Di Hadapan Cinta Semua Tubuh Sama

Ade Mulyono
Chapter #18

DELAPAN BELAS

Hari sudah bernama sore saat Axel dan Anna sedang sibuk mengerjakan sesuatu di kediaman Valen. Tidak hanya mereka berdua, Valen juga tak kalah sibuknya. Sejak dari pagi Valen tiga anak muda itu sudah kedebag-kedebug menyiapkan berbagai keperluan untuk hajatan tujuh bulanan. Tiga perempuan yang tidak lagi muda usianya, yang lebih tepat jika dipanggil emak-emak tampak didatangkan langsung dari kampung di Bogor untuk memasak dan membuat makanan khas tujuh bulanan. Terutama rujak khas tujuh bulanan. Sesekali Valen memberi arahan pada ketiga perempuan yang usianya jauh lebih tua darinya.

Tidak ketinggalan ustaz setempat ikut diangkutnya untuk memimpin doa. Juga beberapa warga yang ikut mampir untuk menikmati hidangan.

Melihat usaha rekan-rekannya membuat hajatan tujuh bulanan, Marwah tampak tidak senang. Ia menolak ritual tujuh bulanan yang menurutnya tidak pantas diadakan untuk dirinya—untuk janinnya. Menurutnya dirinya hamil tidak sebagaimana mestinya.

Meski menolak pada akhirnya ia menyerah setalah mendengar ucapan Valen yang lebih pedas dari sambal rujak.

“Apa salahnya berdoa, meminta kemudahan kepada Sang Pencipta. Tuhan mempunyai alasan saat melemparkan manusia ke dunia. Bayi dalam kandunganmu tidak bersalah. Ia putih dan suci. Sehitam apa pun kehidupan orangtuanya di dunia, seorang anak tidak patut menanggung dosa orangtuanya.”

Sudah tujuh bulan usia kandungan Marwah. Ia dan janinnya sehat. Hanya kesedihan hatinya yang belum ditemukan obatnya. Sudah tujuh bulan ini gadis malang itu belum bisa berdamai dengan dirinya—dengan takdirnya. Kesedihan bagai bayangan yang mengikuti. Meski begitu, Valen dan teman-teman lainnya memaklumi.

Betapa lemahnya seseorang perempuan di hadapan cinta. Valen tidak menyalahkan, ia pernah mengalaminya. Jatuh dan tenggelam diamuk kesedihan saat cintanya ikut dibawa mati oleh Kristin.

Entah sampai kapan Marwah akan terus menangisi nasibnya yang tak beruntung. Di benak Valen kedua temannya, Marwah dan Gibran telah berubah. Sosok Marwah yang dikenal kritis dan mempunyai pandangan luas tentang perempuan, seakan-akan semuanya tidak lagi membekas saat terperangkap dalam situasi yang tidak pernah diinginkan—terbayangkan. Ia menjadi perempuan lemah di hadapan tuntutan masyarakatnya—keluarganya—atas nama nilai yang sebenarnya tak bernilai apa-apa selain kepantasan belaka. Seberkas cahaya masa mudahnya yang indah telah berpendar dari wajahnya. Begitu pun Gibran, sekutu sekaligus seteru yang mengajarkan banyak hal, kini justru menjadi pecundang yang kalah dan lari terbirit-birit bagai pencuri yang kepergok sebelum beraksi.

Lantaran tak ingin melihat Marwah terus menerus jatuh dalam jurang kesedihan, akhirnya Valen mendiskusikannya dengan Anna, kejutan apa yang mereka bisa berikan untuk menghibur hati Marwah—mengobati sedikit luka yang tak ada tetes darahnya. Maka dibuatlah acara tujuh bulanan setelah keduanya mencari informasi di internet budaya berasal dari Jawa itu.

Kegagalannya membawa Gibran memang disesalkan tidak hanya oleh Valen sendiri, tetapi juga Marwah—yang sangat berharap ia datang menemuinya—bersujud di kakinya untuk meminta maaf. Sejak saat itu, Valen bertekad akan membahagiakan Marwah bagaimana pun caranya.

Lihat selengkapnya