Di Persimpangan Luka

penamaliafara
Chapter #4

DPL-4

Nyatanya melupakan tidak semudah itu. Sesak itu masih membekas di hati Laras saat melihat kebersamaan Heksa dengan kekasih barunya yang Laras ketahui bernama Naswa Kirana. Laras menambah sakit hatinya sendiri dengan melihat Instastory Heksa. Memang cari penyakit! 

Setiap kali Laras menatap layar ponselnya, senyum Heksa yang terukir bersama Naswa menghujam hatinya seperti ribuan duri. Kilatan bahagia di mata mereka seakan menertawakan kepedihan yang Laras coba sembunyikan di balik senyumnya yang dipaksakan. Laras sadar, bayangan Heksa dan Naswa yang begitu mesra adalah racun yang terus ia telan dengan rela.

Laras patah hati bahkan sebelum memulai. Dia jatuh cinta dalam diam, berharap dalam sunyi. Namun, takdir punya cara sendiri untuk mempermainkan perasaan. Laras dipukul telak oleh kenyataan bahwa dia tidak mampu bersaing dengan orang yang dicintai Heksa. Cinta yang tak pernah terucap itu kini menguap, meninggalkan jejak luka yang menganga.

Di meja kantornya yang penuh dengan tumpukan laporan dan angka-angka, Laras mencoba memfokuskan diri pada pekerjaannya sebagai data analis. Namun, pikirannya terus melayang kembali pada Heksa dan Naswa. Layar komputernya dipenuhi deretan data yang harus diolah dan di presentasikan setelah jam makan siang nanti. 

Laras menghela napas panjang, berusaha menenangkan hatinya yang bergemuruh. Jemarinya mencoba bergerak di atas keyboard, tapi setiap kali ia mengetik, bayangan Heksa dan Naswa kembali menyergap pikirannya. Angka-angka di layar seolah menari-nari mengejek kesedihannya, membuatnya semakin sulit berkonsentrasi.

Laras menarik napas dalam-dalam dan mencoba mengusir bayangan Heksa dan Naswa dari pikirannya. Dia memaksa dirinya untuk fokus pada data di hadapannya. Deretan angka dan grafik mulai terbentuk di layar komputernya. Dia mengalihkan perhatian pada laporan yang harus dipresentasikannya setelah jam makan siang.

Namun, setiap kali ia mencoba membaca angka-angka itu, senyum Heksa yang terukir di ingatannya kembali mengganggu. Laras merasa dirinya seperti terjebak dalam siklus yang tidak berujung, di mana setiap usaha untuk melupakan hanya membawanya kembali pada kenangan yang menyakitkan.

Laras menggigit bibir bawahnya, berusaha mengendalikan emosinya. Ia memutuskan untuk mengalihkan perhatiannya dengan berfokus pada detail-detail teknis dalam laporannya. Menyusun data, membuat grafik, dan menuliskan analisisnya menjadi pelarian yang sementara dari sakit hatinya. Dia tahu betapa pentingnya presentasi ini bagi perusahaan dan klien. Laras ingin memberikan yang terbaik, meskipun hatinya terasa berat.

Mili yang duduk di tempatnya, menyenggol lengan Liyana yang berada di sebelahnya. "Laras kenapa?" tanyanya tanpa suara saat Liyana menoleh ke arahnya. 

Liyana menjawab dengan gerakan kesepuluh jari membentuk hati kemudian dipatahkan dan pura-pura menyeka air matanya. Mili membulatkan mulutnya seraya mengangguk paham. Dia tidak bertanya lebih jauh lagi. Pasalnya dia juga paham rasanya patah hati. 

Jam makan siang tiba. Laras bisa bernapas lega setelah berhasil menyelesaikan pekerjaannya yang akan dipresentasikan nanti. 

"Kantin, yuk!" Wulyo dengan senyum secerah matahari mengajak mereka berempat. 

"Hayuk, lah!" balas Mili. 

Mereka berlima meninggalkan meja kerja dan pergi menuju kantin kantin yang terletak di lantai satu gedung. Gedung yang terdiri dari sepuluh lantai itu tidak semuanya milik DataVista Corp. Hanya lantai tujuh sampai lantai sembilan saja yang digunakan oleh DataVista Corp. 

"Tambahin lagi gincunya biar makin merah kayak habis makan orang, Li," kata Kartika pada Liyana. 

Liyana mengatupkan kedua bibirnya yang sudah terpoles sempurna dengan lipstik seraya memasukkan cermin dan lipstik ke dalam saku celananya sebelum menatap Kartika sinis. "Diam saja kenapa sih? Siapa tahu anak marketing lantai empat ada yang terpesona sama gue," balasnya. 

"Terpesona nggak, kabur iya," sahut Wulyo. 

"Nanti lo dikira saudaranya Sumanto, Li," ujar Mili membuat Kartika dan Wulyo tertawa ngakak. Sementara Laras hanya tersenyum kecil. 

"Kalau gue jadi kanibal, lo yang gue makan duluan." Liyana membalas garang membuat mereka bertiga langsung kicep. 

Lift berhenti di lantai empat. Pintu lift terbuka dan ada beberapa orang yang masuk. Setelah pintu lift tertutup, mereka tidak ada yang bicara. Hening membawa mereka hingga sampai di lantai satu. 

"Mil, nitip gado-gado sama es teh satu," kata Wulyo pada Mili. 

"Ogah! Gue bukan babu lo!" tolak Mili. 

"Sekalian, Mil, lo 'kan juga mau pesan gado-gado," ujar Wulyo. "Tugas gue mengamankan meja buat kita."

Dengan mulut menggerutu Mili bertolak menuju penjual gado-gado. Sementara Laras, Kartika, dan Putri menuju penjual mie ayam. 

Lihat selengkapnya