Di Hadapan Cinta Semua Tubuh Sama

Ade Mulyono
Chapter #16

ENAM BELAS

Kadipiro tahun 1999.

"Apa yang kamu harapkan dari suamimu yang hanya lulusan sarjana filsafat? Selain berpikirnya aneh, paling banter keahliannya hanya menulis. Mintalah cerai selagi kamu masih muda. Percaya sama Bapak dan Ibu, kamu akan mendapatkan yang lebih baik dari Seno."

Sudah seminggu Seno tinggal di rumahnya usai mengunjungi mertuanya di Yogyakarta. Selama seminggu itu pula, hinaan yang dilontarkan mertuanya masih terngiang di telinganya. Ia tidak menyangka mertuanya akan mengucapkan hal yang sedemikian perih. Sulit dipercaya, tapi begitu faktanya.

Seminggu yang lalu, bersama istrinya, Ratih, dan Gibran, putra mereka yang masih berumur hitungan bulan, Seno mengunjungi rumah mertuanya. Tak disangka, keluarga Ratih tidak menyambutnya dengan semestinya. Mereka memandang Seno dan Ratih dengan tatapan ganjil, memperlakukan mereka seperti orang lain.

Padahal, kedatangan Seno dan Ratih tidak lain untuk bersilaturahmi. Sejak kelahiran Gibran, tidak ada satu pun anggota keluarga Ratih yang mengunjunginya. Kedua orang tua Ratih, Pak Danu dan istrinya, Siti, bahkan tidak mencium bau tubuh cucu mereka. Meski begitu, Seno enggan berprasangka buruk. Permintaan Ratih yang ingin berkunjung untuk memperkenalkan anak pertamanya tidak bisa ia tolak. Mereka pun berangkat ke Yogyakarta.

Sesampainya di rumah mertuanya, Seno dan Ratih langsung dikerumuni keluarganya. Kakak dan adik Ratih secara bergantian menggendong Gibran yang kemerahan karena panas.

“Ganteng banget anakmu,” kata Andin, adik bungsu Ratih. “Mak, Pak, Kak Ratih pulang.”

Baru saja Seno dan Ratih duduk di ruang tamu, kedua orang tua Ratih muncul. Mereka langsung menghampiri putri mereka yang sudah lama tak berjumpa. Setelah menyalami dan memeluknya, Ibu Ratih berujar, “Kamu tambah kurus saja, Ratih.”

Ratih hanya tersenyum tanpa menjawab.

“Kamu ke sini pakai apa?” tanya Bapaknya bergantian.

“Kereta, Pak,” sahut Seno sambil tersenyum.

“Kereta?” Bapak Ratih kaget. “Dari Kadipiro ke sini naik kereta?”

“Ya, Pak, biar lebih murah, juga bisa untuk beristirahat.”

“Kok enggak pakai mobil pribadi?” Ibunya langsung menimpali dengan wajah masam. Mendengar pertanyaan itu, Seno merasa seperti dipecut.

Ratih dan suaminya saling bertatapan.

“Tidak punya mobil? Kamu kerja apa, Seno?”

“Saat ini belum punya, Bu. Aku masih mengajar.”

“Masih jadi guru?”

Seno mengangguk.

Semua anggota keluarga Ratih yang kebetulan ada di situ diam mendengar orang tua Ratih menginterogasi menantunya.

“Sini, gendong sama nenek,” kata Ibu Ratih, kemudian pergi begitu saja meninggalkan Ratih dan Seno di ruang tamu. “Apa yang bisa diharapkan dari lulusan sarjana filsafat? Bisa makan saja sudah hebat,” suara sayup-sayup mertuanya terdengar. “Cucu nenek yang malang, betapa kasihan kamu terlahir ke dunia. Kehidupan akan menyengsarakanmu. Bukan salahmu, tapi ibumu yang keras kepala.”

Seno diam saja mendengar mertuanya mengoceh. Begitu pula Ratih, kecuali matanya yang memerah karena menahan marah.

Di rumah mertuanya, Seno menginap semalam. Malam itu ia tidak bisa tidur karena dihujani hinaan, cacian, dan sindiran. Di ruang makan yang seharusnya diisi dengan kehangatan, justru menjadi ajang pembantaian harga diri. Sialnya, makan malam itu dihadiri oleh semua anggota keluarga Ratih, baik yang jauh maupun dekat.

Saat makan malam, mertua Seno menceritakan keberhasilan para menantunya. Semuanya dipuji dan dibangga-banggakan, kecuali Seno. Ada yang menjadi karyawan bank, bekerja kantoran di Jakarta, juga menjadi PNS. Sementara Seno, meski tidak disebut namanya, semua orang sudah tahu ia hanyalah seorang guru dengan upah seuprit. Hati Seno terasa gerah.

Ia ingin sekali memuntahkan makanan yang baru saja ditelannya. Di sampingnya, Ratih juga tidak berkutik. Ia telah kehilangan selera makannya, kenyang mendengar penghinaan dari keluarganya. Betapa tersayat hatinya melihat harga diri suaminya diinjak-injak.

Apa boleh dikata, semua yang dikatakan orang tuanya, kakak-kakaknya, ipar, dan sepupunya bukanlah kebohongan. Seno memang tidak bisa memberikan apa pun selain menanam benih di rahim istrinya. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari menjadi seorang guru, pikirnya. Ratih sudah mengetahui hal itu saat Seno pertama kali menyerahkan upahnya setelah sebulan mengajar. Ratih masih teringat ucapan Seno yang getir, “Sudah menjadi pengetahuan umum dalam dunia pendidikan, seorang guru idealnya sudah tidak lagi pusing memikirkan kesejahteraannya. Yang perlu dan terus menerus dipikirkan ialah bagaimana menjadi pendidik yang kompeten. Namun, realitasnya, guru di Indonesia hari ini dan barangkali tahun-tahun yang akan datang tak ubahnya ibarat pendidik pada zaman abad kelima belas yang muram.”

Di meja makan, Seno diam tanpa kata. Di hadapan mertuanya, ia bagai orang kecil yang hina. Tubuhnya mengkerut, wajahnya layu seperti kerupuk dicelupkan ke dalam sop. Wajah yang mengingatkan Ratih saat Seno mencoba membesarkan hatinya setelah menerima upah yang tidak seberapa. Waktu itu, Seno menyerahkan buku favoritnya dan membuka halaman yang sudah ditandai stabilo merah; “Saya kenal seorang guru yang, di Musim Dingin biasanya ketika pagi hari yang sangat membekukan tulang, memecuti anak didiknya, bukan karena apa-apa selain agar tubuhnya sendiri agak hangat. Henry Peacham: 1576-1643.” Ratih tertegun membaca paragraf itu. Betapa kemiskinan telah menghantui tugas mulia sebagai seorang guru. Inilah penyakit klasik yang terus menghantui para guru di Indonesia. Maka tidak heran jika ada seorang guru yang mempunyai banyak profesi. Jeritan tokoh pendidik terkemuka Britania Raya, Richard Mulcaster, di abad ke-15 sama dengan apa yang dialami Seno, “Panggilan tugas kami merayap begitu rendahnya dan hanya berteman kesedihan.”

Lihat selengkapnya