Di kamar Mentari, Fira melanjutkan tangisnya sampai terisak-isak. Dia benar-benar terpukul atas kejadian malam ini. Ibu kos tidak peduli dengan kesedihannya dan terus membela Jesika. Dulu mereka bersekolah di SMA yang sama, tapi tidak saling mengenal secara dekat. Fira anak yang aktif organisasi sehingga temannya pun banyak, sedangkan Jesika hampir tidak memiliki teman karena setiap harinya hanya diam di kelas dan tidak ikut bersosialisasi dengan temannya sebagaimana mestinya. Mereka hanya mengenal nama, tanpa mengenal kepribadian sebelumnya. Namun, takdir mempertemukan mereka semasa kuliah. Mereka diterima di program studi yang sama, yaitu keperawatan, sehingga mereka memutuskan untuk ngekos satu kamar.
Selepas menutup pintu kamarnya, Mentari merangkul Fira yang sedang duduk mendekap kedua kakinya di depan almari. Mentari menghela napas panjang, lalu duduk di samping temannya yang sedang butuh sandaran itu.
“Fir, sebenarnya gue sudah tahu gimana sifat tuh anak. Dari sd pun dia nggak pernah punya teman. Kamu tahu sendirilah alasannya kenapa. Maaf ya, Fir. Gue nggak nyangka bakal kejadian serumit ini, sumpah.” Kata Mentari ketika tangis Fira mulai mereda.
“Lo inget nggak waktu Lo telfon gue yang ngabarin lo sekamar sama tuh anak? Waktu itu gue kaget dan Lo tanya kenapa, tapi nggak gue jawab. Gue takut dikira menyebar aib orang lain atau menjelek-jelekkan nama dia.” Baru berhenti bicara, Fira menyahut.
“Kenapa sih kamu nggak bilang, Ri? Kalau tahu dia seperti apa kan aku bisa milih kos yang murah daripada kos kamar mandi dalam tapi sama dia. Dulu aku mikirnya bakal enak hidup sekamar sama teman satu prodi. Kami bisa ngerjain tugas bareng, diskusi bareng, dan terpenting biaya ngekos yang ditanggung bareng.”
“Gue pengen Lo tahu sendiri gimana sifatnya tuh anak, Fir. Gue bener-bener minta maaf. Dulu, waktu SMA dia ngerasa kalau gue ngejelek-jelekin dia agar orang-orang yang gue kenal benci sama dia. Makanya gue memilih buat diam aja. Kalau Lo sampai nggak jadi sekamar sama tuh anak, dia pasti ngiranya gue ngehasut Lo dan takutnya juga Lo nggak percaya sama omongan gue. Jadi, gue pikir mending gue diam aja.”
Mendengar penjelasan sahabatnya, gadis berperawakan agak berisi dengan hidung yang juga agak besar dan mancung ke dalam itu tidak bisa berkomentar lagi. Dia tahu menyalahkan Mentari bukanlah solusi. Fira bangkit dari senderannya di bahu Mentari. Tangisnya sudah benar-benar reda.
“Tapi, Ri, tunggu deh. Kok ibunya ikut campur sih urusan anaknya? Sampai nelfon ibu kos segala lagi. Sebenarnya dia sakit apa sih, Ri? Aku setiap tanya ke dia pasti nggak dijawab eh malah sekarang dia bilang aku yang bikin dia sakit hmm...”
“Mana gue tahu.”
“Lhah kamu kan temannya sejak sd, gimana sih?”
“Iya sih, yak, gue kan kenal sejak gue pindah di sdnya waktu kelas lima, tapi kan tadi dah gue bilang kalau dia tu nggak pernah punya teman sejak gue kenal sama dia. Padahal, gue yang anak pindahan aja langsung akrab sama teman-teman yang lain. Gue juga pernah tanya, tapi dia nggak pernah jawab.”
Mentari menggeser tubuhnya mengarah ke Fira seolah menemukan sebuah fakta baru. “Lhah Lo kan malah teman seprodi dan udah tinggal sekamar setengah tahun lebih, harusnya Lo malah lebih paham dong.”
“Sekamar sih, tapi kan waktuku lebih banyak kuhabisin di kampus dan kerja. Di kos pun buat nugas sama tidur doang kalau nggak main sama kamu.”
Mereka berdua bergelut dengan pikiran masing-masing hingga tercipta hening barang sejenak.
“Eh bener juga kata Lo, kenapa ibunya malah nyalahin Lo, ya? Harusnya kan dia tahu kebiasaan anaknya kayak apa. Nggak mungkin dong di kos dia sejorok itu, terus kalau di rumah jadi bersih dan rapi. Harusnya ibunya maklum dong kalau Lo nggak kuat lama-lama hidup sekamar berdua sama anaknya. Gue juga nggak bakal kuat deh kalau jadi Lo.” Mentari tidak bermaksud menghasut atau memperkeruh keadaan. Dia hanya mengungkapkan isi kepalanya saja. Ngomong apa adanya dan blak-blakan memang sudak menjadi ciri khasnya.
“Hahhh, yaudahlah, Ri. Aku capek. Aku tidur sini ya.” Fira menata dirinya untuk tidur di kasur Mentari. Lalu, dia memejamkan matanya sambil berharap agar masalah ini tidak berlarut-larut menyiksa bantinnya.
***