Setelah satu minggu meninggalkan hiruk-pikuk pekerjaan, pikiran dan tubuh Laras terasa jauh lebih ringan. Dia membebaskan dirinya menikmati kebebasan yang telah lama dirindukan. Seperti burung lepas dari sangkar, Laras mengeksplorasi sudut-sudut kota, mulai dari menapaki tangga Monumen Nasional yang megah, merasakan sensasi modern naik MRT, hingga tenggelam dalam kegembiraan di Dunia Fantasi. Di penghujung hari, sebelum kembali ke rumah, ia selalu menyempatkan diri singgah di L'amour Café—sebuah tempat yang kini memiliki arti lebih baginya.
Di kafe itulah Laras mengenang pertemuannya dengan seorang pria asing bernama Biru. Meski mereka baru sekali bertemu, percakapan singkat itu begitu membekas di hatinya. Mereka adalah dua jiwa yang asing satu sama lain, namun dipertemukan oleh kesamaan nasib. Keduanya sama-sama sedang merajut luka yang berbeda, meski sama-sama datang dari patah hati yang dalam. Saling berbagi cerita dengan seorang yang tak terduga membuat Laras merasa seakan beban di pundaknya sedikit terangkat.
Selama cuti, Laras mulai melihat hidupnya dari sudut pandang yang berbeda. Pikiran yang sebelumnya berkabut oleh rasa sakit perlahan mulai jernih. Ia menyadari bahwa Heksa, lelaki yang diam-diam dikaguminya selama bertahun-tahun, telah menemukan kebahagiaan dengan kekasihnya. Laras merenung, untuk apa terus terjebak dalam bayang-bayang seseorang yang bahkan tidak pernah menyadari keberadaannya?
Keputusan itu akhirnya datang dengan mantap. Laras tidak lagi ingin menangisi cinta yang tak pernah terungkap. Ia telah cukup lama menyimpan perasaannya dalam diam, menahan luka yang tak terlihat oleh siapa pun. Kini, dia memutuskan untuk melangkah maju, meninggalkan kenangan yang dulu begitu menyiksa hatinya.
Laras menyadari, hidup terlalu singkat untuk terus terperangkap dalam kisah cinta yang hanya ada dalam imajinasinya. Di bawah langit yang sama, ia memilih untuk melanjutkan hidupnya dengan lebih bebas. Move on bukan lagi sekadar kata-kata, tapi sebuah keputusan yang akan ia jalani sepenuh hati, dengan harapan ada kebahagiaan baru yang menantinya di suatu tempat.
Tepat di hari Senin, Laras kembali ke kantor setelah seminggu penuh membebaskan diri dari rutinitas. Pintu kaca gedung kantornya terbuka otomatis, menyambutnya dengan kesibukan yang sudah akrab. Gemericik langkah sepatu para pekerja yang bergegas, bunyi keyboard yang dipencet dengan cepat, serta desiran AC yang monoton, semua itu membangkitkan ingatan tentang kesehariannya. Namun, ada sesuatu yang berbeda pada diri Laras hari ini. Ia merasa lebih ringan, seolah ada beban yang terlepas dari pundaknya.
Di mejanya, tumpukan berkas dan laporan yang menunggu untuk ditinjau tidak lagi terasa menyesakkan. Laras menyalakan komputer, menghela napas sejenak, dan tersenyum tipis. Ada perasaan baru yang mengalir dalam dirinya, sebuah kepastian bahwa hidupnya tidak hanya berputar di sekitar pekerjaannya atau perasaan yang selama ini ia pendam. Laras mulai bekerja dengan tenang, matanya menyusuri angka-angka di layar dengan fokus yang jernih. Tidak ada lagi bayangan Heksa yang mengganggu pikirannya setiap kali ia berhenti sejenak.
"Wuidih! Yang habis cuti seminggu semangatnya beda." Celetukan Wulyo membuat Laras mengalihkan pandangannya dari komputer.
"Nggak ada buah tangan, Ras?" tanya Kartika.
"Buah tangan apa? Orang gue cuti tetap stay di Jakarta," jawab Laras.
"Lah? Cuma di Jakarta? Kalau cuma di Jakarta buat apa cuti sampai satu minggu?" heran Wulyo.
"Setuju sama Si Wul, minimal ke Bandung atau Puncak lah!" sahut Mili yang mendapat pukulan di kepalanya dengan pulpen. Tidak keras tapi sempat membuat Mili terkejut.
"Si Wal Si Wul. Sebut nama gue tuh yang lengkap, Mili!" protes Wulyo. "Entar nama gue dikira Wulan sama orang yang nggak kenal," tambahnya dengan ekspresi jengkel membuat rekannya tertawa.
"Ganteng-ganteng namanya Wulan," ledek Laras masih dengan sisa tawanya.
"Atau jangan-jangan Wulan memang nama lo kalau malam? Iya 'kan? Ngaku lo, Wul!" ujar Liyana membuat Wulyo memelototkan matanya tidak Terima. Sementara yang lain makin ngakak dibuatnya.
"Kalau siang Wulyo kalau malam Wulan begitu maksud lo?" tanya Kartika seraya mengusap sudut matanya yang berair karena tertawa.
"Gue kebayang Si Wulyo lagi pakai wig panjang." Makin merengut lah muka Si Wulyo mendengar ucapan Laras.
"Ditambah sama lipstik merah menyala," sahut Mili.
"Jahanam mulut kalian!" seru Wulyo semakin membuat mereka tertawa. "Jelas-jelas gue lurus, nggak belok begini malah dibilang jadi banci. Emang ada gila-gilanya otak kalian itu!"
"Cukup, Wul. Jangan ngelawak mulu lo! Ini tempat kerja bukan tempat stand up comedy," kata Kartika yang hampir menangis karena kerecehan teman-temannya.