Sudah dua minggu Marwah tinggal bersama Valen di vila yang dijadikan basecamp. Banyak kenangan terukir di sana. Tawa, canda, ide brilian, hingga kekonyolan menjadi momen yang sukar dilupakan. Di tempat ini pula, sekelompok anak muda berapi-api dengan gairah untuk menjungkirbalikkan dunia. Mereka memandang masa depan dengan satu tujuan yang sama: perubahan.
Siang itu, sambil makan di beranda, ditemani semilir angin dan kabut yang turun dari Gunung Salak, Marwah masih mengingat kenangan itu. Ceramah Gibran yang mengesankan, gagasan Valen tentang kebebasan, serta mimpi Anna, Axel, dan Joe bahwa harkat martabat manusia tidak ditentukan oleh orientasi seksual.
Kemunculan Valen membuat lamunan Marwah buyar.
“Axel dan Anna belum kembali sejak pagi,” ujarnya membuka obrolan. “Keduanya sedang mencari informasi tentang keberadaan Gibran yang sekarang entah bersembunyi di mana. Tidak ada petunjuk yang ditinggalkan Gibran, kecuali secarik kertas berisi tulisan tangan. Itu pun tidak cukup dijadikan peta ke mana Gibran pergi.”
Mendengar nama Gibran terlontar dari mulut Valen membuat Marwah serba salah. Ia berusaha tegar, meski hatinya berkata lain. Sudah dua minggu ini ia kerap menangis dan melamun. Ia tidak menyangka nasibnya akan sepedih ini. Ia tidak hanya kehilangan gelar sarjana, kepercayaan orang tua, tetapi juga harapan yang ia bangun dari kabut khayalannya. Kepergian Gibran telah membawa seluruh kebahagiaan Marwah. Di matanya, dunia tampak begitu gelap dan pengap.
“Begitu banyak harapan, tetapi semua berakhir menyakitkan,” ujar Marwah datar.
Valen, Anna, dan Axel memahami perasaan Marwah. Mereka mengalami nasib serupa. Jika Valen, Anna, dan Axel dikeluarkan dari kampus, Marwah memilih untuk pergi. Ia tidak sanggup jika nanti teman-temannya akan mengolok-olok dirinya: betapa murahnya harga diri yang digadaikan atas nama cinta.
Meski demikian, teman-temannya memaklumi pandangan Marwah yang melihat dunia dengan tertib dan penuh aturan. Bahkan perempuan yang hamil pun idealnya harus mengikuti aturan: menikah. Valen bisa dikatakan antitesis dari Marwah.
Jika Marwah melihat dunia dengan kacamata dari Timur, Valen sebaliknya. Ia melihat kehidupan dari perspektif Barat. Kedua orang tuanya sangat mendukung pilihan hidup anak perempuannya itu. Sebagai perempuan merdeka, ia menikmati masa mudanya. Ia adalah tuan bagi tubuhnya sendiri. Tidak ada yang boleh mengintervensi, apalagi mengeksploitasi tubuhnya, baik orang tua maupun negara. Semua temannya tahu, ia lahir dari keluarga berkecukupan dan dibesarkan dengan budaya Barat yang moderat. Cara berpikir orang tuanya yang besar di tengah budaya liberal Amerika telah mewarisi cara berpikirnya dalam memandang hidup dan bagaimana menjalaninya dengan caranya sendiri.
Ketika ia mengaku sebagai gadis dewasa, kedua orang tuanya tidak mengintervensi. Tidak ada doktrin, aturan adat istiadat yang kaku, atau ideologi. Valen jelas tidak mau menjadi Sitti Nurbaya. Baginya, abad ke-21 adalah abad kebebasan bagi manusia dari segala rongrongan pikiran purba. Eksistensi manusia ditentukan oleh kebebasannya dalam bertindak. Itu sebabnya ia tidak pernah memikirkan pernikahan. Pilihan itu mengingatkannya kepada Gibran, yang juga menolak pernikahan. Atas alasan itu juga ia meninggalkan Marwah, setidaknya begitulah yang disampaikan Gibran melalui surat.
“Jangan biarkan kecantikanmu tertutupi oleh kesedihan. Sudah lama aku tak melihat senyummu yang hangat, seperti mentari pagi yang dihalangi awan mendung,” kata Valen, melihat Marwah yang tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. “Aku sudah lama mengenal Gibran, jauh sebelum kamu. Jujur, ia anak muda yang rumit dan tidak terduga. Ia terlalu tertutup soal perasaan dan keluarganya. Menurutnya, keingintahuan orang lain terhadap urusan privasinya ibarat mata jarum yang menusuk kulitnya. Gibran menyebutnya ‘hell is other people’ dalam definisi yang lain, yang jika dibiarkan akan 'menindak' perasaannya. Ia menolak perasaannya ‘dieksploitasi’ dalam bentuk lain. Memaksa ingin mengetahui perasaan orang lain baginya seperti lubang hitam yang akan menyedot dirinya. Semoga ia tidak mempunyai pandangan yang sama dengan Sartre.”
“Ia bukan Sartre,” balas Marwah singkat.
“Karena kamu tidak pernah menjadi Simone de Beauvoir yang mengimani eksistensi manusia dalam bertindak. Kamu memandang dia dengan cara berpikirmu yang purba, Marwah.”
“Maksudmu?” balasnya, terperangah. “Apakah pernikahan itu ide konyol bagi manusia modern? Sesuatu yang tidak lagi menjadi tujuan dan kebutuhan? Atau hanya ritual usang yang masih dipertahankan oleh orang primitif sepertiku?”
“Tenang, Marwah. Sabar,” Valen tahu Marwah masih rapuh dan tidak stabil. Perasaannya masih naik turun, hanyut dalam kesedihan. “Habiskan dulu sotonya, baru aku jawab. Ada yang selama ini Gibran sembunyikan darimu.”
“Cepat jawab,” kata Marwah memotong. “Aku hanya butuh jawabanmu, bukan soto di depan mataku.”
“Ya ampun, itu soto, bukan bubur, jangan diacak-acak begitu. Ayo lekas makan. Mengoceh butuh tenaga, dan tenaga hanya didapat dari makanan. Baru setelah itu kita bisa berpikir tenang.”
Marwah tersenyum. Inilah kali pertama Valen melihatnya tersenyum.
“Sehabis ini kita ke supermarket beli susu, ya.”
“Aku hanya mengejar jawabanmu yang belum kamu beri.”
Valen menghela napas berat, mengusap keringat di dahi dengan tisu. “Sekarang sudah jelas,” ujarnya, entah apa yang ia maksud.
“Masih abu-abu,” balas Marwah pendek.