Langit Jakarta berwarna abu-abu pekat, memeluk kedatangan seorang pria. Hujan deras mengguyur bandara internasional Seokarno-Hatta, menyambut kedatangan pesawat yang telah menempuh jarak ribuan kilometer dan memakan waktu puluhan jam. Tetesan-tetesan air menyelinap membasahi tanah, mengundang kabut tipis yang merayap di sekitar kota.
Pria itu adalah Biru Alastair Evander. Hawa dingin langsung menyentuh kulitnya saat ia turun dari pesawat. Irama derasnya air hujan menambah dramatis suasana kembalinya ke tanah kelahiran setelah sembilan tahun lamanya. Dalam sekejap, aroma tanah basah yang terguyur air hujan menguar di sekelilingnya, membangkitkan kenangan manis masa kecilnya yang terpendam di tengah gemerlapnya kota yang tak pernah tidur.
Dengan kaos polos putih dilapisi jaket berwarna hitam serta celana kain yang senada dengan warna jaketnya, Biru menarik koper hitamnya dan berjalan menembus keramaian bandara. Tanpa sadar Biru menarik kedua sudut bibirnya. Pikirannya dipenuhi dengan kebahagiaan dari orang-orang terkasihnya yang pasti senang dengan kedatangannya yang kali ini bukan untuk berlibur semata, melainkan untuk menetap di Jakarta.
Biru keluar dari terminal kedatangan dan langsung memanggil taksi. Di dalam taksi, Biru memberikan alamat sebuah restoran kepada sopir. Sepanjang perjalanan, Biru memandangi kota Jakarta yang berubah banyak selama ia pergi. Gedung-gedung baru menjulang tinggi, jalanan lebih padat, namun ada sesuatu yang tetap sama, perasaan mendalam yang selalu ia simpan untuk seseorang yang selama ini menjadi tahta tertinggi di hatinya. Seseorang yang mendukungnya penuh saat memutuskan kuliah di luar negeri. Seseorang yang selalu menjadi prioritas utamanya selain Papanya. Seseorang yang lebih dari sepuluh tahun menemani hari-harinya. Senyuman Biru semakin mengembang saat membayangkan gadis pujaan hatinya.
Apa tinggi badan gadis yang menjadi pemilik hatinya itu bertambah? Apa berat badannya yang bertambah karena gadisnya adalah penyuka makanan manis atau berkurang karena gadisnya selalu mengeluh tentang berat badannya? Selama gadis itu adalah Jingga Selmara Maharani, Biru selalu menyukainya. Apapun itu.
Hujan masih mengguyur deras saat Biru sampai di sebuah restoran yang menyajikan masakan nusantara bernama Rindu dan Rempah yang menjadi tujuan untuk bertemu sang pujaan hati. Biru memang mengabarkan kepulangannya hanya pada Jingga saja. Papanya tidak ia beri tahu agar menjadi sebuah kejutan untuk pria paruh baya kesayangannya. Setelah meminta sopir taksi untuk menunggunya, Biru turun dari taksi dan masuk ke dalam restoran dengan mengenakan payung yang dipinjami oleh sopir.
Suasana hangat memeluk Biru saat masuk ke dalam restoran. Setelah meletakkan payung pada tempat khusus dekat pintu masuk, Biru mengedarkan tatapannya ke segala penjuru restoran yang sore ini tidak terlalu ramai pengunjung. Kedua matanya berbinar saat menangkap sosok perempuan yang dicarinya.
“Hai, Sayang!” Biru menyapa pujaan hatinya dengan senyuman lebar saat berada di dekat meja dengan nomor delapan belas.
Mendengar suara yang familiar, Jingga mengalihkan pandangannya dari ponsel pada sosok Biru yang tengah tersenyum lebar kearahnya. Jingga berdiri dari duduknya dan satu detik setelahnya ia sudah berada dalam dekapan hangat seorang Biru.
“Kangen banget sama kamu,” bisik Biru membuat Jingga tertawa pelan seraya membalas pelukan Biru tak kalah erat. Rasa rindu yang menumpuk di hati kini melebur menjadi satu.
“Aku juga. Welcome home, Biru,” kata Jingga.
Biru mencium lama puncak kepala Jingga. Menyalurkan perasaan rindu yang lebih dari tiga tahun tidak berjumpa karena kesibukan masing-masing dan hanya bisa berjumpa lewat suara atau panggilan video. Itupun tidak setiap hari karena padatnya jadwal satu sama lain dan perbedaan waktu yang sangat signifikan.
“Bagaimana New York?” tanya Jingga setelah pelukan mereka terlepas dan duduk di kursi masing-masing.
Alih-alih bertanya kabar, Jingga malah bertanya keadaan New York. Biru tertawa seraya menatap Jingga dengan tatapan memuja. “Masih sama. Ramai dan sibuk,” jawabnya.
Setelahnya, pelayan restoran menghampiri meja keduanya dengan membawa buku menu.
“Kamu mau sop buntut asam pedas?” tanya Biru pada Jingga.
“Aku memang mau pesan itu,” jawab Jingga.
“Sop buntut asam pedas satu, nasi goreng Jawa satu, nasi putih satu, minumnya air mineral sama es cendol satu,” ujar Biru pada pelayan yang mencatat pesanannya.
“Kamu ingat makanan sama minuman yang selalu aku pesan di sini?” tanya Jingga menatap Biru.
Biru tertawa kecil. Tawa yang amat mempesona.
“Apa yang nggak aku ingat tentang kamu, Gie? Kamu orang yang aku sayang. Wajar kalau aku ingat hal-hal kecil tentang kamu,” jawab Biru.