Di Hadapan Cinta Semua Tubuh Sama

Ade Mulyono
Chapter #17

TUJUH BELAS

Matahari belum sepenuhnya terbit saat Gibran dan Valen sudah menginjakkan kaki di Stasiun Tugu Yogyakarta. Dua lembar tiket jurusan Jakarta sudah berada di tangan mereka.

Setelah menunggu lima belas menit, kereta yang akan membawa mereka ke Stasiun Gambir akhirnya tiba. Keduanya bergegas masuk ke gerbong dan mencari kursi sesuai nomor tiket. Duduk di kelas ekonomi, Valen tidak memprotes Gibran. Ia tidak mau usahanya membujuk Gibran sia-sia hanya karena masalah tempat duduk.

“Ini gerbong kelas pekerja, segalanya realis. Sesampainya di Jakarta kamu akan punya banyak tabungan ide untuk menulis,” bisik Gibran sambil membantu Valen mengangkat kopernya.

Valen mencoba menikmatinya. Ia yakin akan mendapat pengalaman lain sepanjang perjalanan pulang ke Jakarta, berbeda dari saat berangkat ke Yogyakarta. Benar saja, suasana di gerbong ramai oleh riuh rendah suara manusia. Penjual makanan dan minuman berlalu-lalang menawarkan dagangan. Terdengar tangis anak kecil yang merindukan puting susu ibunya, dan rintihan orang tua yang memuntahkan isi perutnya. Gibran hanya tersenyum melihat semua itu.

Tak lama kemudian, terdengar pengumuman dari pengeras suara. Seorang laki-laki menyampaikan bahwa kereta tujuan Jakarta mengalami kendala teknis dan terpaksa menunda keberangkatan, tetapi tidak lebih dari satu jam. Selama tiga puluh menit pertama, Gibran menukar rasa jenuhnya dengan menenggelamkan wajahnya pada sebuah novel karya Pramoedya: Sekali Peristiwa di Banten. Ia tampak begitu khusyuk membacanya.

Valen meliriknya, lalu sebuah pertanyaan meluncur dari bibirnya, “Ada yang mengatakan itu novel percobaan Pramoedya menulis realisme sosialisme. Apa kamu setuju?”

“Aku setuju jika ada yang berpendapat demikian. Tapi Pramoedya bukan orang pertama yang menulis realisme sosialis. Ada penyair Lekra, aku lupa namanya, yang sudah lebih dulu mencobanya melalui puisi-puisinya,” balas Gibran tanpa menoleh.

“Kamu setuju dengan artistik Lekra? Dengan idealismenya, romantik revolusionernya, dan politik sebagai panglimanya?”

“Tidak ada yang salah dengan semua itu. Sebab, itu berlaku pada masanya. Jika aku hidup pada masa itu, tanpa ragu sedikit pun aku akan bergabung dengan organisasi kebudayaan terbesar itu.”

“Aku sudah menduganya. Aku ingin mendengar alasanmu yang lain, selain karena kesamaan ideologi.”

Lihat selengkapnya