Biru memandang undangan di tangannya dengan perasaan campur aduk. Sebuah kartu berwarna emas dan putih, dengan tulisan elegan yang mengundang dirinya ke resepsi pernikahan Jingga dan Alvar. Tanggal, tempat, dan waktu tertera jelas di sana. Tak ada keraguan bahwa hari itu akan datang, tapi rasa sakit yang dia rasakan tak kunjung pudar. Jingga, cinta pertamanya sejak masa putih abu-abu, kini akan menikah dengan pria yang dia pilih yang telah menghianati hubungan mereka selama tiga tahun lamanya. Ingatan akan masa lalu berputar-putar di kepalanya. Kenangan manis mereka berdua, saat mereka masih duduk di bangku SMA, saling menggenggam tangan, berbagi rahasia, dan bermimpi tentang masa depan bersama. Kini, semua itu terasa begitu jauh dan tak nyata.
Hari yang dinanti pun tiba. Biru mengenakan setelan hitam yang rapi, mematut diri di depan cermin. Di sana, ia melihat bayangan seorang pria dengan tatapan yang penuh luka. Namun, ia tahu bahwa ia harus datang. Bukan untuk mereka, tapi untuk dirinya sendiri. Untuk menutup bab lama dan membuka lembaran baru.
Ballroom tempat resepsi itu berlangsung begitu megah, dengan lampu kristal menggantung di langit-langit, memancarkan cahaya yang memantul di dinding-dinding kaca. Cahaya lampu sorot menari-nari di atas wajah-wajah bahagia yang memenuhi ballroom. Musik klasik mengalun lembut, mengiringi tawa dan bisikan para tamu undangan. Namun, dibalik hiruk pikuk pesta pernikahan yang meriah, Biru merasa tenggelam dalam lautan kesedihan yang sunyi. Biru melangkah masuk, menyapa beberapa tamu yang ia kenal dengan senyuman yang dipaksakan. Ia mencoba menahan napas, merasakan detak jantungnya semakin cepat saat ia melihat sosok Jingga dari kejauhan. Jingga tampak begitu cantik dalam gaun putih yang anggun, berkilauan di bawah sinar lampu.
Senyum Jingga merekah saat menyambut tamu-tamu, tetapi saat mata mereka bertemu, senyumnya memudar sejenak, tergantikan oleh tatapan penuh penyesalan. Biru tahu bahwa Jingga merasa bersalah, tetapi itu tidak cukup untuk menghapus rasa sakit yang dia rasakan. Jingga berjalan mendekat, diikuti oleh Alvar yang tampak penuh percaya diri.
"Biru, terima kasih sudah datang," kata Jingga dengan suara yang lembut namun bergetar.
Biru tersenyum tipis, mencoba menahan emosi yang bergelora di dalam dirinya. "Selamat atas pernikahan kalian berdua."
Alvar menatap Biru dengan pandangan yang sulit diartikan, mungkin ada rasa bersalah di sana, atau mungkin hanya kelegaan bahwa semua akhirnya terungkap. Biru merasa detik-detik berlalu begitu lambat, seolah dunia ini sedang mengejeknya dengan setiap detak jarum jam.
Ketika Jingga dan Alvar beranjak untuk menyambut tamu lain, Biru menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya. Ia merasa perlu untuk menyapa kedua orang tua Jingga, yang telah ia kenal sejak lama. Dengan langkah yang sedikit ragu, Biru berjalan menuju meja tempat mereka duduk.
"Om Surya, Tante Windy," sapa Biru dengan suara yang sopan namun lembut.
Surya dan Windy menoleh, lalu tersenyum melihat Biru. Wajah mereka menunjukkan kehangatan dan sedikit keprihatinan. "Biru, senang sekali melihatmu di sini," kata Windy dengan mata yang berkilauan. "Bagaimana kabarmu?"
Biru tersenyum, meskipun hatinya masih terasa berat. "Saya baik-baik saja, Tante. Terima kasih."