Di Penghujung Senja

JOSÉPH AL-IQBAL
Chapter #4

Bab 04 — Modus Berry

Masih hari kedua lebaran. Suasana kampungku pagi ini masih ramai, seperti seminggu sebelum lebaran. Karena yang mudik belum kembali ke kota perantauan mereka. 

Rumah-rumah didatangi sanak saudara, para tetangga dekat maupun jauh, menyambangi rumah, sekedar menjalin, mengukuh tali silahturahmi. Aku tidak ke mana-mana selama lebaran. Tidak ada yang mengajakku bermain ke sana ke mari, atau jalan-jalan ke kota Bandar Lampung, melihat-lihat saja, sekedar melepaskan penat karena bosan di kampung terus berbulan-bulan tanpa kegiatan. Selain karena tidak ada kawan yang mau ke sana, aku juga sudah bosan. Toh selama 6 tahun bolak-balik kampungku, ke kota. 

Mentari hangat, awan disapu bersih, menampilkan langit biru cerah. Dari atas serambi, lepau-lepau, biasa kami menyebutnya balai bambu, riak garis pantai amat tenang. Burung camar mencari mangsa dari atas, beberapa diantaranya sedang bertengger di tiang dermaga kayu. Kulihat ada Pak Romli baru menepikan perahu tempelnya, membawa setampuk ikan dan juga jaring. Dia memang rutin mencari ikan di pinggir pantai, ditemani perahu kayu tuanya. Meski ini masih hari raya.

Di balai bambu ramai benar. Tadi sih, keluarga Bu Jamilah kumpul di sana, sebelum akhirnya berangkat, dijemput empat mobil sedan hitam dan abu-abu. Katanya mau ke rumah saudara mereka yang ada di kota Tanggamus. Sementara balai masih ramai Bapak-bapak, aku duduk di dekat mereka, sambil memainkan ponsel pintar. Sekedar buka jejaring sosial, melihat update postingan terbaru kawan-kawan. Ada yang berpose dengan baju lebaran terbaik, di-post, disertakan dengan keterangan Minal aidzin walfaidzin. Selamat lebaran, bosku. 

Aku terkikik geli melihat ucapan lebaran mereka. Ah, lupakan mencibir kawan-kawan alumnus SMA. Aku tidak seperti mereka. Iya, aku punya akun jejaring sosial, tapi bukan berarti aku akan narsis. Posting wajah disosial media. Hei, ada yang iseng, dicuri nanti fotoku tanpa seizin. Besok-besok digunakan untuk hal yang salah. Kan, ngeri. 

“Hendak ke mana pula, kau, Berry?” Wak Jamal bertanya. Kebetulan Berry lewat di depan balai bambu, yang diisi Bapak-bapak buat main kartu remi. Remaja itu membawa sebilah pisau dapur, memakai singlet putih, sendal jepit, celana pendek. Terekspos kulit putihnya, di bawah terpaan sinar matahari pagi. 

“Mau mengambil daun pisang, Wak. Bunda mau pepes ikan.” 

“Hei, Ber. Habiskan dulu daging di rumah kau, bilang sama Ningrum. Masak ikan kecil, kesedak tulang ikan, sakit nanti tenggorokan.” Wak Jamal terkekeh. Pemuda itu tetap melanjutkan jalannya. 

Aku melompat dari balai, mengejar Berry yang naik ke atas tebing, di ujung jalan perkampungan. Di atas sana ada banyak pohon pisang yang tumbuh, tidak ada pemiliknya sama sekali. Mereka tumbuh dengan sendirinya dalam arti lain, liar. Aku mengekori Berry, kami baru saja masuk ke jalan setapak, tanah kering menanjak, di sisi kiri-kanan ada tebing bebatuan. 

“Kenapa kau mengikutiku?” Berry melirikku. 

“Ah, tak apa kawan. Hanya mau menemani kau saja.”

“Bantu aku ambilkan daun pisang.” Berry memerintah, “Kau tahu, Sultan, aku malas terkena getahnya. Legam di kulit.”

Aku mendecak, “Manja. Semenjak jadi anak kota, kau banyakan menyusahkan aku!” 

Berry terkekeh, “Hei, salahkan sendiri, kenapa kau ikut denganku? Aku tak mengajak kau dan juga tak meminta kau datang menemuiku, kan kawan? Sudah sepatutnya aku menyusahkanmu. Kautahulah, aku ini tampan. Aku takut kadar kegantenganku berkurang, kalau aku menyentuh getah macam pohon berjantung tapi tak berhati ini.” 

“Terserah kau saja.” Aku mencibir. Pemuda itu terlalu narsis, memuji diri sendiri. Berry masih terkikik, tertawa sumbang. Aku sudah membantunya mengambil daun pisang. Lantas turun dari tebing, langsung menuju ke rumah Berry, membawa barang yang diambilnya. 

••••

Selepas menunggu Berry mandi, kini kami berdua duduk di balai bambu. Tempat yang tadi pagi ramai, siang ini mulai lengang. Berry main game online, suaranya sangat berisik. 

Ada Dino dan kawanku yang lainnya juga. Banyak pemuda lapuk di kampungku, yang bersantai di balai bambu. Alasannya, hanya tempat di tengah kampung ini yang membuat kami bisa berkumpul. 

Suara berisik anak-anak lain juga yang asyik main game online, membuat suasana balai bambu makin gaduh. Aku menggeleng kepala melihat tingkah mereka. Sementara yang lain sibuk masing-masing, aku sendiri juga sibuk main gawai pintar, pembelian Mas Habibie seminggu lalu. Sekedar mengobrol dengan anak Pakde yang ada di Jogja via pesan singkat. 

Lihat selengkapnya