Mobil yang dikendarai oleh Biru telah memasuki area gedung Papanya. Dari balik kemudi, Biru melihat Papanya yang berdiri tampak menunggu dirinya. Papanya tampak menyilangkan tangan di depan dada seraya terus mengamati mobilnya hingga berhenti.
Biru membuka kaca mobilnya dan tampak raut wajah Papanya dalam mode senggol bacok. Biru memberikan cengiran lebar ke arah Papanya.
"Nggak mau masuk, Pa? Atau mau Biru bukain pintu mobilnya?" tanya Biru basa-basi sebenarnya.
Papanya itu merespon dengan dengusan kasar kemudian memutari bagian depan mobil dan membuka pintu penumpang bagian depan.
"Lupa jalan ke kantor Papa?" tanya Papanya saat Biru mulai menjalankan mobilnya keluar area perkantoran.
"Nggak. Tadi 'kan Papa yang suruh beli nasi goreng dulu," jawab Biru.
"Beli nasi goreng doang lama banget!"
Biru menghela napasnya. Demi apa? Dia harus meladeni kentantruman Papanya saat sedang menyetir. Untungnya dia punya tingkat fokus yang tinggi.
"Tadi Biru ketemu sama teman di warung nasi goreng. Ngobrol dulu makanya lama," ujar Biru menjelaskan.
"Dan rela buat Papa nunggu hampir satu jam?" Papanya melayangkan tatapan tajam pada Biru.
Papanya itu berdecak pelan. "Yang benar saja!"
Biru menggelengkan kepalanya pelan. "Iya, Biru salah. Biru minta maaf," katanya memilih mengalah.
Pada akhirnya, Biru tetaplah yang akan menjadi pihak bersalah jika lawan bicaranya adalah Papanya sendiri—Bayu Evander.
Mungkin jika dilihat oleh orang lain. Sosok Bayu adalah orang yang tegas. Padahal aslinya tukang tantrum. Kalau sudah tantrum, ngalahin toddler pokoknya. Biru sendiri kadang dibuat pusing dengan tingkah Papanya itu. Harusnya 'kan dia sebagai anak yang tantrum lihat kelakuan Papanya.
"Jangan diulang lagi!"
"Iya, Pa, iya."
"Nggak sopan biarin orang tua nunggu lama-lama."
"Perluas kesabaran hamba menghadapai Papa, Ya Allah."
"Iya, Pa, iya."
Hanya iya-iya saja jawaban Biru. Jika menjawab hal lain, maka bisa dipastikan akan ada ceramah dadakan semalaman. Dan Biru tidak mau hal itu terjadi. Dirinya sudah belajar dari pengalaman yang lalu-lalu.
"Sebentar, tunggu dulu. Kamu bilang tadi ngobrol sama teman. Teman siapa? Kamu punya teman di daerah sini?" tanya Bayu memberondong Biru dengan berbagai pertanyaan.
"Ada dong! Papa pikir selama ini Biru nggak ada teman?" balas Biru menatap sekilas Bayu.
"Siapa? Laki-laki atau perempuan?"
Tanpa sadar telinga Biru memerah. Biru sendiri tidak tahu mengapa dirinya menjadi salah tingkah sendiri. Tiba-tiba saja perutnya terasa tergelitik. Ada sesuatu perasaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata yang membuatnya selalu bertanya-tanya.