Malam ini benar-benar sangat terasa aura kebahagiaannya. Bagaimana tidak, kampung yang dulu sepi setahun belakangan, sekarang malah makin ramai. Rumah terang benderang. Lampu jalan menyala sepanjang gang di pinggir pantai. Di sini tak ada hotel, karena bukan kawasan wisata. Lalu rumah-rumah yang dulu biasa saja, malam ini bukan main, dicat makin elok, berkilau. Kalau bisa dibangun ulang dengan emas, sudah dipastikan itu istana termegah yang pernah ada. Bisa jadi, penduduk di pulau seberang (Banten), bisa melihat kemilaunya dari jarak beratus-ratus meter.
Rumahku demikian. Mentang-mentang besok lebaran, biaya perbaikan rumah tak segan digelontorkan. Sepekan yang lalu aku bantu Bapak mengecat dinding, sebelum Mas-masku tiba dari perantauan. Dermaga kayu yang diperuntukkan untuk anak-anak nyebur ke laut, dipasang pula dengan lampu-lampu pantai. Malam ini pantulan cahaya desa kami mungkin mampu dilihat oleh ikan-ikan kecil di dasar terumbu karang.
Aku tidak ikut takbiran atau memukul beduk bertalu-talu. Sudah bosan tiap tahun meramaikannya. Giliran Berry, kubiarkan dia melepaskan kerinduan pada mikrofon dan beduk dari kulit sapi. Lihat saja, sumringah benar dia melepaskan kebahagiaan.
“Kawan, tak menyangka, lebaran di kampung sendiri sangat mengasyikan.”
Aku duduk di pagar sebatas pinggang mesjid, tertawa simpul. Aku setuju saja pada ucapan Berry. Dia benar, lebaran di kampung memang amat menyenangkan.
“Berry, aku balik dulu. Aku mau buang air. Nanti aku kembali.”
“Siap. Jangan lupa bawa kain. Kita main sebat-sebatan, macam masa kecil dulu.”
Ah, ya. Aku tidak janji. Tapi asyik juga kalau mengulangi lagi permainan masa kecil. Sarung untuk sembahyang diikat, ujungnya bulat, dan kami akan perang sarung sebelum sholat tarawih. Benar-benar masa kecil yang tidak bisa dilupakan.
Saat ini usiaku 17 tahun. Aku menjadi murid lulusan SMA paling muda di angkatanku. Rata-rata kawanku lulus usia 18 tahun, sementara aku lebih muda setahun dari mereka. Dulu saat kecil, aku tidak masuk TK. Hanya ikut-ikutan kawanku si Berry masuk SD. Ajaib, ternyata sekolahku dianggap serius. Guru menaikkanku kelas, bahkan tak menyangkanya, bisa meraih peringkat pertama. Kejutan sekali, bukan?
Sementara itu tentangku, sekarang mengenai Abah. Sosok tegas itu aslinya orang Jawa, lahir dan besar di Jogja, merantau ke Lampung awal tahun 80-an. Ibu asli tanah ini. Jadi dikatakan aku campuran. Tapi aku dan saudaraku lebih identik seperti keturunan Melayu-China. Bahkan gaya bicara kami tidak menunjukkan sisi Jawa halus semacam Bapak. Aneh, bukan?
Di kampungku, Mereka menyebutku Korea. Itu karena aku bermata sipit, kulit kuning langsat nyaris kecoklatan (tanning). Tapi sipitnya mataku tidak sesipit yang kau kira, kawan. Kelopak mataku kecil seperti mata orang Indonesia kebanyakan. Hanya karena berbeda saja, maka disebut orang-orang itu. Kadang para gadis kampung bilang, Korea kesasar. Ada juga yang menyebut Japung (Jawa—Lampung). Ah, sesuka mereka saja. Omong-omong, bukan sok berbangga diri, katanya aku ini orang paling tampan di sini. Hanya berbekal wajah mirip orang Asia timur, banyak gelar yang kusandang. Terus para saudaraku, mereka juga sama sepertiku. Saat muda juga tampan-tampan. Bedanya, mata mereka lebih condong besar kelopaknya, beda dengan adik bungsu mereka. Agak sipit.
Keempat Mas-masku, mereka lulusan sekolah tinggi. Mas tertua sekarang tinggal di Papua, bekerja sebagai karyawan tambang emas terbesar di dunia. Bukan sebagai penambangnya, melainkan di kantornya kalau tidak salah. Yang kedua bekerja di Kalimantan Selatan, sebagai salah satu staf gubernur, yang ketiga bekerja jadi pegawai swasta di Surabaya dan Masku yang keempat, sukses lulus di akademi militer enam tahun silam. Bukan main, di rumah ini mereka semua sudah menyandang masa depan cerah. Sementara hanya aku sendiri yang belum jadi apa-apa. Masih jauh angan buat sukses.
Kudengar sayup-sayup Bapak menyebut namaku. Dia sedang menelpon seseorang. Bapak berdiri di teras rumah, aku lewat pintu samping menuju ke kamar mandi di dekat dapur, karena pintu samping terbuka. Kudengar pula Bapak menyebut kota Jogja. Ada apa lagi dengan kota itu?
Beberapa menit aku buang hajat, selesai juga acara itu. Aku keluar lewat pintu depan. Ibu telah mengunci pintu samping. Sejak sore memang sibuk para wanita di rumah ini masak daging buat lebaran besok. Hendak keluar balik ke mesjid, Bapak memanggilku.