Jakarta, 2019
Dalam kurun waktu dua tahun, novel Pink sudah dicetak ulang untuk kesekian kalinya. Diterjemahkan ke dalam lima bahasa: Inggris, Jerman, Belanda, Jepang, dan Italia. Berkat novel itu, nama pengarangnya ikut melambung. Bagai kapal, novel yang ia tulis mengantarnya melanglang buana ke berbagai kota. Sang pengarang tidak pernah menolak saat diminta untuk hadir membedah novelnya. Dengan begitu, ia merasa mempunyai kawan untuk berbincang—bertukar pikiran. Manusia tanpa dialog ibarat batu yang menggeletak di dasar sungai. Setidaknya dengan bertemu banyak orang, ia tidak dibunuh oleh sepi yang kerap menyiksa dirinya jika teringat masa lalunya yang menyedihkan.
Malam itu, Gedung Bentara Budaya, Jakarta, cukup ramai dihadiri banyak orang yang ingin melihat langsung pengarang novel Pink. Di atas panggung, sang pengarang menceritakan proses kreatifnya.
“Ini novel yang paling banyak dipuji sekaligus dicaci. Aku menerima keduanya dengan lapang dada,” ujarnya dengan kalem. “Kebetulan aku masih mengimani Umberto Eco: Pengarang Telah Mati. Novel ini dicintai pembaca karena para tokohnya yang tidak henti-hentinya memperjuangkan pendidikan yang berkeadilan, setara, tanpa diskriminasi dari kungkungan polisi moral. Dan novel ini dibenci karena dianggap menabrak nilai-nilai yang adiluhung. Terima kasih sudah mengundang saya di kota yang tidak pernah tidur ini. Jakarta adalah kota yang menampilkan dua wajah: kesedihan sekaligus kegembiraan. Kesedihan bagi yang ditindas, gembira bagi mereka yang menindas. Kota ini mengajarkan banyak hal. Buat saya pribadi, banyak kenangan yang begitu membekas di kota ini.”
Setelah selesai menjawab semua pertanyaan para pengunjung, panitia mempersilakan para pembaca novel Pink yang ingin meminta tanda tangan untuk berbaris rapi. Pengarang muda itu dengan sabar melayani permintaan pembaca bukunya.
“Bisakah selfie dengan anak ini yang sedari tadi ingin berfoto dengan pengarang besar,” kata seorang perempuan muda tanpa ekspresi. “Anak ini anak sahabatku, kebetulan namanya sama dengan judul novel Anda: Pink.”
“Baik, Nona,” balas pengarang itu tanpa menoleh. Ia masih sibuk membubuhkan tanda tangan. “Mana gadis kecilnya?”
“Ini anaknya,” kata perempuan itu, dan sang pengarang terperangah melihat dua perempuan di hadapannya. Darahnya seperti membeku. Lidahnya kelu. Ia seperti patung yang tak bergerak. Semua orang terheran-an melihat pemandangan yang menurut mereka ganjil.
Tanpa sepatah kata pun, pengarang muda itu menjemput anak kecil itu dengan kedua tangannya.
“Senyum ya... Senyum dong, Pink, masa menangis ketemu Papa.”
Bertambah terkejut pengarang muda itu mendengar ucapan perempuan yang sudah tidak asing di mata dan telinganya. Seketika wajahnya pucat bagai mayat. Darahnya seperti berhenti mengalir. Jantungnya berdegup kencang seperti hendak meletus. Ditatapnya anak kecil yang sedang digendongnya.
“Kembalikan anakku,” kata perempuan satunya sambil menangis. Semua orang yang melihat kejadian itu memberikan jalan.
“Terima kasih, pengarang besar,” ujar perempuan di sampingnya sebelum pergi menyusul temannya yang masih menangis sambil menggendong anaknya.
Kejadian itu membuat para pengunjung saling tatap satu sama lain. Kini di benak mereka berkelindan tanya. Pengarang muda itu turun dari atas panggung dan langsung mengejar dua perempuan yang sudah keluar meninggalkan ruangan.
“Valen, Marwah!” teriaknya setengah berlari.
Sambil terengah-engah, pengarang muda itu berujar, “Aku ingin bicara dengan kalian.”
Hening.
Dua perempuan yang diketahui bernama Marwah dan Valen, yang sudah sampai di tempat parkiran mobil, menghentikan langkahnya.
“Untuk apa? Sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Mas,” sahut Marwah tanpa menatap lawan bicaranya. Sementara anak kecil dalam pelukannya belum berhenti menangis. Mungkin saja anak kecil itu merindukan puting susu ibunya.
Pengarang muda yang tidak lain bernama Gibran mengayunkan langkahnya sebelum dihentikan oleh Valen.
“Valen, tolong bujuk Marwah,” ujarnya pelan, nyaris tak terdengar.
“Apa aku tidak salah dengar?” balas Valen. “Sembunyi di mana saja kamu selama ini?”
Gibran tidak menyerah. Matanya berkaca-kaca. Ia menyingkirkan tangan Valen yang menghalangi langkahnya.
“Marwah, aku masih bernapas. Aku belum mati. Tuhan juga mengabulkan impianku menjadi pengarang. Apa kamu lupa, aku pernah memintamu berdoa dengan kata yang belum pernah diucapkan hamba pada Tuhan-Nya. Aku pernah memohon padamu, kutuk aku dengan kutukan yang belum pernah diterima manusia mana pun di dunia ini,” teriak Gibran emosional.
Valen menghampiri Marwah dan mengambil anaknya dari gendongannya.
Setelah menenangkan tangisnya, Marwah menghampiri Gibran. Ditatapnya pemuda yang telah meninggalkan luka di palung hatinya, kemudian berujar, “Apakah kamu merasakan apa yang aku rasakan? Semuanya telah aku korbankan untuk menebus kebahagiaan kita. Aku tidak menyangka begitu mahal harga kebahagiaan yang harus aku tebus untuk hidup mengabdi menjadi pasangan hidupmu. Bukan hanya tubuhku yang aku berikan, masa depanku, kuliahku, bahkan kehormatan kedua orang tuaku telah aku rusak demi hidup bersamamu. Hanya dalam kedipan mata, semuanya yang telah aku perjuangkan hancur begitu saja.”
Gibran diam, hanya suara tangisnya yang terdengar.
“Aku datang ke sini hanya ingin berbisik pada putri kecilku, lihatlah bapakmu yang tak pernah tahu kehadiranmu bahkan sejak dalam kandungan.”
“Maafkan aku,” balas Gibran.