Akhir-akhir ini bapak selalu batuk-batuk, tidak seperti biasanya. Kadang bapak memegang dadanya yang terasa sakit ketika batuk. Ibu sudah memberi saran pada Bapak untuk berobat ke puskesmas dekat pasar. Tapi bapak enggan menuruti saran ibu.
"Berobat itu butuh biaya walau cuma ke puskesmas, dokter pasti nyuruh ronsen paru-paru, nyuruh ini itu, pasti ada aja penyakit yang diberikan dokter-dokter itu biar pasiennya keluar duit, mereka kan cari uang juga dari pasien, apalagi di puskesmas, orang seperti kita pasti gak dilayani, malah dibentak-bentak," begitu alasan bapak pada ibu.
"Lagian batuk begini kan sudah biasa Bu, entar juga sembuh, cuacanya lagi gak bagus, kan hujan terus," lanjut bapak lagi.
Ibu hanya memandang bapak, dan pergi meninggalkan bapak melanjutkan pekerjaannya di dapur.
Biasanya bapak hanya batuk sesekali, kemudian sembuh sendiri, batuk lagi, sembuh lagi. Bapak juga tak menghiraukan batuknya, dia terus merokok dikala batuknya datang. Bapak tak menghiraukan kesehatannya. Ibu sampai jenuh memperingati kebiasaan buruk bapak itu.
Unggah belum paham kenapa ibu harus melarang bapak merokok kalau itu membuatnya bahagia. Tapi bagi Unggah, asap rokok yang keluar dari mulut bapak menjadi hal yang menarik. Bapak menghembuskan asap rokoknya seperti mengeluarkan asap dari lokomotif kereta. Kadang bapak suka membentuk asap rokok itu menjadi sebuah lingkaran seperti huruf "O" dari mulutnya. Permainan asap rokok bapak menjadi hiburan tersendiri bagi Unggah. Dia akan tertawa-tawa melihat pertunjukan asap rokok bapaknya. Unggah berusaha menangkapi asap-asap rokok itu.
Unggah pernah tanya ke bapaknya, "Kenapa bapak merokok, apa enaknya?".
Bapak cuma menjawab, "Rokok itu teman setia yang mengasyikkan, bisa menghilangkan stress, dan buat hidup lebih tenang."
Unggah cuma mengangguk dan mulai berpikir, "Rokok itu berarti obat ya. Suatu saat aku akan mengikuti bapak, merokok kalau lagi banyak pikiran".
Unggah tersenyum dengan pikirannya itu, dia merasa mendapat pelajaran berharga dari bapaknya.
Bapak selalu merokok dan ngopi di depan rumah sambil duduk di balai-balai, memandang kosong ke arah jalan sempit di depan rumahnya sambil nontoni orang-orang yang lalu lalang. Bapak melakukan ritualnya itu setiap pagi sebelum pergi mulung.
Batuk bapak makin menjadi, bukan sesekali lagi tapi hampir tak berhenti. Bapak terus memegang dadanya setiap kali batuk, dadanya jadi sakit. Tubuh bapak jadi kelihatan lemas. Unggah memandang tubuh bapaknya yang makin mengurus. Setiap batuk, ludah Bapak berkumpul di mulutnya dan membuangnya berkali-kali ke sembarang tempat. Ludah bapak bercampur merah. Bapak hanya berpikir warna merah itu berasal dari kerongkongannya yang luka gara-gara keseringan batuk.
Saat mengenakan sepatu di balai-balai tempat bapaknya duduk, Unggah melihat bapaknya membuang ludahnya yang memerah itu. Unggah heran, kok ludah bapak warnanya merah, bukan bening seperti ludahnya.
Saat membuang ludah itu, bapak melihat Unggah dan tersenyum seperti tahu apa yang ada dalam pikiran Unggah.