itu urusan masing-masing individu dengan Tuhannya. Tidak layak bagi saya mengomentarinya."

Lihat selengkapnya