Di Persimpangan Luka

penamaliafara
Chapter #6

DPL-6

Laras duduk sendirian di sudut paling tenang L'amour Café, tempat yang baru-baru ini menjadi semacam pelarian baginya. Sejak tiga hari lalu, kafe ini telah menjadi saksi bisu kegelisahan hati yang terus menghantui Laras. Matanya terpaku pada jendela persegi besar di hadapannya, membingkai pemandangan jalanan yang mulai sepi seiring dengan turunnya senja. Cahaya matahari yang meredup pelan-pelan merembes masuk melalui kaca, memantulkan bayangan samar di atas permukaan meja kayu yang dingin. Bayangan itu bergerak seirama dengan tarikan napasnya yang berat, seakan ikut menyelami kedalaman pikirannya.

Di hadapannya, segelas aren latte yang sudah setengah dingin mengeluarkan aroma manis yang bercampur dengan sedikit rasa pahit kopi. Aroma ini mengisi udara di sekitarnya, seperti selimut hangat yang membalut kesendiriannya. Gelas itu menemani sepotong red velvet cake yang kini tinggal separuh, setiap suapan manisnya terasa seperti paradoks—manis, tetapi hampa. Mungkin sama hampa dengan perasaan Laras saat ini, yang meski telah dipenuhi banyak hal, masih terasa kosong.

Tiga hari terakhir ini, Laras telah menghabiskan waktu cutinya dengan berkunjung ke L'amour Café, kafe tersembunyi yang baru saja ia temukan. Terletak di sudut tersembunyi kota, kafe ini seperti permata yang tersembunyi, diapit oleh pepohonan rindang dan tanaman merambat yang tumbuh liar di dinding-dinding batu yang kokoh. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di sini, Laras sudah merasakan sesuatu yang berbeda—sesuatu yang membuatnya ingin kembali, lagi dan lagi.

L'amour Café adalah tempat yang didekorasi dengan gaya rustic yang khas. Setiap sudutnya dipenuhi dengan sentuhan seni dan kehangatan yang sulit dijelaskan. Lampu-lampu gantung berdesain vintage menggantung rendah, memancarkan cahaya kuning hangat yang lembut, menciptakan suasana yang nyaman dan intim. Lantai semen yang di coating halus memberi kesan hangat pada siapa saja yang datang ke sini, termasuk Laras yang langsung merasa terhubung sejak pertama kali masuk. Setiap sudut ruangan dipenuhi dengan sentuhan seni yang membuat kafe ini berbeda. Lukisan-lukisan abstrak dengan warna-warna pastel yang menenangkan mata, pot bunga kecil yang tersusun rapi di setiap meja, dan rak buku kayu yang dipenuhi novel-novel tua yang mengundang siapa saja untuk membuka lembarannya. Di sini, Laras merasa seperti menemukan tempat di mana waktu seakan berhenti, memberikan ruang bagi pikirannya untuk melayang bebas.

Namun, meskipun suasana kafe menawarkan ketenangan, bayangan-bayangan masa lalu terus menghantui benaknya. Setiap kali ia mencoba untuk menikmati secangkir aren latte yang mulai dingin, pikirannya kembali ke Heksa—cinta tak berbalas yang menjadi duri di hatinya. Laras berpikir tentang bagaimana hidupnya selama ini telah berputar di sekitar perasaan yang tak pernah tersampaikan, tentang bagaimana ia berusaha melupakan namun justru semakin terperangkap dalam kesedihan yang mendalam.

Saat Laras hampir menyerah pada pikirannya yang terus berkecamuk, pintu kafe tiba-tiba terbuka, diiringi deringan lonceng kecil di atasnya. Bunyi itu terdengar lembut namun cukup untuk menarik perhatian Laras. Tanpa sadar, ia menoleh ke arah pintu, hanya untuk melihat seorang pria yang baru saja masuk. Langkahnya pelan namun mantap, meskipun ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuatnya tampak sedikit bingung, seolah-olah sedang mencari sesuatu atau seseorang yang hilang.

Pria itu memiliki rambut hitam yang sedikit acak-acakan, memberikan kesan bahwa ia telah melewati hari yang panjang. Jaket kulit yang dikenakannya tampak usang, namun tetap stylish dengan cara yang unik—seperti seseorang yang tidak terlalu peduli dengan penampilan tapi tetap terlihat menarik. Ada sesuatu yang menarik perhatian Laras pada pria ini, mungkin caranya berjalan, atau mungkin aura kesepian yang terpancar dari dirinya, sesuatu yang begitu akrab di hati Laras.

Pria itu, yang ternyata adalah Biru, akhirnya memilih tempat duduk di dekat Laras setelah memesan, meskipun tidak terlalu dekat untuk mengganggu. Dari tempat duduknya, Laras bisa melihat bagaimana Biru menarik napas dalam-dalam, seakan-akan mencoba melepaskan beban yang ia bawa sejak lama. Ketika pelayan datang mengantarkan pesanannya, secangkir kopi hitam, Biru hanya menatap kosong pada cangkir di depannya, seperti seseorang yang sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Laras merasakan dorongan aneh untuk mengajaknya berbicara. Entah karena kesepian yang juga ia rasakan, atau mungkin karena rasa penasaran, ia memberanikan diri untuk menyapa. "Kopinya terlihat enak," ucap Laras, mencoba memulai percakapan dengan nada ringan.

Biru menoleh perlahan, sedikit terkejut mendengar suara seseorang yang menyapanya. "Ah, iya," jawabnya dengan senyum tipis. "Kopi hitam memang selalu menjadi pilihan ketika saya butuh waktu untuk berpikir."

Laras tersenyum simpul. "Saya juga sering begitu. Mungkin itu sebabnya kita berdua ada di sini sekarang."

Biru mengangguk, matanya kini mulai memperhatikan Laras dengan lebih cermat. "Mungkin. Tempat ini memang terasa seperti pelarian yang sempurna, bukan?"

"Iya, seperti dunia lain di tengah kesibukan kota," balas Laras, matanya kembali menyapu interior kafe yang begitu nyaman dan hangat. "Saya baru pertama kali menemukan tempat ini, dan rasanya seperti menemukan sesuatu yang sudah lama hilang."

Lihat selengkapnya