Tiga gelas sisa kopi semalam, beberapa piring dan puntung rokok yang berserakan, serta handuk dan baju kotor yang berceceran, menjadi pemandangan jorok yang bikin syok bagi siapa saja yang melihatnya.
Sejak dikeluarkan dari kampus nyaris tidak ada kegiatan berarti yang dilakukan Gibran. Sudah sebulan pemuda itu menghabiskan waktunya hanya mengukur ranjang. Gairah mudanya seakan-akan telah sirna begitu saja. Satu-satunya aktivitas yang membuatnya merasa tetap hidup ialah saat bercinta dengan kekasihnya: Marwah.
Sudah ratusan kali ponselnya berdering. Berulang kali Valen dan teman-temanya meneleponnya, tetapi Gibran enggan mengangkatnya. Tidak hanya panggilan, semua pesan masuk juga tidak dibacanya. Beberapa temannya yang ingin mengunjunginya pun ditolaknya, tidak terkecuali Valen dan dosennya, Klara. Mereka dibiarkan menunggu di depan pintu seperti pengemis.
Sudah tiga hari ini Gibran bagai hidup di dalam gua. Tidak ada informasi yang ia ketahui di luar sana. Semua itu dilakukan Gibran bukan demi hidup damai ala stoik, tetapi ia sudah kadung putus asa. Ia tidak punya rencana apa pun. Terakhir kali ia melihat ponselnya saat membaca berita daring tentang PINK, tentang kampusnya yang ramai diberitakan: terpapar virus LGBT. Pemberitaan itu membuat Gibran muak.
Berita sampah. Kaidah jurnalistik benar-benar telah rusak semenjak media cetak bermetamorfosis menjadi media daring yang kering. Begitu Gibran mengomel-omel.
Berita dikeluarkannya Gibran dan teman-temannya dari kampus ramai menjadi perbincangan di berbagai media. Kampus tempat mereka bernaung menjadi sorotan sejumlah kalangan. Isu LGBT beberapa hari ini juga sempat tranding di jagat media sosial. Itulah terakhir kalinya Gibran memegang ponselnya sebelum melemparkannya ke rak buku dan membiarkannya mati begitu saja.
Tidak ada orang lain yang menemani kesendirian Gibran selain kekasihnya, Marwah. Gadis muda itu layaknya seorang istri yang merawat suaminya yang sekarat di atas ranjang. Saban pagi Marwah menyambangi kosan Gibran. Menyiapkan makanan, membersihkan ruangan, dan bercinta. Hanya itu aktivitas itu yang membuat Gibran tetap bertahan hidup. Selebihnya ia bagai orang mati.
Sore itu keduanya baru saja selesai bercinta. Marwah yang isi kepalanya telah menjadi rumah bagi Gibran memutuskan mampir ke kosannya sesudah pulang kuliah. Baru saja masuk ke kamar, Gibran menarik tangannya dan langsung memeluknya kemudian membaringkan tubuhnya dan menindihnya.
Setelah selesai bercinta Marwah mengenakan kembali pakainya dan mulai menyibukkan diri dengan memasak makanan sebelum pulang ke rumah.
“Sebentar lagi selesai sayang,” seru Marwah sambil menggoreng daging ayam yang dibelinya di minimarket sejam yang lalu. “Nasi sudah, sayur sudah siap, ayam goreng sebentar lagi, habis itu apa lagi ya,” imbuhnya.
Gibran menghampirinya dan memeluknya dari belakang. Menciumnya, merabanya, meremas payudaranya yang sudah membesar.
Marwah tahu yang diinginkan Gibran. Ia mematikan kompornya setelah berahinya menyala. Ia membiarkan pemuda yang dicintainya menyentuh setiap lekuk tubuhnya. Segera Gibran membopongnya ke kursi dan di situlah keduanya bercumbu—bercinta.
Marwah sama sekali tidak menolaknya. Ia sangat mencintai kekasihnya itu. Ia tidak peduli lagi apa yang dilakukannya benar atau salah. Batas antara salah dan benar begitu samar di hadapan cinta.
Semenjak bergabung dengan PINK dan mengenal sosok Gibran sebelum akhirnya menjadi kekasihnya, Marwah menemukan kebebasan dalam arti yang sebenarnya. Satu kemewahan yang ia tak dapat di keluarga dan lingkungannya yang memuja keperawanan untuk mengukur tingkat kesalehan seorang perempuan.
Bersama Gibran ia merasa nyaman, tenang, dan bahagia. Ia telah menemukan tujuannya—menikah dan beranak pinak bersama pujangganya.
Dipelukan dada Gibran, Marwah berujar sesudah menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka yang telanjang. “Mas apa yang kita akan lakukan setelah ini?”
Gibran sibuk mengelus rambut Marwah yang panjang dan bergelombang.
“Mas,” ujarnya lagi.
“Tidak ada. Tidak ada yang kita lakukan selain ini.”
“Apakah Mas Gibran tidak punya rencana apa pun?”
“Aku seperti memasuki abad kegelapan.”
“Barangkali hanya pikiran Mas Gibran saja yang gelap.”
“Entah. Kenapa kamu betah bersamaku?”
“Kamu masa depanku, Mas.”
“Aku tidak menjanjikan apa pun, Marwah. Apalagi yang aku harapkan, semuanya sudah berakhir. Tanpamu mungkin aku sudah menjadi mayat busuk di ruangan ini.”
“Semuanya baru dimulai. Jangan putus asa. Ucapanmu barusan bukanlah ucapan Gibran yang aku kenal. Gibran yang begitu semangat membicarakan masa depan.”
Marwah kemudian mengambil ponselnya dan menunjukkan video YouTube Unstoppable Women’s. “Lihatlah Valen sudah kembali ke habitatnya.”
Gibran hanya tersenyum melihat Valen berulang kali menjelaskan isu PINK yang menghebohkan masyarakat. Valen dengan lantang mengkritik kampus, sistem pendidikan yang tidak mendidik. Ia terharu mendengarkan Valen bercerita perjuangan teman-temannya yang telah mengorbankan waktu dan tenaganya untuk mewujudkan pendidikan ramah bagi mereka yang berbeda. Dari situ Gibran mengetahui teman-temannya masih solid.
Valen telah menemukan audiensinya. Tayangan YouTube-nya telah ditonton jutaan kali. Kondisi terbalik dialami Gibran. Hanya Marwah pendengar setianya. Dari mulut Marwah juga diketahui jika ayah Joe mengundurkan diri sebagai komisaris utama salah satu anak perusahaan BUMN. Terakhir kabar yang didengarnya Joe keluar negeri, ia benar-benar mengalami tekanan yang luar biasa beratnya. Mungkin saja ia akan bunuh diri di negeri orang.
Usai menonton podcast Valen, Marwah mengecup bibir Gibran kemudian berbisik, “Apa kesimpulannya setelah menonton video Valen dan kaitannya dengan dunia kampus yang tidak sedang baik-baik saja?”
Gibran menggeleng. Kemudian menyembunyikan wajahnya di bawah bantal.
“Jika kamu ingin menjadi orang besar bergeraklah. Jika tidak bisa terbang berlari. Jika tidak bisa berlari merangkak. Teruslah bergerak.”
“Luther King!” Gibran menyambut ucapan Marwah.
"Mas," ujar Marwah menarik bantal yang menutupi wajah Gibran.
"Ya."
“Aku sedang menyusun skripsiku, Mas. Setelah lulus kuliah maukah Mas melamarku—menikahiku?”
“Menikah?”
“Ya, setelahnya.”
Gibran diam. Ucapan Marwah bagai petir di siang hari yang membuat hatinya bergetar hebat.
“Aku menerimamu apa adanya, Mas.”
Gibran masih diam. Apa yang dulu pernah ia terangkan panjang lebar mengenai pernikahan sepertinya masuk ke telinga kanan dan keluar lewat telinga kiri Marwah. Makin lama Gibran berpikir, akhirnya ia sadar, Marwah dengan dirinya berbeda dalam memahami cinta. Baginya cinta tak butuh pelembagaan bernama pernikahan. Marwah sebaliknya, pernikahan adalah harga mati. Ia beranggapan pernikahan adalah rumah bagi cinta. Lantas apakah yang ia lakukan selama ini demi pernikahan? Gibran dibuat pusing memikirkan hal yang baginya absurd.
Gibran mulai gusar. Resah. Limbung.
“Mas... Kok diam.”
“Hatiku sudah berujar, seharusnya kamu mendengarnya dengan hatimu.”
“Aku serius.”
Gibran ketawa lepas untuk pertama kalinya. Dan sekali lagi keduanya bercinta.
Waktu terus bergulir. Hari ini meninggalkan kemarin dan besok meninggalkan hari ini. Di tangan sang waktu segalanya menjadi mungkin. Suasana kebatinan seperti pisau yang mengancam. Marwah belum berhenti meminta kepastian. Gibran tak menggubrisnya.
Pemuda itu belum berubah dalam memandang banyak hal. Kecuali sikap dan sifatnya. Sudah beberapa hari ini ia kerap marah. Pemuda yang dikenal ramah terhadap perempuan, mendadak menjadi lain. Beringas seperti orang tak waras. Kasar layaknya preman di pasar. Marwah ialah korban pertamanya. Ya, untuk pertama kalinya kekasihnya itu dibuat menangis. Bukan karena kena tonjok, melainkan jawaban Gibran yang membuatnya syok.
Malam itu sudah ketiga kalinya Marwah menangis. Bukan karena fisiknya disakiti, tetapi hatinya dilukai. Sebuah luka yang tak ada tetes darahnya. Meski begitu, Marwah tetap bertahan bersama Gibran. Semata-mata untuk sebuah kepastian yang ingin ia dengar: pernikahan. Lain tidak.
Baru kali ini aku melihatmu marah kepadaku, Mas, teriak Marwah di depan kamar mandi. Gibran tidak memedulikannya. Ia sibuk membasuh tubuhnya. Aku sedang bicara kepadamu, Mas.
Tidak mendapat respons piring hingga buku menjadi korban amukan Marwah.
Gibran keluar dari kamar mandi kemudian duduk sambil mengerutkan keningnya yang pening. Marwah menghampirinya dan berujar setengah berteriak, “Apakah aku telah salah memilih laki-laki? Telah aku korbankan semuanya untukmu. Bukan hanya kesucianku, tetapi juga kedua orangtuaku. Aku rela meninggalkan mereka demi kamu, Mas. Mungkinkah nyawaku yang kamu inginkan, Mas?”
Gibran diam tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
“Selama ini aku tak meminta apa pun darimu. Hanya satu pintaku, jangan hinakan aku dan keluargaku, Mas. Apa yang dikatakan para tetangga jika mereka mengetahui anak seorang yang gemar berkhotbah tentang agama justru anak gadisnya mendurhakai agamanya.”
“Peduli apa dengan omongan tetangga,” balas Gibran tanpa menoleh. “Cintaku kepadamu begitu dalam—cinta yang membebaskanmu dari kungkungan moral yang hanya mengejar kehormatan semu yang diagung-agungkan masyarakat. Dan kamu menolaknya hanya demi nilai-nilai agama yang penuh ilusi.”
Kemudian Gibran mengambil rokoknya. Belum juga api menyala dari koreknya, Marwah sudah merampasnya dan meremukkannya geram.
“Cinta bukanlah bentuk penyerahan diri, apalagi penaklukan tubuh. Apakah keberadaanku di sampingmu belum cukup?” sebuah tanya terlontar dari mulut Gibran dengan suara meninggi hingga otot-otot di lehernya tergurat jelas.
“Kita tinggal di Indonesia, Mas. Kita tidak di Sydney. Bagaimana bisa kita melakukan semua itu tanpa ada ikatan yang diatur agama dan negara,” balas Marwah dengan suara yang tak kalah tingginya.
“Cinta tidak butuh semua itu. Cinta tak butuh pelembagaan.”
“Kamu sudah gila, Mas. Kita tidak hidup di ruang kosong. Pikiranmu terlalu jauh mengawang.”
“Benar, dalam cinta selalu ada kegilaan. Aku hendak melawan aturan pendapat umum. Menabaraknya. Melabraknya.”
“Mas...”
“Marwah... Kita bisa bahagia tanpa melakukan semua itu. Apa kamu tidak paham yang selama ini aku bicarakan?”
Suara tangis Marwah makin menjadi.