Di Persimpangan Luka

penamaliafara
Chapter #2

DPL-2

Malam perlahan menjalar di atas kota, menyelimuti bangunan-bangunan tinggi dengan selimut gelapnya. Lampu-lampu jalan mulai menyala, menyoroti trotoar yang mulai lengang. Di salah satu lantai gedung pencakar langit, seorang wanita masih duduk di depan layar komputernya, memandangi deretan angka dan grafik yang menari di hadapannya. Kantor itu perlahan mulai sepi, hanya tersisa beberapa orang yang masih sibuk dengan pekerjaan mereka, termasuk dia. Hari itu adalah hari yang panjang, penuh dengan rapat, analisis, dan laporan yang menumpuk.

Meja kerjanya dipenuhi oleh berkas-berkas dan catatan-catatan kecil yang tersebar di sekitar komputernya. Kopi yang sudah dingin di dalam cangkir keramik putih berdiri tak tersentuh di sebelah kiri komputernya. Dia mengetik cepat, menyelesaikan laporan terakhir yang harus dikirim malam ini. Keheningan di ruangan itu hanya dipecahkan oleh suara ketukan keyboard dan hembusan AC yang berhembus lembut.

Namanya Larasati Wening Ayu. Dia bekerja di DataVista Corp, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang analisis data. Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, dia berusaha menyelesaikan semua tugasnya sebelum pulang ke rumah. Sebisa mungkin, Laras menyelesaikan semua pekerjaannya di kantor. Agar di rumah nanti, dirinya bisa sepenuhnya beristirahat.

"Selesai juga neraka angka-angka hari ini." Seorang wanita yang duduk di seberang meja Laras tampak memundurkan kursi kerjanya sambil meregangkan tubuhnya.

"Neraka yang kasih sesuap nasi maksudnya," sahut seorang pria yang duduk di samping wanita tadi dengan pandangan yang masih terfokus pada layar monitornya.

"Iyalah, Wul. Sungguh terlalu kalau sampai nggak kasih sesuap nasi. Otak gue diperas dari pagi sampai malam di depan komputer yang isinya grafik sama laporan semua."

"Kuat-kuatin, Mil. Demi kasih nafkah tujuh bujang lo yang ada di Negeri Gingseng." Seorang wanita yang duduk di samping Laras ikut menimpali.

"Daripada nafkahin tujuh bujang yang nggak tahu kalau lo hidup, mendingan nafkahin satu bujang yang nggak kalah ganteng sama oppa-oppa Korea ini."

"Halah! Muka lo itu nggak lebih ganteng dari ujung jempol kakinya Taehyung!"

"Kejam sekali ucapanmu, Mili." Si pria menyentuh dadanya dengan dramatis. "Mas Wulyo disamakan dengan cantengan."

"Heh! Taehyung nggak pernah cantengan ya!" protes Mili.

"Ribut mulu dari tadi," sahut wanita yang duduk di samping.

"Gue nggak terima Ayang gue dibilang cantengan sama dia, Na!" balas Mili. "Lo juga pasti nggak terima kalau cowok gepeng lo dibilang cantengan," tambahnya.

"Nggak lah!" sahut Liyana. "Tapi gue lebih nggak terima lo bilang Itachi Uchiha itu cowok gepeng, Mil!"

"Berisik woy!" tegur wanita yang duduk di samping Laras tadi. Dia merasa jika semakin lama dibiarkan perdebatan mereka pasti akan merambat kemana-mana. "Sesekali contoh Laras yang kalem ini."

"Lo yang mulai bawa-bawa tujuh bujang gue ya, Tika!"

"Sudah beres kerjaan lo, Ras?" tanya Kartika mengabaikan omongan Mili.

"Aman, baru selesai gue kirim ke Pak Bayu," jawab Laras.

"Baguslah, kita bisa pulang bareng-bareng," sahut Liyana yang memang satu tempat kost dengan Laras. "Nggak sabar banget pengen rebahan di kasur."

"Kerjaan gue tinggal dikit lagi. Jangan tinggalin gue. Tungguin gue kalau mau pulang," kata Wulyo.

"Kita balik duluan, Wul, capek banget ini seharian mumet mikir deadline sama meeting," ujar Laras seraya menggerakkan kepalanya ke kanan dan kiri bergantian.

"Tungguin bentar!"

"Kenapa sih? Lo takut, Wul?" tanya Mili.

"Iyalah. Gue sendirian kalau kalian pulang," jawab Wulyo tanpa gengsi.

"Nggak sendirian banget, Wul. Masih ada Pak Sigit di ruangannya," kata Liyana.

"Ruangan Pak Bayu beda lantai!"

Lihat selengkapnya