Di Persimpangan Luka

penamaliafara
Chapter #9

DPL-9

Kehidupan kantor sering kali dipandang dari luar sebagai sesuatu yang menarik. Orang melihat karyawan dengan pakaian rapi, duduk di ruang ber-AC, dan menerima gaji yang cukup besar setiap bulannya. Bagi sebagian orang, ini adalah gambaran kesuksesan. Namun, di balik kemewahan itu, ada banyak cerita yang jarang disorot. Bagi mereka yang menjalani rutinitasnya setiap hari, kenyataan jauh berbeda. Rapat yang tiada henti, target yang tak pernah berkurang, dan tekanan untuk selalu memberikan yang terbaik sering kali menjadi bayang-bayang sehari-hari.

Setiap hari dimulai dengan rutinitas yang monoton. Berangkat pagi-pagi, berdesakan di transportasi umum atau menghadapi kemacetan panjang di jalan. Sesampainya di kantor, ada tuntutan untuk segera produktif, mengelola deadline yang menumpuk, sambil terus mencoba menjaga hubungan baik dengan rekan kerja dan atasan. Beban pekerjaan terasa semakin berat ketika tuntutan untuk inovasi dan performa maksimal datang bertubi-tubi. Seringkali, waktu seakan berjalan cepat tanpa memberi kesempatan untuk bernapas.

Di balik meja kerja, rasa lelah dan jenuh kerap datang menghantui. Jam kerja yang panjang, rapat yang tiada akhir, serta ekspektasi tinggi dari atasan menjadi makanan sehari-hari. Waktu untuk diri sendiri seolah menghilang, karena meskipun hari kerja berakhir, pikiran tentang pekerjaan tak pernah benar-benar pergi. Setiap hari serasa berlomba dengan waktu, sementara energi dan semangat semakin terkuras.

Waktu pulang kerja menjadi waktu emas bagi sebagian orang. Bertatap muka dengan orang-orang rumah setelah seharian menatap layar komputer. Rebahan nyaman di kasur yang empuk. Makan masakan Mama jika masih tinggal dengan orang tua atau masakan istri untuk yang sudah menikah. Untuk kaum yang belum menikah dan tinggal jauh dari orang tua, memilih untuk pesan makanan di luar atau memasak sendiri. Tak terkecuali Laras.

Sepulang kerja jam tujuh malam—karena lembur, Laras memilih untuk membeli makanan di abang penjual nasi goreng yang tidak jauh dari kantornya. Laras hari ini balik ke kos sendirian. Liyana tadi berpamitan saat jam pulang kantor berakhir dengan raut wajahnya bahagia nan sumringah. Usut punya usut ternyata Liyana ada kencan buta dengan seorang pria dari anak marketing lantai empat. Mili, Kartika, dan Wulyo tadi bahkan sempat heboh bukan main saat tahu jika pria yang akan kencan buta dengan Liyana adalah pria yang yang menjadi most wanted gedung mereka.

Di sinilah Laras sekarang, duduk sendirian di kursi plastik berwarna merah yang tengahnya bolong, di sebuah warung tenda nasi goreng yang biasa ramai pada malam hari. Lampu-lampu jalan yang temaram menambah suasana sepi meskipun suara kendaraan di jalanan masih ramai. Angin malam yang lembut menyentuh wajahnya, tapi tak cukup membuatnya merasa lebih baik. Sambil menunggu pesanan nasi gorengnya yang sudah dipesan sepuluh menit lalu, dia merasakan keheningan yang terasa lebih berat daripada biasanya.

Laras menopang wajahnya dengan sebelah tangan, pandangannya kosong menatap jalan raya. Kendaraan yang melintas, dari mobil mewah hingga motor tua, berbaur dalam irama yang tak teratur, disertai dengan suara klakson yang terus-menerus terdengar. Sesekali, angkot berhenti di pinggir jalan, mengeluarkan penumpang yang terburu-buru melangkah, seolah tak ada yang bisa memaksa mereka berhenti lebih lama di sini. Laras merenung, membiarkan pikirannya terbawa oleh riuh rendah kota, tetapi hati dan pikirannya tetap berada di tempat yang sunyi.

Lihat selengkapnya