Di Penghujung Senja

JOSÉPH AL-IQBAL
Chapter #1

Bab 01 — Malam takbiran

Lebaran tahun ini terasa lebih ramai dari tahun lalu. Ah, atau mungkin karena semua orang-orang desaku pada pulang kampung? 

Sepertinya begitu. Kulihat mobil-mobil mewah meneduh di Selasar. Mobil-mobil pelat (nomor polisi) bukan dari wilayah ini. Semuanya kulihat dari pulau Jawa. Ada pelat Jakarta, Banten, Jawa barat, Jawa timur, bahkan ada yang dari Bali. Bukan main, benar-benar sukses orang-orang kampungku merantau. 

Tengoklah Zainal. Pulang-pulang bawa anak-isteri, mobil Pajero seharga ratusan juta warna silver markir di garasi dadakan. Tentulah. Pasalnya garasi buat menyimpan mobilnya dari teduh matahari itu, sebelumnya panglong milik Emak-Bapaknya. Isinya kayu bakar (kopi) yang diambil dari hutan, disimpan bertahun-tahun sampai lapuk. Kopi kering, lada dan segala macam hasil bumi di simpan di balai bambu itu. Sekarang, mentang-mentang anaknya sudah sukses, bawa anak-isteri dan mobil, rela-lah Wak jadikan balainya dibongkar. Ck, ck, ck. Benar-benar tak waras. 

Lalu kutengok lagi ke rumah tetangga sebelah, bah! Gila, bukan main. Dua anaknya bawa mobil, mahal pula. Satu motor gede merek ninja warna hijau, helm mahal menggantung di spion. Markir di samping dua mobil gagah. Benar-benar lah mereka. Sukses semua merantau. Tahun ini saja pulang sudah pamer bawa mobil mahal. Tak tahu kreditan atau hasil rentalan, pokoknya warga kampungku takjub melihat progres mereka. Bah, aku iri pula dibuatnya. Akh, cuma tak apalah. Toh kupikir, mobil-mobil itu hanya formalitas sebagai bahan pamer. Biar tetangga kanan kiri bilang, “Sukses anak Wak Jamaludin merantau. Tiga-tiganya bawa mobil mewah semua.” 

Yah, begitulah di kampungku. Desa besar yang masih terjaga kualitas udaranya. Penduduk di sini suka sekali riya' (kurasa keempat saudaraku demikian. Maaf, aku kadang kurang bercermin ketika mencibir para tetanggaku. Soalnya di halaman rumah, ada empat mobil. Semuanya milik keempat Mas-masku yang juga baru pulang dari perantauan). Saudaraku orang-orang sukses, pulang pun bawa kendaraan masing-masing. Itulah yang membuat lebaran tahun ini berasa lebih ramai dari tahun lalu. Lihatlah temanku, si Berry. Dia juga pulang kampung setelah tiga tahun hilang di Jawa. Banyak kali perubahan pemuda itu. Kulitnya sudah lebih putih dari Berry semasa kecil. Dulu dia dekil (sama sepertiku), sekarang? Beuh, aku saja minder melihatnya. Sedikit dia lebih tampan dariku. Ingat, sedikit saja. Kalau banyak-banyak, yang ada saingan nanti kami berdua.

Di kampungku ini, kami hidup damai. Setahun sekali kami bersalam-salaman. Maklum saja, lebaran, Bor! Penduduk di sini bekerja sebagai nelayan, petani dan pengrajin kerang-kerangan atau ada juga yang buat oleh-oleh khas penduduk pinggiran pantai Pesawaran—semacam olahan keripik pisang berbagai rasa, misalnya. Itu ..., produk yang katanya sudah dipasarkan hingga luar Lampung. Pasalnya, desa di tepi laut ini menyediakan hasil alam yang melimpah. 

Sementara itu pekerjaan para penduduk di kampungku, lain halnya dengan pekerjaan Bapak. Pria satu ini bekerja sebagai pemandu wisata (dia bilang begitu biar disebut keren, nggak malu-maluin), padahal sebenarnya Bapak bekerja sebagai penarik sampan (itu menurutku, tapi teman-teman kampung suka bilang itu sepit, motor tempel), di atasnya ada atap. Takkan kepanasan pengunjung yang numpang motor tempel Bapak kalah mau menyebrang ke pulau wisata di seberang sana. Pulau Tangkil—Pantai Mutun. Kalau wisatawan PP, bayarnya cuma 25 ribu rupiah, bisa sepuasnya berlama-lama di pulau Tangkil—di seberang bibir pantai. 

Ah, ngomong-ngomong siang ini sangat terik. Panas kali. Aku kadang merutuk, kesal. Sebab sudah lama pula tak turun hujan. Makin hitam kulitku disengat matahari. Aku keluar rumah lantaran tak mau mengganggu Ibu yang sedang masak daging. Besok sudah sholat Ied. Terus keempat saudaraku sedang jalan-jalan di pusat Ibukota Provinsi. Katanya sudah lama tak memanjakan mata di salah satu mall besar, kota Tapis Berseri. Tidak jauh dari kampungku, karena kami tinggal di perbatasan Kota Bandar Lampung—Kabupaten Pesawaran. Posisinya berada di pinggir pantai. 

Aku sekolah di Ibukota provinsi. Salah satu sekolah negeri. Berangkat sekolah pagi-pagi jam enam, pulang sekitar jam lima. Tak terlalu jauh lah. Naik motor matic, setengah jam sampai. Kadang ada jadwal macet di waktu-waktu tertentu. Itu beberapa bulan lalu aku sekolah. Sekarang? Aku sudah lulus. Tidak perlu lagi kesal kalau harus bangun pagi. Apalagi harus menerjang dingin, kadang malas bangun, hanya sekedar pergi menimba ilmu. 

Aku duduk di balai bambu. Di sana Berry dan kawan sepermainan lainnya duduk santai. Main gawai pintar. Suara game gaduh, kadang mulut mereka meracau, melimpahkan kekesalan, sebab kalah telak bermain. Lantas aku mengambil posisi, duduk di antara mereka. Sengaja tak bawa ponsel pintarku siang ini. Kata Bapak, ponsel itu merusak. Ada baiknya kalau ber-silahturahmi dengan kawan, hindarilah menggunakan ponsel. 

“Apa kabar kau, Berry?” Aku bertanya, mengulurkan tangan dan langsung dibalas pemuda itu dengan jabatan tangan khas pria. 

“Baiklah, kawan. Kau?” 

“Baik pula.” Aku menjawab. Kuperhatikan dulu wajah Berry yang sudah banyak berubah. Gila, kuakui dia memang sedikit lebih menawan. Tetapi tetap saja, jawaranya aku. Ya, semua orang kampung mengakui kualitasku. Bukan apa-apa, Berry hanya bersih saja mengenai kulit. Soal ketampanan, bisa dibilang aku ada di atas Berry beberapa tingkat. “Bagaimana sekolah kau, Berry?”

Lihat selengkapnya