Hujan belum sepenuhnya reda saat Valen berteduh di tubuh pemuda yang digilai banyak perempuan. Ia masih merasakan hangatnya saat pemuda itu mengerami tubuhnya dengan erat. Ia tak kuasa untuk tidak menggeliat, suara desahan keluar dari bibirnya yang mungil sebelum pemuda itu memagutnya.
Ya, begitulah saat Valen tidak bisa menyembunyikan rasa nikmat yang ia dapat ketika putingnya diputar-putar dengan lembut di dalam mulut pemuda itu. Sudah setengah jam buah dadanya dibuat kencang. Mengerang.
Sebagai orang yang mengenalnya sudah cukup lama, Valen tahu reputasi pemuda yang sekarang sedang meremas payudaranya itu penuh dengan berahi. Seorang pemuda yang pandai membangkitkan gairah perempuan baik dengan sentuhannya maupun kata-katanya. Kedua hal itu adalah kekuatannya yang tidak banyak orang tahu. Mengingat ia pemuda yang memang tertutup dalam beberapa hal.
Di hadapan Valen di bawah kuasa malam yang mengundang dingin itu, ia tidak hanya membuka diri, tetapi juga membuka baju dan celana dalamnya. Tentu saja setelah Valen mengizinkannya dan mempersilakannya untuk membuka kancing bajunya satu per satu. Itulah yang pernah keduanya lakukan dahulu.
Valen masih teringat kenangan manis itu, sesuatu yang belum ia beri nama selain lema bersetubuh, tetapi jelas itu bukan bercinta. Katanya, apa yang kami lakukan bukanlah bercinta. Kata itu lebih tepat jika dilakukan dengan orang yang dicintainya.
Apalagi sekarang, kata 'cinta' tidak mungkin keduanya deklarasikan. Bukan saja karena hati pemuda yang sedang larut dalam pelukannya itu telah digembok, lebih dari itu hatinya telah dimiliki. Di dalam hatinya yang paling sembunyi, seorang perempuan telah tinggal di dalamnya. Dan ia tidak bisa menjelaskan kenapa malam ini hubungan panas dan tak pantas itu kembali terulang.
“Senikmat inikah,” bisik Valen sambil memeluk pemuda itu dengan begitu erat seperti anak kecil memeluk mainan.
Meski masih muda usia malam, hujan telah menahan keduanya di dalam kamar. Seperti tahanan mereka hanya meringkuk sambil bertukar peluk. Melangkahkan kakinya hanya untuk mengambil tisu pun terasa sungkan. Setiap detik yang dilewatinya bagai manis madu mengecap di lidah yang ingin terus dicicipi—diulangi.
“Cium leherku Gibran,” pintanya dengan suara mendesah.
“Mana lagi yang harus kucium,” balas Gibran setelah lima menit mengecup leher Valen yang panjang hingga merah dan basah.
“Dada, perut, selangkangan dan terus lakukan terserah ingin kamu apa kan.”
Begitulah dua muda-mudi itu bersetubuh menyeruak malam dengan senyuman, pelukan, dan desahan di kamar penginapan.
Sudah lama keduanya tidak bercumbu. Kehadiran Marwah dalam kehidupan Gibran bagai setitik noktah yang menerangi jalan pikirannya. Gibran merasakan ketenangan bila di sampingnya, seperti seorang anak kecil di sisi ibunya. Ia merasa kehidupannya begitu lengkap saat bersamanya. Menjadi wajar jika Gibran lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Marwah ketimbang dengan perempuan yang sedang ia erami. Marwah secara tidak langsung telah menjadi tembok pembatas antara Gibran dengan Valen.
Namun, tidak dengan malam ini. Valen dan Gibran terlena dan hanyut dalam suasana lain yang mengundang rasa ingin. Terlebih saat hujan turun, berahinya mendadak bangkit dari tidur panjangnya dan terjadilah percumbuan yang melelahkan hingga ototnya terasa lemas. Layaknya pencuri yang melihat berlian di rumah kosong. Itulah yang terjadi saat Gibran mendelik melihat sebongkah permata berkilauan pada tubuh Valen.
Apa yang mereka lakukan malam ini tidak lain hanya mengulangi hubungan tanpa statusnya—body oportunity (friends-with-benefits): Keduanya percaya orgasme adalah janji surgawi dan seks adalah ritualnya yang mempunyai banyak pengikut.
Baginya hubungan tanpa ikatan dan komitmen itu lebih menguntungkan. Menyenangkan. Dengan begitu, mereka tidak terikat apa pun. Baik Gibran maupun Valen bisa terbang bebas tanpa ada tali yang mengingatnya. Valen sadar Gibran tidak mau membuat sangkar di hatinya, tidak ingin menjadi pemimpin atas nama rumah tangga. Hubungan open relationship seperti ini lebih memerdekakan diri. Membebaskan hati.
Sekali lagi, Gibran terkapar melepas pelukannya dan berbaring lelah di samping tubuh Valen. Bulir-bulir keringat bagai embun pagi menetes dari tubuh keduanya. Napasnya naik turun, matanya kosong menatap atap langit. Entah apa yang ia pikirkan: kenikmatan atau penyesalan.
Valen memejamkan matanya. Ia tidak pernah membayangkan akan seperti ini petualangannya pergi ke Jogja. Rasa sesal selalu tinggal di halaman belakang. Menjulurkan lidahnya—meledeknya—barangkali begitu jika penyesalan itu berwujud seonggok daging.
Perjalanan panjang yang melelahkan, yang ia tempuh seharian menggunakan kereta api dari Jakarta ke Kadipiro, yang membelah sawah, dan lebat hutan, mengingatkan Valen betapa kayanya negeri ini dan betapa miskinnya para penduduknya. Dan rasa lelah itu telah terbayar lunas setibanya di Yogyakarta.
Jam enam pagi ia baru menginjakkan kakinya di Kadipiro. Setelah menghirup udara segar ia segera menuju rumah Gibran dengan menggunakan ojek.
“Benar ini rumahnya, Bang,” tanya Valen agak ragu.
“Benar itu alamatnya?” tukang ojek itu malah balik bertanya sambil menunjuk pada secarik kertas yang dipegang Valen.
Valen tidak mau berdebat. “Ambil saja kembaliannya,” ujarnya. Valen mengayunkan langkahnya kemudian membuka pagar rumah yang terbuat dari bambu. Rumah tua nan asri, pikirnya. Tidak lama lelaki tua kira-kira berusia setengah abad keluar menenteng koran.
“Selamat pagi, Pak,” sapa Valen.
“Pagi,” balas lelaki tua itu sedikit terkejut melihat sosok asing di depan keningnya.
“Mau tanya apa ini rumahnya Gibran?”
“Gibran Sastranegara?”
“Ya, benar.”
“Adek, siapa?” balas lelaki itu lalu meletakan koran Kedaulatan Rakyat di atas meja.
“Aku Valen, teman sekampusnya Gibran.”
Lelaki itu mengangguk-angguk sekali lagi memperhatikan Valen sebelum berujar, “Oh, temannya Gibran. Aku Pak Seno, Bapaknya Gibran. Mari masuk.”
"Benar saja dugaanku. Ternyata ini sosok Bapaknya Gibran yang pernah ia ceritakan. Guratan wajahnya sama. Sama-sama memendam misteri. Matanya yang tajam seperti menyimpan rahasia," Valen mengamatinya.
Valen mengikuti langkah Pak Seno masuk ke dalam rumahnya, kemudian duduk di ruang tamu setelah dipersilakan.
Ruang tamu berukuran minimalis. Tidak ada yang mewah di ruangan tersebut kecuali jejeran buku, lukisan, televisi tua, radio dan foto. Anak dan bapaknya sama saja barang berharganya hanya buku yang dipamerkan. Begitulah komentar pertama Valen melihat ruangan rumah Gibran yang tidak pernah diceritakan.
“Sebentar Bapak ambilkan minum. Oh, ya, mau minum apa?” tanyanya ramah sambil melempar senyuman.
“Teh hangat saja, Pak,” balas Valen sedikit kaku.
Di ruang tamu Valen dibuat terkejut saat melihat foto berukuran raksasa yang sudah kusam. Ia mengamati foto keluarga dengan saksama. Seorang perempuan cantik sedang menggendong anak kecil dan di sampingnya lelaki muda.
“Apakah ini foto keluarga Gibran,” pikirnya.
“Itu foto Gibran waktu berusia satu tahun,” ujar Pak Seno sesudah kembali dengan membawa segelas teh dan sepiring dodol.
“Kalau yang ini Bapak dan ini siapa?” Valen tidak kuasa menahan rasa ingin tahunya hingga mengajukan tanya sambil menunjukkan jemari ke arah objek foto perempuan yang sedang menggendong anak kecil.
“Ya, benar. Kalau itu Gibran dan ibundanya, Ratih.”
“Cantik sekali,” kata Valen dalam hatinya. “Pantas kalau Gibran mempunyai selera yang bagus, mungkin itu warisan dari Bapaknya. Setidaknya aku dan Marwah tak kalah cantik dengan Ibunya Gibran.”
Valen segera kembali ke tempat duduknya. Setelah berbasa-basi mengobrol mengudara, barulah ia menodong orang tua itu dengan pertanyaan berantai: “Gibran ada di rumah, Pak? Bagaimana keadaannya sekarang? Apakah Gibran tidak ingin kembali lagi ke Jakarta?”
Tanpa tedeng aling-aling orang tua itu pun langsung berterus terang. Awalnya ia kaget menerima telepon dari kampus, tempat Gibran kuliah. Ia diminta untuk datang ke kampus. Karena penasaran ia menelepon Gibran. Dari mulut anaknya itulah ia mengetahui kenapa dirinya diminta untuk datang ke kampus. Namun, karena kondisinya kurang baik ia tidak datang ke kampus.
Ia juga sama sekali tidak marah saat mengetahui anaknya dikeluarkan dari kampus. Sebagai seorang ayah ia percaya apa yang dilakukan anaknya benar dari pandangan lain. Selama ini kehidupan masyarakat hanya dipaksa memandang dan menilai dari satu kacamata saja: agama.
“Mungkin saja Gibran ingin menenangkan diri. Udara di kampung berbeda dengan Jakarta. Ia perlu menyegarkan pikirannya untuk kembali menata jalan hidupnya.”
“Sekarang Gibran di mana, Pak?”
“Sebelumnya minta maaf. Sudah seminggu Gibran tinggal di Yogyakarta. Mungkin ke rumah neneknya. Katanya, mau ziarah ke makam Ibunya. Alhamdulillah dia sehat kok.”
“Ke makam Ibunya?” tanyanya mengulangi dengan raut muka kaget.
“Gibran tidak pernah bercerita?”
Valen menggeleng.
“Ya, sudah minum dulu tehnya sambil dicoba dodolnya.”
Valen mengangguk dan menyeruput teh yang masih hangat sambil mendengar cerita Bapak Gibran.
Setelah sedikit bercerita, Pak Seno mengajukan sebuah tanya dan Valen langsung limbung mendengarnya: “Nak Valen ini kekasihnya Gibran?”
Pertanyaan itu dijawab dengan jujur. “Bukan Pak, aku sahabatnya. Kebetulan Gibran sudah mempunyai kekasih di Jakarta.“
“Kenapa tidak diajak menengok calon mertuanya,” tanyanya lagi sambil terkekeh.
“Nanti Gibran sendiri yang akan membawanya untuk meminta restu, Pak.”
Tidak lama setelah itu Valen pamit undur diri. Dengan bermodal alamat yang diberikan lelaki itu ia bergegas ke terminal untuk menemui Gibran.
Di perjalanan ia memenuhi perutnya terlebih dahulu dengan makanan yang dibawakan oleh Pak Seno. Meski makanan tradisional tapi rasanya juara. Valen berulang kali memuji makanan yang menggoda lidahnya itu.
*
Sesampainya di Yogyakarta tepatnya di Malioboro, Valen memutuskan ke kedai kopi untuk mengusir rasa kantuk di matanya. Ia juga ingin beristirahat sejenak untuk bernapas sebelum kembali bergerak. Lima kedai kopi ia lewati. Di kedai kopi ke enam ia menghentikan langkahnya saat tanpa sengaja matanya yang jelalatan melihat buruan yang sedang dicarinya.
“Gibran....” teriaknya girang, “di sini ternyata pemuda yang dicari banyak perempuan bersembunyi.”
Gibran terperangah melihat Valen. Dia langsung menghampirinya dan memeluknya.
“Mengapa tahu aku ada di sini?” tanya Gibran penasaran.
“Apa kamu pikir bumi itu luas? Kamu tidak bisa lari dariku.”
“Aku tidak sedang bermain petak umpet,” timpalnya dan kembali ke tempat duduknya setelah melepas pelukannya.
“Aku hanya mengikuti angin...”
“Sudah jangan berbasa-basi. Oh, ya, mau minum apa?”
“Bahkan kamu belum menawarkan aku duduk,” protes Valen sambil menyeringai.
“Silakan Nona Valen yang terhormat. Aku tidak menyiapkan kursi ini untuk anak presiden. Jadi, tidak ada yang melarangmu duduk di sini.”
Valen tersenyum dengan manisnya.
“Sedang menulis apa?” tanyanya setelah membetulkan posisi duduknya.
“Prosa.”
“Novel?”
“Ya.”
“Tentang?”
“Rahasia, dong.”