Di Persimpangan Luka

penamaliafara
Chapter #10

DPL-10

Biru merasakan kelelahan yang mendalam menjalar ke seluruh tubuhnya. Otot-ototnya terasa kaku, seolah memprotes setiap gerakan kecil yang dia lakukan. Lelah fisik dan mental menjadi teman akrab yang selalu menyertainya di setiap akhir hari. Mengelola berbagai inovasi dan ide baru untuk proyek-proyek rumah yang sedang dirancang tidak pernah mudah, tapi ia tahu inilah bagian dari tanggung jawab yang dipikulnya. Sebagai seorang arsitek senior, dia dituntut untuk terus menghasilkan konsep yang segar dan solutif, bahkan ketika rasa lelah itu menyergap tanpa ampun.

Jam kerjanya yang seharusnya selesai di sore hari selalu mundur beberapa jam. Lembur seakan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup Biru. Baginya, menyelesaikan pekerjaan tepat waktu adalah prioritas, bahkan jika itu berarti mengorbankan waktu pribadinya. Tidak jarang, Biru mengorbankan istirahat demi memastikan bahwa setiap detail desain yang ia buat sempurna. Rasa tanggung jawab yang besar selalu menjadi dorongan untuk bertahan, meskipun tubuhnya sudah meminta istirahat lebih lama.

Hampir setiap hari, suasana kantornya berubah sunyi menjelang malam. Rekan-rekannya, satu per satu, telah beranjak pulang untuk beristirahat di rumah masing-masing, namun Biru masih bergelut dengan layar komputer dan setumpuk revisi. Sore tadi, Biru menghabiskan berjam-jam meninjau kembali detail rancangan bangunan yang diminta klien untuk diperbaiki. Meski kelelahan, Biru tidak mau buru-buru menyelesaikan pekerjaannya dengan asal-asalan. Baginya, setiap garis yang ditarik di atas kertas atau layar adalah cerminan dedikasi dan profesionalismenya.

Ketika jarum jam sudah menunjuk pukul setengah tujuh malam, Biru baru bisa berdiri dari kursinya. Badannya sedikit kaku, punggungnya terasa pegal, tetapi ada sedikit rasa lega karena ia berhasil menyelesaikan revisi terakhir hari ini. Rekan kerjanya, yang juga sibuk dengan proyek masing-masing, sudah pulang beberapa menit yang lalu, meninggalkan kantor dalam keadaan sepi. Biru menatap ruang kantornya yang kosong dengan pandangan sayu, sadar bahwa hari ini berakhir lagi dengan lembur, dan besok mungkin akan kembali terulang.

Dengan napas panjang, Biru meraih tasnya dan mematikan layar komputer. Langkahnya terasa berat, tapi di balik semua kelelahan itu, ada kebanggaan tersendiri dalam hatinya. Dia tahu bahwa setiap usaha yang dicurahkan akan berbuah hasil yang setimpal. Meski kadang rasanya begitu melelahkan, Biru mencintai pekerjaannya. Rasa lelahnya tak pernah menghentikan semangatnya untuk terus berinovasi dan menciptakan desain yang tidak hanya indah, tetapi juga fungsional.

Langkah Biru terhenti sejenak di depan lift ketika melihat angka penanda di atas pintu lift bergerak turun dari lantai tiga. Lantai tersebut adalah lantai tertinggi di Urban Design, tempat ruang kantor eksekutif berada. Biru menunggu sambil menghela napas panjang, masih merasakan pegal di pundaknya setelah seharian duduk di depan komputer. Ketika pintu lift terbuka, dia sedikit terkejut melihat siapa yang berada di dalamnya. Seorang pria paruh baya yang tampak tegap dan berwibawa, meskipun usianya sudah lebih dari setengah abad.

Pria itu adalah atasannya, pemilik Urban Design, yang juga merupakan seorang arsitek terkenal. Melihat Biru yang berdiri di sana, dia tersenyum ramah. Biru, meskipun kelelahan, segera memasang senyum sopan dan menyapa atasannya dengan penuh hormat.

"Selamat malam, Pak," ucap Biru sambil sedikit menunduk.

Sang pemilik Urban Design menanggapi sapaan Biru dengan anggukan kecil dan balasan hangat. "Malam, Biru. Masih lembur, ya?" tanyanya dengan nada ringan.

Biru mengangguk sambil tersenyum kecut, menyadari bahwa dirinya sering kali menjadi salah satu orang terakhir yang meninggalkan kantor. "Iya, Pak. Ada sedikit revisi yang harus diselesaikan," jawabnya.

Atasannya tampak mengerti, seperti sudah terbiasa melihat dedikasi Biru yang tak mengenal waktu semenjak resmi bergabung dengan Urban Design beberapa bulan lalu.

"Masuk saja, Biru. Saya juga mau pulang."

"Iya, Pak. Terima kasih," ujar Biru seraya melangkahkan kakinya memasuki lift.

Namun, begitu pintu lift menutup, suasana langsung berubah menjadi canggung. Di dalam ruang kecil itu, Biru merasa sedikit tertekan berada sedekat ini dengan Arya Indra Sukmana, sang CEO Urban Design, yang kebetulan adalah atasannya. Meski Biru adalah orang baru di perusahaan itu, interaksi pribadi dengan Arya di luar konteks profesional selalu membawa perasaan aneh dan canggung, terutama karena ada sebuah rahasia kecil yang hanya diketahui mereka berdua.

Beberapa waktu sebelum Biru mulai bekerja di Urban Design, dirinya pernah bertemu Arya secara tidak sengaja di warung bubur ayam dekat rumahnya. Kala itu, Biru tidak tahu siapa pria yang mengajaknya mengobrol dan memberikan nasihat tentang asmara dan kehidupan. Arya tampak seperti pria biasa yang ramah dan bijak, yang tanpa ragu berbagi pandangan hidup dengan Biru. Percakapan mereka cukup mendalam dan meninggalkan kesan yang tak terlupakan bagi Biru. Biru menganggap pertemuan itu sebagai momen berharga, meski tidak menyadari siapa sesungguhnya pria tersebut.

Saat Biru pertama kali melangkahkan kaki ke Urban Design untuk bekerja, keterkejutannya tak tertahan ketika melihat pria yang pernah menasihatinya di warung bubur itu memperkenalkan diri sebagai Arya Indra Sukmana, CEO perusahaan tempatnya bekerja. Biru benar-benar tak menyangka bahwa pria sederhana yang ditemuinya waktu itu ternyata memiliki peran penting di balik perusahaan besar ini. Apalagi, Arya bukan orang yang mewawancarai Biru saat proses perekrutan. Fakta bahwa mereka pernah memiliki percakapan pribadi di luar konteks kerja membuat Biru merasa canggung setiap kali harus berhadapan langsung dengan Arya, seperti saat ini di dalam lift.

"Proyek resort Sumbawa semua aman, Bi?" tanya Arya tiba-tiba.

Biru menghadapkan tubuhnya ke arah Arya. "Pihak klien ingin merevisi ulang desain, Pak. Tidak semua, tapi yang direvisi cukup membuat tim kami kewalahan. Apalagi proyek ini akan di jalankan dalam tiga minggu ke depan," jawab Biru jujur.

Arya mengernyitkan dahinya. "Bukannya dua hari lalu rancangannya sudah clear, ya?"

"Klien tadi meminta diskusi ulang dan mengutarakan idenya lagi. Katanya mereka kurang cocok untuk beberapa hal sebelum di bangun."

Biru menatap wajah Arya dengan seksama. Bentuk dan warna mata Arya mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang tidak sengaja dia temui di L'amour Café. Biru masih mengingat jelas nama perempuan yang tidak sengaja dis temui di cafe waktu itu adalah Laras.

Berbicara soal Laras, Biru jadi bertanya-tanya dalam hati. Apa kabar gadis itu sekarang? Apa dia sudah kembali melanjutkan hidupnya setelah patah hati?

Biru sempat beberapa kali mengunjungi L'amour Café saat jam makan siang kantor. Tujuan utamanya sebenarnya ingin bertemu dengan Laras dan mengobrol lebih banyak dengan gadis itu. Namun, Biru sama sekali tidak pernah bertemu dengan Laras.

Arya tampak menghembuskan napasnya. "Ada masalah dengan biaya pembangunan?" tanyanya.

"Klien meminta tambahan infinity pool di rooftop. Sedangkan anggaran untuk membangun terlalu ketat jika ingin menambah infinity pool," jelas Biru.

Arya mengangkat alisnya, menatapmu dengan sorot mata tajam namun tenang. "Infinity pool di rooftop? Pasti karena permintaan tren, ya?"

Pintu lift terbuka menandakan mereka telah berada di lantai satu. Keduanya berjalan beriringan keluar dari lift menuju tempat parkir mobil yang ada di depan gedung Urban Design.

Biru mengangguk. "Benar, klien ingin sesuatu yang lebih mewah untuk menarik perhatian pasar. Tapi, dengan budget yang sudah ketat, kita akan kesulitan untuk menambahkannya tanpa mengorbankan aspek lain dari desain."

Arya menghela napas panjang, kemudian menatap Biru. "Apakah ada alternatif yang bisa kita tawarkan tanpa harus merombak keseluruhan anggaran?"

Kini keduanya sudah berada di luar gedung, tepatnya di lahan parkir. Hanya tersisa dua mobil.

Biru berpikir sejenak sebelum menjawab. "Kita bisa mempertimbangkan material yang lebih ekonomis untuk beberapa bagian lain, atau mungkin menawarkan ukuran infinity pool yang lebih kecil, tanpa mengurangi daya tarik visualnya."

Arya mengangguk perlahan. "Baik. Buat beberapa proposal alternatif dan presentasikan ke klien. Pastikan kita menjaga keseimbangan antara desain dan biaya."

"Tentu, Pak."

Arya tersenyum hangat yang mengingatkan Biru pada senyum Papanya. Biru tersentak saat pundaknya ditepuk oleh Arya.

"Kamu arsitek berbakat. Pertahankan kinerjamu, Biru," kata Arya bak seorang ayah yang bangga akan kesuksesan anaknya.

Setelah itu Arya melipir menuju mobilnya, sedan hitam mengkilap yang terparkir. Arya masuk ke dalam, menyalakan mesin, dan segera mengemudi keluar dari area Urban Design. Suara deru mesin mobilnya perlahan menghilang di kejauhan, meninggalkan suasana kantor yang mulai sepi menjelang sore hari.

Biru, yang masih berada di tempat parkir, menghela napas panjang sebelum menuju mobilnya sendiri. Duduk di belakang kemudi, meresapi sejenak suasana hari yang cukup melelahkan. Namun, sebelum sempat menyalakan mesin, ponselnya bergetar. Mengambil ponsel dari saku celananya, dan layar menampilkan nama yang sudah tak asing—Papa. Ada rasa cemas kecil yang muncul di benaknya. Dengan cepat, dia membuka pesan itu, sedikit penasaran tentang apa yang hendak disampaikan oleh ayahnya.

Papa

| Lupa kalau masih punya Papa?

Buru-buru Biru membalas pesan dari Papanya.

Lihat selengkapnya