Di bawah langit fajar yang mulai merona, Biru berlari menyusuri jalan setapak yang sepi. Langkahnya seirama dengan detak jantung yang terluka. Jogging menjadi pelarian dari perihnya patah hati, setiap langkah seolah mengikis sedikit demi sedikit beban di dadanya. Napas yang terengah-engah membawa pergi sisa-sisa kenangan yang menggantung berat di benaknya. Keringat yang menetes di pelipis bagai air mata yang tak berani jatuh, mencuci bersih rasa sakit yang tertanam dalam.
Alam yang sunyi menyambutnya dengan kehangatan. Angin pagi membisikkan janji akan harapan baru. Meski hatinya masih remuk, Biru menemukan ketenangan dalam ritme larinya, seakan setiap meter yang dilalui menjauhkan dirinya dari bayang-bayang masa lalu. Di setiap derap langkah, Biru menemukan ketenangan sementara, menyatu dengan alam yang tak peduli pada duka manusia. Meski hatinya belum sepenuhnya pulih, setiap meter yang dilalui memberi harapan baru, bahwa suatu hari nanti, dia akan mampu meninggalkan semua kesedihan di belakang, dan melangkah menuju hari yang lebih cerah.
Sejak tiga hari sejak kejadian Jingga memberinya undangan pernikahan, Biru baru bisa menata hatinya perlahan. Meski rasa sakit akan penghianatan dari mantan kekasihnya belum sepenuhnya hilang—bahkan masih tercetak jelas, Biru enggan berlarut-larut dalam kesedihan.
Dulu impiannya setelah menyelesaikan kuliah di MIT dan menyongsong karirnya hingga melejit naik seperti sekarang, Biru akan melamar Jingga kemudian mereka akan menikah dan mempunyai anak. Itu dulu dan akan menjadi mimpi yang tidak akan pernah terwujud. Realitanya, Biru malah diselingkuhi bertahun-tahun.
"Bu, bubur ayam satu makan di sini," Biru memutuskan untuk sarapan di warung bubur ayam yang ramai pengunjung.
"Baik, Mas. Nggak pakai minum?" tanya ibu penjual bubur yang tampak sedikit kewalahan menangani pembeli.
"Air mineral saja, Bu."
Setelah membayar, Biru duduk di salah satu kursi plastik warna merah. Duduk sambil mengamati lalu lalang kendaraan yang hilir mudik untuk mengejar rezeki yang tersebar di cakrawala kehidupan. Biru sendiri baru akan memulai pekerjaannya di tempat yang baru minggu depan.
Helaan napas kecil lolos dari mulut Biru saat mengingat kembali undangan yang diberikan oleh Jingga. Dulu Biru berharap namanya dan nama Jingga tertulis di kartu undangan yang sama. Memang benar adanya, nama mereka tertulis di kartu undangan yang sama, tapi sayangnya, nama Biru hanya terpampang di halaman depan, tak sampai ke dalam hati undangan itu.
Lamunan Biru buyar saat ibu penjual bubur tadi memberikan pesanannya. Tak lupa Biru mengucapkan terima kasih pada ibu penjual bubur. Biru menyantap bubur ayamnya perlahan tanpa mengaduknya, merasakan setiap suapan yang seakan mengisi kekosongan di hatinya. Meskipun bubur itu lezat, ada perasaan hampa yang tak bisa hilang. Matanya melirik ke seberang jalan, di mana keluarga kecil dengan seorang anak perempuan yang masih balita tampak tertawa bahagia. Tanpa sadar Biru menarik bibirnya ke atas melihat pemandangan itu. Kebahagiaan mereka kontras dengan perasaannya yang kelam.
Sambil memakan buburnya, Biru teringat akan masa lalu. Dulu, Jingga adalah segalanya bagi Biru. Mereka berbagi mimpi, harapan, dan cita-cita. Namun, sekarang, semua itu terasa seperti kenangan yang samar dan jauh. Berhari-hari Biru berusaha keras untuk memahami bagaimana Jingga bisa mengkhianatinya, tetapi jawabannya selalu menguap seperti asap.
Saat Biru tengah asyik dengan bubur ayamnya, tiba-tiba seorang pria bertubuh kekar, berusia setengah baya dengan rambut gondrong yang diikat menjadi satu, duduk di sebelahnya. Pria itu mengenakan kaos bergaris dan celana jeans yang usang, menambahkan kesan santai pada penampilannya.
"Selamat pagi, Mas," sapa pria itu sambil tersenyum ramah. "Boleh saya duduk di sini?"
Biru sedikit terkejut, tapi mengangguk. "Tentu, silakan."
Pria itu duduk dengan tenang, mengeluarkan ponsel dari saku dan meletakkannya di meja. Pria itu tampak menunggu pesanannya yang masih dibuatkan oleh ibu penjual bubur. "Saya baru pulang dari luar kota, tapi istri di rumah memberi ultimatum pada saya untuk membawa pulang bubur ayam langganannya," katanya sambil memandang ke arah warung.
Biru hanya tersenyum, mencoba mengikuti percakapan meski pikirannya masih melayang jauh. "Memang perempuan itu makhluk unik, Pak."
Ucapan Biru membuat si pria tertawa. Menyetujui ucapan Biru.
"Rumah Bapak di daerah sini?" tanya Biru.
"Nggak, Mas. Tapi dulu saat saya sama istri masih pacaran, sering main ke derah sini dan istri saya coba bubur ayamnya Bu Mar," jelas pria itu. "Ternyata istri saya suka dan keterusan sampai sekarang," tambahnya seraya tertawa pelan.
"Bapak nggak pesan sekalian? Siapa tahu Bapak mau menikmati bubur sambil menunggu pesanan."
Pria itu menggeleng. "Saya nggak suka bubur, Mas. Di rumah saya yang suka bubur cuma istri saya doang. Anak saya juga nggak suka. Makanya kadang istri saya suka cemburu sama saya karena anak kami cuma satu dan semua kesukaan, ketidaksukaannya, dan sifatnya, semua persis kayak saya."