Hari sudah sore ketika Axel dan Anna sibuk di kediaman Valen. Sejak pagi, ketiga pemuda itu telah hilir-mudik menyiapkan segala keperluan untuk acara tujuh bulanan Marwah. Tiga orang perempuan paruh baya, yang didatangkan langsung dari sebuah kampung di Bogor, terlihat sibuk di dapur, memasak dan membuat hidangan khas, terutama rujak. Sesekali Valen memberi arahan kepada mereka.
Tidak ketinggalan, seorang ustaz setempat turut diundang untuk memimpin doa. Beberapa warga sekitar juga ikut hadir untuk menikmati hidangan.
Melihat semua persiapan itu, Marwah tampak tidak senang. Ia menolak ritual tujuh bulanan yang menurutnya tidak pantas diadakan untuk dirinya dan janinnya. Ia merasa kehamilannya tidak datang dengan cara yang semestinya.
Marwah pada akhirnya menyerah setelah mendengar ucapan Valen yang lebih pedas dari sambal rujak.
“Apa salahnya berdoa, meminta kemudahan kepada Sang Pencipta? Tuhan punya alasan saat melemparkan manusia ke dunia. Bayi dalam kandunganmu tidak bersalah. Ia putih dan suci. Sehitam apa pun kehidupan orang tuanya, seorang anak tidak patut menanggung dosa orang tuanya.”
Usia kandungan Marwah sudah tujuh bulan. Ia dan janinnya sehat, hanya hatinya yang masih menyimpan kesedihan. Selama tujuh bulan ini, gadis malang itu belum bisa berdamai dengan takdirnya. Kesedihan itu bagai bayangan yang terus mengikuti. Namun, Valen dan teman-temannya memaklumi.
Betapa lemahnya seorang perempuan di hadapan cinta. Valen tidak menyalahkan, sebab ia pernah mengalaminya—jatuh dan tenggelam dalam kesedihan saat cintanya ikut dibawa mati oleh Kristin.
Entah sampai kapan Marwah akan terus menangisi nasibnya. Di benak Valen, Marwah dan Gibran telah berubah. Sosok Marwah yang ia kenal kritis dan berpandangan luas seakan luntur, terperangkap dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan. Ia menjadi perempuan yang tak berdaya di hadapan tuntutan masyarakat dan keluarganya, semua demi nilai kepantasan yang sebenarnya tak bernilai. Cahaya keindahan masa mudanya telah memudar dari wajahnya. Begitu juga Gibran, sekutu sekaligus seteru yang mengajarkan banyak hal, kini justru menjadi pecundang yang lari terbirit-birit bagai pencuri yang kepergok sebelum beraksi.
Karena tak ingin melihat Marwah terus-menerus jatuh dalam jurang kesedihan, Valen akhirnya mendiskusikannya dengan Anna. Mereka mencari kejutan untuk menghibur hati Marwah—mengobati sedikit luka yang tak berdarah. Akhirnya, dibuatlah acara tujuh bulanan ini, setelah keduanya mencari informasi di internet tentang budaya Jawa tersebut. Kegagalan Valen membawa Gibran datang memang disesalkan, tidak hanya oleh dirinya, tetapi juga oleh Marwah—yang sangat berharap Gibran akan datang menemuinya, bersujud di kakinya untuk meminta maaf. Sejak saat itu, Valen bertekad akan membahagiakan Marwah, bagaimanapun caranya.