Selepas sholat Ied tadi, aku salaman dengan para tetua kampung. Sekedar meminta maaf atas kesalahan baik itu disengaja maupun tidak setahun silam. Yah, sedalam-dalamnya laut bisa diukur, sedalam-dalamnya hati, siapa yang tahu? Bisa saja, kan, kalau aku pernah menyakiti hati orang lain, tanpa aku sadari?
Lebarankali ini di rumah makin ramai. Bocah-bocah kecil, anaknya Mas-masku sibuk mengajakku bermain. Padahal sejak mereka datang sudah kutemani bermain. Memangnya kurang puas kah bermain denganku?
Kuajak ke pinggir pantai ke-empat bocah-bocah kecil. Wah, sumringah wajah mereka. Senang kali bersentuhan dengan air. Namun pagi ini kami tidak ke mana-mana. Di rumah bakal banyak tamu. Saudara Ibu datang berkunjung. Omong-omong kawan, kalau kalian mau liburan ke kotaku, kalian bisa bertanya tentang destinasi wisata lokal. Dijamin, aku tahu segala hal. Kecuali pantai Mutun dan pantai sekitar Pesawaran. Aku bosan menyebutnya. Selain lokasi yang dekat, juga sudah ratusan kali aku main-main ke sana. Bolak-balik, sampaibtidak terhitung berapa kali sudah memasuki kawasan sana. Tapi kali ini aku akan merekomendasikan Wisata gigi hiu di Tanggamus atau liburan ke teluk Kiluan, sebagai gantinya. Di sana banyak lumba-lumba berenang. Takjub sudah kalian kalau melihat destinasi ini. Beberapa bule asing kerap berdecak kagum melihat puluhan lumba-lumba meloncat di atas air. Riak air ketika ada di teluk Kiluan, benar-benar memanjakan mata. Dulu pernah aku menjadi tour guide dadakan sehari, buat bule asal Australia yang asal masuk ke kota kami.
“Beuh, ganteng benar, Abang Sultan. Macam Oppa-oppa Korea.” Ranti, dia tetanggaku, menggoda dari kediamannya. Gadis itu tertawa lucu dari teras rumah yang berjarak lima meter dari rumahku. Dia memperhatikan, menilai. Aku masih menggunakan peci, baju koko putih, celana bahan hitam. Ck, ck, ck. Genit kali matanya.
“Ah, gantengan mereka daripada aku, Ranti.” Aku menyahut. Sudah biasa kalau dia bicara begitu padaku.
“Abang Sultan ini, merendah untuk ditabok!”
Aku terkekeh, “Pakai uang tak apalah.”
Gadis itu bersungut. Aku memang begini, suka sekali menggodanya. Kan, wajahnya jadi merah, bagai tomat busuk. Hah, padahal baru saja kugoda dengan ucapan. Bagaimana jika kupegang tangannya. Bah, bisa terbang dia. Cuma, sadar, Sultan bodoh! Ibu tahu, bisa dikutuk kau kalau melecehkan perempuan. Ibu bilang, pria itu harus menghormati wanita. Kalau sampai aku ketahuan menggangu wanita, habislah aku.
Aku tengah menggendong Naren—keponakan—anak kedua Mas tertuaku. Usianya nyaris setahun. Kulit putih nan harum itu kugendong dan kucium serta kutimang-timang di teras rumah. Gemas sekali aku melihatnya. Mana tampan wajahnya, mirip aku ketika kecil (walau kurasa dia lebih tampan dariku).
“Ibu mana, Bang?” Ranti bertanya. Baru beberapa saat lalu kulihat dia di teras rumahnya, sekarang dia malah di hadapanku, membawa gulai pula. Halah, modus.
“Di dalam, masih nyiapin ketupat sama opor.” Aku menjawab pendek. Maklum saja, manusia semacamku ini terkenal cuek dengan yang namanya wanita di kampungku. Semua anak gadis, anak Pok Jamilah, anak-anak remaja tanggung tahu ini.
“Aku masuk ya, Bank?”
“Bah. Kenapa kamu minta izin dulu? Biasanya juga asal masuk; nyelonong, sembrono.”
Gadis itu malah terkekeh, “Habisnya orang ganteng berdiri di depan pintu, malu lah diri ini hendak lewat.”
“Ck, ck, ck, pandai kali kamu ini menggoda.”
Lantas gadis itu lagi-lagi tersenyum malu. Kemudian masuk bersama gulainya. Aku tetap di tempat, menimang si kecil dalam gendongan, kala kuceritakan tentang kampungku padanya. Tentang pantai di mana aku sering bermain di sana bersama sekawan. Di dermaga kayu, di ujung kayunya sudah bolong, lapuk, terus melompatlah beberapa anak tengah berenang di laut. Di sana kuceritakan tentang kehidupanku. Tentang seorang pemuda bernama Sultan Ramadhan—15 hari lalu telah melewati ulang tahun yang ke-17. Semuanya kuceritakan. Tetapi respon si kecil malah menatapku binar takjub. Detik selanjutnya tertawa bahak khas balita, melihatku dengan pandangan anak kecil yang sulit diartikan.
“Bagaimana? Bagus tak cerita Paklik?” Aku bertanya pada Naren. Rupa-rupanya dia tertawa karena aku sungguh-sungguh bercerita. Dikiranya mendongeng. Ck, anak nakal. Tanpa kusadari kalau perbincanganku dan si kecil serta beberapa keponakanku yang lainnya diperhatikan oleh Mas Devon—saudara keduaku.
“Sudah cocok, Tan, jadi Papa muda.” Mas Devon nyengir, duduk di sofa teras rumah.