Hujan belum sepenuhnya reda saat Valen berteduh dalam pelukan pemuda yang digilai banyak perempuan. Ia masih merasakan hangatnya tubuh Gibran yang mengeraminya. Valen tak kuasa menahan geliatnya, desahan halus keluar dari bibirnya yang mungil sebelum Gibran kembali memagutnya. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa nikmat saat Gibran memutar-mutar lembut putingnya di dalam mulut. Sudah setengah jam buah dadanya dibuat tegang, membuatnya mengerang.
Sebagai orang yang mengenalnya sudah lama, Valen tahu reputasi Gibran. Pemuda yang kini meremas payudaranya itu penuh gairah, pandai membangkitkan hasrat perempuan baik dengan sentuhan maupun kata-kata. Kedua hal itu adalah kekuatannya yang tidak banyak orang tahu, mengingat ia memang pemuda yang tertutup dalam beberapa hal.
Di hadapan Valen, di bawah kuasa malam yang dingin, Gibran tidak hanya membuka diri, tetapi juga membuka baju dan celana dalamnya. Tentu saja, setelah Valen mengizinkannya dan mempersilakannya membuka kancing bajunya satu per satu. Itulah yang pernah keduanya lakukan dulu. Valen masih teringat kenangan manis itu, sesuatu yang belum ia beri nama selain bersetubuh, tetapi jelas itu bukan bercinta.
Apalagi sekarang, kata cinta tidak mungkin keduanya deklarasikan. Hati Gibran telah tergembok, dimiliki oleh seorang perempuan lain. Valen tidak bisa menjelaskan kenapa malam ini hubungan panas dan tak pantas itu kembali terulang.
“Senikmat inikah,” bisik Valen sambil memeluk Gibran begitu erat, seperti anak kecil memeluk mainan.
Meski malam masih muda, hujan telah menahan keduanya di dalam kamar. Seperti tahanan, mereka hanya meringkuk sambil bertukar peluk. Melangkahkan kaki hanya untuk mengambil tisu pun terasa berat. Setiap detik yang dilewati bagai madu manis di lidah yang ingin terus dicicipi.
“Cium leherku, Gibran,” pinta Valen dengan suara mendesah.
“Mana lagi yang harus kucium?” balas Gibran setelah mengecup leher Valen hingga merah dan basah.
“Dada, perut, selangkangan, dan terus lakukan, terserah kamu mau apakan.”
Begitulah dua muda-mudi itu bersetubuh, menerjang malam dengan senyuman, pelukan, dan desahan di kamar penginapan.
Sudah lama keduanya tidak bercumbu. Kehadiran Marwah dalam kehidupan Gibran bagai noktah yang menerangi jalan pikirannya. Gibran merasakan ketenangan bila di sampingnya, seperti seorang anak kecil di sisi ibunya. Ia merasa kehidupannya begitu lengkap bersama Marwah. Wajar jika Gibran lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Marwah ketimbang dengan perempuan yang sedang ia peluk. Secara tidak langsung, Marwah telah menjadi tembok pembatas antara Gibran dan Valen.
Namun, tidak dengan malam ini. Valen dan Gibran terlena dan hanyut dalam suasana yang mengundang hasrat. Terlebih saat hujan turun, berahi mereka bangkit dari tidur panjangnya, dan terjadilah percumbuan yang melelahkan hingga otot-otot terasa lemas. Layaknya pencuri yang melihat berlian di rumah kosong. Itulah yang terjadi saat Gibran mendelik melihat sebongkah permata berkilauan pada tubuh Valen.
Apa yang mereka lakukan malam ini tak lain hanya mengulangi hubungan tanpa statusnya—friends with benefits. Keduanya percaya orgasme adalah janji surgawi dan seks adalah ritualnya yang memiliki banyak pengikut. Hubungan tanpa ikatan dan komitmen itu lebih menguntungkan dan menyenangkan. Dengan begitu, mereka tidak terikat apa pun. Baik Gibran maupun Valen bisa terbang bebas tanpa ada tali yang mengikat. Valen sadar, Gibran tidak mau membuat sangkar di hatinya, tidak ingin menjadi pemimpin atas nama rumah tangga. Hubungan open relationship seperti ini lebih memerdekakan diri, membebaskan hati.
Sekali lagi, Gibran terkapar, melepas pelukannya dan berbaring lelah di samping Valen. Butir-butir keringat bagai embun pagi menetes dari tubuh keduanya. Napasnya naik turun, matanya kosong menatap atap. Entah apa yang ia pikirkan: kenikmatan atau penyesalan.
Valen memejamkan mata. Ia tidak pernah membayangkan petualangannya ke Jogja akan seperti ini. Penyesalan selalu tinggal di halaman belakang, menjulurkan lidahnya, mengejeknya—barangkali begitu jika penyesalan itu berwujud seonggok daging.
Perjalanan panjang yang melelahkan, yang ia tempuh seharian menggunakan kereta api dari Jakarta ke Kadipiro, membelah sawah dan hutan lebat, mengingatkan Valen betapa kayanya negeri ini dan betapa miskinnya para penduduknya. Rasa lelah itu terbayar lunas setibanya di Yogyakarta.
Pukul enam pagi, ia baru menginjakkan kaki di Kadipiro. Setelah menghirup udara segar, ia segera menuju rumah Gibran menggunakan ojek.
“Benar ini rumahnya, Bang?” tanya Valen agak ragu.
“Benar itu alamatnya?” tukang ojek itu balik bertanya sambil menunjuk secarik kertas di tangan Valen.
Valen tidak mau berdebat. “Ambil saja kembaliannya,” ujarnya. Ia melangkah, membuka pagar bambu rumah. Rumah tua nan asri, pikirnya. Tidak lama, seorang lelaki tua berusia kira-kira setengah abad keluar sambil menenteng koran.
“Selamat pagi, Pak,” sapa Valen.
“Pagi,” balas lelaki itu, sedikit terkejut melihat sosok asing.
“Mau tanya, apa ini rumahnya Gibran?”
“Gibran Sastranegara?”
“Ya, benar.”
“Adik siapa?” balas lelaki itu lalu meletakkan koran Kedaulatan Rakyat di atas meja.
“Aku Valen, teman sekampusnya Gibran.”
Lelaki itu mengangguk-angguk, mengamati Valen sekali lagi sebelum berujar, “Oh, temannya Gibran. Aku Pak Seno, bapaknya Gibran. Mari masuk.”
Benar saja dugaanku. Ternyata ini sosok bapaknya Gibran. Guratan wajahnya sama. Sama-sama memendam misteri. Matanya yang tajam seperti menyimpan rahasia, Valen mengamati dalam hati.
Valen mengikuti langkah Pak Seno masuk, lalu duduk di ruang tamu setelah dipersilakan. Ruang tamu itu minimalis. Tidak ada yang mewah kecuali jejeran buku, lukisan, televisi tua, radio, dan foto. Anak dan bapaknya sama saja, barang berharganya hanya buku. Begitulah komentar pertama Valen.
“Sebentar Bapak ambilkan minum. Oh, ya, mau minum apa?” tanyanya ramah sambil tersenyum.
“Teh hangat saja, Pak,” balas Valen, sedikit kaku.
Di ruang tamu, Valen terkejut melihat foto berukuran raksasa yang sudah kusam. Ia mengamati foto keluarga itu saksama: seorang perempuan cantik menggendong anak kecil, dan di sampingnya ada lelaki muda.
“Itu foto Gibran waktu berusia satu tahun,” ujar Pak Seno sesudah kembali membawa segelas teh dan sepiring dodol.
“Kalau yang ini Bapak, dan ini siapa?” Valen tidak kuasa menahan rasa ingin tahu, sambil menunjuk objek foto perempuan yang menggendong anak kecil.
“Ya, benar. Kalau itu Gibran dan ibunya, Ratih.”
Cantik sekali, kata Valen dalam hati. Pantas kalau Gibran mempunyai selera yang bagus, mungkin itu warisan dari Bapaknya. Setidaknya aku dan Marwah tak kalah cantik dari Ibunya Gibran.
Valen kembali duduk. Setelah berbasa-basi, ia langsung menodong Pak Seno dengan pertanyaan berantai: “Gibran ada di rumah, Pak? Bagaimana keadaannya sekarang? Apakah Gibran tidak ingin kembali lagi ke Jakarta?”
Tanpa tedeng aling-aling, lelaki tua itu berterus terang. Awalnya ia kaget menerima telepon dari kampus tempat Gibran kuliah, memintanya datang. Karena penasaran, ia menelepon Gibran. Dari mulut anaknya itulah ia tahu kenapa diminta datang. Namun, karena kondisinya kurang baik, ia tidak datang ke kampus. Ia juga sama sekali tidak marah saat tahu anaknya dikeluarkan. Sebagai seorang ayah, ia percaya apa yang dilakukan anaknya benar dari sudut pandang lain. Selama ini, masyarakat hanya dipaksa menilai dari satu kacamata: agama.
“Mungkin saja Gibran ingin menenangkan diri. Udara di kampung berbeda dengan Jakarta. Ia perlu menyegarkan pikirannya untuk kembali menata jalan hidupnya.”
“Sekarang Gibran di mana, Pak?”
“Sebelumnya mohon maaf. Sudah seminggu Gibran tinggal di Yogyakarta. Mungkin ke rumah neneknya. Katanya, mau ziarah ke makam ibunya. Alhamdulillah dia sehat, kok.”
“Ke makam ibunya?” tanya Valen, mengulang dengan raut muka kaget.
“Gibran tidak pernah bercerita?”
Valen menggeleng.
“Ya sudah, minum dulu tehnya sambil dicoba dodolnya.”
Valen mengangguk dan menyeruput teh yang masih hangat sambil mendengar cerita Bapak Gibran. Setelah sedikit bercerita, Pak Seno mengajukan sebuah pertanyaan yang membuat Valen limbung: “Nak Valen ini kekasihnya Gibran?”
Valen menjawab jujur, “Bukan, Pak, aku sahabatnya. Kebetulan Gibran sudah punya kekasih di Jakarta.”
“Kenapa tidak diajak menengok calon mertuanya?” tanyanya lagi sambil terkekeh.
“Nanti Gibran sendiri yang akan membawanya untuk meminta restu, Pak.”
Tidak lama setelah itu, Valen pamit undur diri. Dengan bermodal alamat yang diberikan Pak Seno, ia bergegas ke terminal untuk menemui Gibran. Di perjalanan, ia mengisi perutnya dengan makanan yang dibawakan Pak Seno. Meski makanan tradisional, rasanya juara.
*
Sesampainya di Yogyakarta, tepatnya di Malioboro, Valen memutuskan ke kedai kopi untuk mengusir kantuk dan beristirahat sejenak. Setelah melewati lima kedai, ia menghentikan langkahnya saat matanya tak sengaja melihat buruannya.
“Gibran...” teriaknya girang, “di sini ternyata pemuda yang dicari banyak perempuan bersembunyi.”
Gibran terperanjat melihat Valen. Dia langsung menghampirinya dan memeluknya.
“Mengapa tahu aku ada di sini?” tanya Gibran penasaran.
“Apa kamu pikir bumi itu luas? Kamu tidak bisa lari dariku.”
“Aku tidak sedang bermain petak umpet,” timpalnya, kembali ke tempat duduk setelah melepas pelukannya.
“Aku hanya mengikuti angin...”
“Sudah, jangan berbasa-basi. Oh, ya, mau minum apa?”
“Bahkan kamu belum menawarkan aku duduk,” protes Valen sambil menyeringai.
“Silakan, Nona Valen yang terhormat. Aku tidak menyiapkan kursi ini untuk anak presiden. Jadi, tidak ada yang melarangmu duduk di sini.”
Valen tersenyum manis.
“Sedang menulis apa?” tanyanya setelah duduk.
“Prosa.”
“Novel?”
“Ya.”
“Tentang?”
“Rahasia, dong.”
“Apa itu alasanmu datang ke sini?”
“Menulis bisa di mana saja. Sekarang giliranku bertanya, apa yang membawamu hingga kamu rela menukar tenaga dan waktumu untuk menemuiku di sini?”
Valen diam.