Kadipiro tahun 1999.
Apa yang kamu harapkan dari suamimu yang hanya lulusan sarjana filsafat. Selain berpikirnya aneh, paling banter keahliannya hanya menulis. Mintalah cerai selagi kamu masih muda. Percaya sama Bapak dan Ibu, kamu akan mendapatkan yang lebih baik dari Seno.
Sudah seminggu Seno tinggal di rumahnya usai mengunjungi mertuanya di Yogyakarta. Selama seminggu itu pula, hinaan yang dilontarkan mertuanya masih terngiang di telinganya. Ia tidak menyangka mertuanya mengatakan hal yang sedemikian perih. Sulit dipercaya, tapi begitu faktanya.
Seminggu yang lalu, bersama istrinya, Ratih, dan anaknya yang masih berumur hitungan bulan, mereka mengunjungi rumah mertuanya di Yogyakarta. Tak dinyanya keluarga istrinya tidak menyambutnya dengan semestinya. Mereka memandang Seno dan istrinya dengan tatapan ganjil. Memperlakukannya seperti orang lain.
Padahal, kedatangan Seno dan istrinya tidak lain untuk bersilaturahmi. Sejak kelahiran putra pertamanya, Gibran Sastranegara, keluarga istrinya tidak satu pun yang mengunjunginya. Kedua orangtua Ratih, Pak Danu dan istrinya Siti, bau tubuhnya pun tidak tercium. Meski begitu, Seno enggan berprasangka buruk. Permintaan istrinya yang minta berkunjung ke rumah orangtuanya untuk memperkenalkan anak pertamanya, tidak bisa ditolaknya. Mereka segera berangkat ke Yogyakarta.
Sesampainya di rumah mertuanya, Seno dan Ratih langsung dikerubungi keluarganya. Kakak dan adik Ratih secara bergantian menggendong Gibran yang masih merah karena kepanasan setelah disengat cahaya matahari.
“Ganteng banget anakmu,” kata Andin adik bungsu Ratih. “Mak, Pak, Kak Ratih pulang.”
Baru saja Seno dan Ratih duduk di ruang tamu, kedua orangtua Ratih nongol. Mereka langsung menghampiri putrinya yang sudah lama tidak dilihatnya. Setelah menyalami dan memeluknya, Ibunya berujar, “Kamu tambah kurus saja Ratih.”
Ratih tidak menjawab hanya tersenyum.
“Kamu ke sini pakai apa?” tanya Bapaknya bergantian bertanya.
“Kereta, Pak,” sahut Seno sambil tersenyum.
“Kereta...” Bapak Ratih kaget dengan jawaban yang didengarnya. “Dari Kadipiro ke sini naik Kereta?”
“Ya, Pak, biar lebih murah juga bisa untuk beristirahat.”
“Kok, gak pakai mobil pribadi?” Ibunya langsung menimpali dengan wajah kecut. Mendengar pertanyaan itu Seno seperti dipecut.
Ratih dan suaminya saling tatap.
“Tidak punya mobil? Kamu kerja apa, Seno?”
“Ya, saat ini belum punya Bu. Aku masih mengajar.”
“Masih jadi guru?”
Seno mengangguk.
Semua anggota keluarga istrinya yang kebetulan ada di situ diam mendengar orangtua Ratih menginterogasi menantunya.
“Sini gendong sama nenek,” katanya ibu Ratih kemudian mengeluyur begitu saja meninggal Ratih dan Seno di ruang tamu. “Apa yang bisa digarapkan dari lulusan sarjana filsafat. Bisa makan saja sudah hebat,” suara sayup-sayup mertuanya terdengar meski diucapkan dengan pelan. “Cucu nenek yang malang, berapa kasihannya kamu terpilih untuk lahir ke dunia. Kehidupan akan menyengsarakanmu. Bukan salahmu tapi ibumu yang keras kepala.”
Seno diam saja mendengar mertuanya mengoceh. Begitu pun istrinya kecuali matanya yang merah, marah.
Di rumah mertua istrinya, Seno menginap semalam. Dan malam itu ia tidak bisa tidur karena dihidangkan dengan hinaan, cacian, dan sindiran oleh keluarga istrinya. Di ruang makan yang seharusnya diisi rasa kangen antara anak dan orangtuanya, justru menjadi ajang pembantaian harga diri. Sialnya makan malam itu dihadiri oleh semua anggota keluarga Ratih, baik yang jauh maupun dekat.
Saat makan malam baru saja dimulai, mertua Seno menceritakan keberhasilan dan kesuksesan para menantunya. Semuanya dipuji dan dibangga-banggakan kecuali Seno. Ada yang menjadi karyawan bank, ada yang bekerja kantoran di Jakarta, juga ada yang menjadi PNS. Sementara Seno meski tidak disebut namanya, semuanya sudah tahu hanya seorang guru yang upahnya seuprit. Mendengar semua itu hati Seno menjadi gerah.
Ingin sekali Seno memuntahkan makanan yang baru saja ditelannya. Di sampingnya, Ratih, juga tidak berkutik. Ia telah kehilangan selera makannya. Ia kenyang mendengar penghinaan dari keluarganya. Betapa tersayat hatinya melihat harga diri suaminya bagai keset yang diinjak-injak.
Apa boleh dikata, semua yang dikatakan orangtuanya, kakak-kakaknya, ipar dan sepupunya bukanlah separuh kebenaran, melainkan seluruhnya benar. Seno tidak bisa memberikan apa pun kecuali menanam benih di rahim istrinya. Tidak ada yang bisa dibanggakan menjadi seorang guru. Ratih sudah mengetahui hal itu saat Seno pertama kali menyerahkan upahnya setelah sebulan mengajar. Ia pun masih teringat ucapan Seno yang getir: “Sudah menjadi pengetahuan umum dalam dunia pendidikan seorang guru idealnya sudah tidak lagi pusing memikirkan kesejahteraannya. Yang perlu dan terus menerus dipikirkan ialah bagaimana menjadi pendidik yang kompeten. Namun demikian realitasnya, guru di Indonesia hari ini dan barangkali tahun-tahun yang akan datang tak ubahnya ibarat pendidik pada zaman abad lima belas yang muram.”
Di meja makan Seno diam tanpa kata. Di hadapan mertuanya ia bagai orang kecil yang hina dina. Tubuhnya mengkerut, wajahnya seperti kerupuk dicelupkan ke dalam sop mangkuk. Wajah yang mengingatkan Ratih saat Seno mencoba membesarkan hatinya setelah menerima upah yang tidak seberapa. Waktu itu ia menyerahkan buku favoritnya dan membuka halaman yang sudah ditandai stabilo berwarna merah; “Saya kenal seorang guru yang, di Musim Dingin biasanya ketika pagi hari yang sangat membekukan tulang, memecuti anak didiknya, bukan karena apa-apa selain agar tubuhnya sendiri agak hangat. Henry Peacham: 1576-1643.” Ratih tertegun membaca paragraf itu. Betapa kemiskinan telah menghantui tugas mulia sebagai seorang guru. Inilah penyakit klasik yang terus menghantui para guru di Indonesia. Maka tidak heran jika ada seorang guru yang mempunyai banyak profesi. Pertama sebagai pengajar, kedua sebagai pemulung setelah pulang mengajar. Jeritan tokoh pendidik terkemuka Britania Raya, Richard Mulcaster, di abad 15 sama dengan apa yang dialami Seno: “Panggilan tugas kami merayap begitu rendahnya dan hanya berteman kesedihan.”