Di Hadapan Cinta Semua Tubuh Sama

Ade Mulyono
Chapter #13

TIGA BELAS

Tiga gelas sisa kopi semalam, piring-piring kotor, puntung rokok berserakan, serta handuk dan baju kotor yang teronggok, menjadi pemandangan jorok yang mengejutkan siapa saja yang melihatnya. Sejak dikeluarkan dari kampus, Gibran nyaris tidak melakukan apa-apa. Sudah sebulan pemuda itu hanya menghabiskan waktunya mengukur ranjang. Gairah mudanya seakan sirna. Satu-satunya aktivitas yang membuatnya merasa tetap hidup adalah bercinta dengan kekasihnya, Marwah.

Sudah ratusan kali ponselnya berdering. Berulang kali Valen dan teman-temannya menelepon, tetapi Gibran enggan mengangkatnya. Semua pesan masuk juga tidak dibaca. Beberapa temannya yang ingin mengunjungi, termasuk Valen dan Klara, pun ditolaknya. Mereka dibiarkan menunggu di depan pintu seperti pengemis.

Sudah tiga hari Gibran hidup bagai di dalam gua. Ia tidak punya informasi apa pun dari dunia luar. Semua itu ia lakukan bukan demi hidup damai ala Stoa, melainkan karena ia sudah telanjur putus asa. Ia tidak punya rencana apa-apa. Terakhir kali ia melihat ponselnya adalah saat membaca berita daring tentang kampus dan PINK yang ramai diberitakan: terpapar virus LGBT. Pemberitaan itu membuat Gibran muak.

"Berita sampah. Kaidah jurnalistik benar-benar telah rusak semenjak media cetak bermetamorfosis menjadi media daring yang kering," Gibran mengomel.

Berita dikeluarkannya Gibran dan teman-temannya dari kampus ramai menjadi perbincangan. Kampus mereka menjadi sorotan. Isu LGBT beberapa hari ini juga sempat menjadi trending topic di media sosial. Itulah terakhir kalinya Gibran memegang ponselnya sebelum melemparkannya ke rak buku dan membiarkannya mati.

Tidak ada orang lain yang menemani kesendirian Gibran selain kekasihnya, Marwah. Gadis muda itu layaknya seorang istri yang merawat suaminya yang sekarat. Setiap pagi, Marwah menyambangi kosan Gibran, menyiapkan makanan, membersihkan ruangan, dan bercinta. Hanya aktivitas itu yang membuat Gibran bertahan hidup. Selebihnya, ia bagai orang mati.

Sore itu, keduanya baru saja selesai bercinta. Marwah, yang kini merasa jiwanya telah menjadi milik Gibran, mampir ke kosan setelah pulang kuliah. Gibran langsung menarik tangannya, memeluknya, dan menindihnya di atas ranjang.

Setelah selesai, Marwah mengenakan kembali pakaiannya dan mulai sibuk memasak sebelum pulang.

“Sebentar lagi selesai, Mas,” seru Marwah sambil menggoreng ayam yang dibelinya di minimarket sejam lalu. “Nasi sudah, sayur sudah, ayam goreng sebentar lagi, habis itu apa lagi ya?” imbuhnya.

Gibran menghampirinya, memeluknya dari belakang, dan mulai mencium serta meraba tubuhnya, meremas payudaranya.

Marwah tahu apa yang diinginkan Gibran. Ia mematikan kompor, membiarkan hasratnya menyala. Ia membiarkan pemuda yang dicintainya menyentuh setiap lekuk tubuhnya. Gibran segera membopongnya ke kursi, dan di sanalah keduanya kembali bercinta.

Marwah sama sekali tidak menolak. Ia sangat mencintai kekasihnya itu. Ia tidak peduli lagi apakah yang dilakukannya benar atau salah. Batas antara salah dan benar begitu samar di hadapan cinta. Sejak bergabung dengan PINK dan mengenal Gibran, Marwah menemukan arti kebebasan yang sebenarnya. Sebuah kemewahan yang tidak pernah ia dapatkan di keluarga dan lingkungannya yang memuja keperawanan sebagai tolok ukur kesalehan perempuan. Bersama Gibran, ia merasa nyaman, tenang, dan bahagia. Ia telah menemukan tujuannya: menikah dan beranak pinak bersama pujangganya.

Setelah bercinta, Marwah berujar dalam pelukan dada Gibran, sesudah menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjang mereka. “Mas, apa yang akan kita lakukan setelah ini?”

Gibran sibuk mengelus rambut Marwah yang panjang dan bergelombang.

“Mas,” ujarnya lagi.

“Tidak ada. Tidak ada yang kita lakukan selain ini.”

“Apakah Mas Gibran tidak punya rencana apa pun?”

“Aku seperti memasuki abad kegelapan.”

“Barangkali hanya pikiran Mas yang gelap.”

“Entah. Kenapa kamu betah bersamaku?”

“Kamu masa depanku, Mas.”

“Aku tidak menjanjikan apa-apa, Marwah. Apalagi yang bisa kuharapkan? Semuanya sudah berakhir. Tanpamu, mungkin aku sudah menjadi mayat busuk di ruangan ini.”

“Semuanya baru dimulai. Jangan putus asa. Ucapanmu tadi bukanlah ucapan Gibran yang kukenal. Gibran yang begitu semangat membicarakan masa depan.” Marwah kemudian mengambil ponselnya dan menunjukkan video podcast Unstoppable Women’s. “Lihatlah, Valen sudah kembali ke habitatnya.”

Gibran hanya tersenyum melihat Valen berulang kali menjelaskan isu PINK. Valen dengan lantang mengkritik kampus, sistem pendidikan yang dianggapnya tidak mendidik. Gibran terharu mendengarkan Valen bercerita tentang perjuangan teman-temannya yang telah mengorbankan waktu dan tenaga untuk mewujudkan pendidikan yang ramah bagi mereka yang berbeda. Dari situ, Gibran mengetahui bahwa teman-temannya masih solid.

Valen telah menemukan audiensinya. Tayangan YouTube-nya telah ditonton jutaan kali. Kondisi terbalik dialami Gibran. Hanya Marwah pendengar setianya. Dari mulut Marwah, Gibran juga mengetahui ayah Joe mengundurkan diri sebagai komisaris utama salah satu anak perusahaan BUMN. Kabar terakhir yang didengarnya, Joe keluar negeri, mungkin karena mengalami tekanan yang luar biasa berat.

Usai menonton video itu, Marwah mengecup bibir Gibran kemudian berbisik, “Apa kesimpulannya setelah menonton video Valen dan kaitannya dengan dunia kampus yang tidak baik-baik saja?”

Gibran menggeleng. Kemudian menyembunyikan wajahnya di bawah bantal.

“Jika kamu ingin menjadi orang besar, bergeraklah. Jika tidak bisa terbang, berlari. Jika tidak bisa berlari, merangkak. Teruslah bergerak,” kata Marwah.

“Martin Luther King!” Gibran menyambut ucapan Marwah.

“Mas,” ujar Marwah sambil menarik bantal yang menutupi wajah Gibran.

“Ya?”

“Aku sedang menyusun skripsi. Setelah lulus, maukah Mas melamarku—menikahiku?”

“Menikah?”

“Ya, setelah itu.”

Gibran diam. Ucapan Marwah bagai petir yang membuat hatinya bergetar hebat.

“Aku menerimamu apa adanya, Mas.”

Gibran masih diam. Apa yang dulu pernah ia terangkan panjang lebar mengenai pernikahan sepertinya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri Marwah. Gibran sadar, Marwah dan dirinya berbeda dalam memahami cinta. Baginya, cinta tak butuh pelembagaan bernama pernikahan. Marwah sebaliknya, pernikahan adalah harga mati. Ia menganggap pernikahan adalah rumah bagi cinta. Apakah yang ia lakukan selama ini demi pernikahan? Gibran dibuat pusing memikirkan hal yang baginya absurd.

Gibran mulai gusar, resah, dan limbung.

“Mas... kok diam?”

“Hatiku sudah berujar, seharusnya kamu mendengarnya dengan hatimu.”

“Aku serius.”

Gibran tertawa lepas untuk pertama kalinya. Dan sekali lagi, keduanya bercinta.

Waktu terus bergulir. Hari berganti, dan malam ini seperti kemarin: hampa. Marwah belum berhenti meminta kepastian. Gibran tak mengacuhkannya.

Pemuda itu belum berubah dalam memandang banyak hal, kecuali sikap dan sifatnya. Sudah beberapa hari ini ia kerap marah. Pemuda yang dikenal ramah mendadak menjadi lain. Beringas, kasar, seperti orang tak waras. Marwah adalah korban pertamanya. Ya, untuk pertama kalinya kekasihnya itu dibuat menangis. Bukan karena pukulan, melainkan jawaban Gibran yang membuatnya syok.

Malam itu sudah ketiga kalinya Marwah menangis. Bukan karena disakiti secara fisik, melainkan hatinya dilukai. Sebuah luka tanpa darah. Meski begitu, Marwah tetap bertahan bersama Gibran, semata-mata demi sebuah kepastian: pernikahan.

"Baru kali ini aku melihatmu marah kepadaku, Mas," teriak Marwah di depan kamar mandi. Gibran tidak memedulikannya, ia sibuk membasuh tubuhnya. "Aku sedang bicara kepadamu, Mas!"

Karena tidak mendapat respons, piring hingga buku menjadi korban amukan Marwah.

Gibran keluar dari kamar mandi, lalu duduk sambil mengerutkan keningnya yang pening. Marwah menghampirinya dan berujar setengah berteriak, “Apakah aku telah salah memilih laki-laki? Telah aku korbankan semuanya untukmu. Bukan hanya kesucianku, tetapi juga kedua orang tuaku. Aku rela meninggalkan mereka demi kamu, Mas. Mungkinkah nyawaku yang kamu inginkan?”

Gibran diam, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

“Selama ini aku tak meminta apa pun darimu. Hanya satu pintaku: jangan hinakan aku dan keluargaku, Mas. Apa kata para tetangga jika mereka tahu anak seorang yang gemar berkhotbah tentang agama, justru anak gadisnya mendurhakai agamanya?”

“Peduli apa dengan omongan tetangga?” balas Gibran tanpa menoleh. “Cintaku kepadamu begitu dalam—cinta yang membebaskanmu dari kungkungan moral yang hanya mengejar kehormatan semu. Dan kamu menolaknya hanya demi nilai-nilai agama yang penuh ilusi.”

Kemudian Gibran mengambil rokoknya. Belum juga api menyala, Marwah sudah merampasnya dan meremukkannya dengan geram.

“Cinta bukanlah bentuk penyerahan diri, apalagi penaklukan tubuh. Apakah keberadaanku di sampingmu belum cukup?” sebuah tanya terlontar dari mulut Gibran dengan suara meninggi hingga otot-otot di lehernya terlihat jelas.

“Kita tinggal di Indonesia, Mas. Kita tidak di Sydney. Bagaimana bisa kita melakukan semua itu tanpa ikatan yang diatur agama dan negara?” balas Marwah dengan suara tak kalah tingginya.

“Cinta tidak butuh semua itu. Cinta tak butuh pelembagaan.”

“Kamu sudah gila, Mas. Kita tidak hidup di ruang kosong. Pikiranmu terlalu jauh mengawang.”

Lihat selengkapnya