Pagi hari dimulai dengan pelan, namun tak lama kemudian hiruk-pikuknya bangkit perlahan. Lampu-lampu jalan yang redup mulai padam seiring sinar matahari menyentuh gedung-gedung pencakar langit yang berkilauan. Suara mesin motor dan mobil terdengar seperti simfoni perkotaan, sementara orang-orang bergegas menuju kantor, sekolah, atau ke tempat dimana mereka untuk mencari nafkah. Di tengah hiruk-pikuk itu, aroma khas sarapan dari pedagang kaki lima menguar, nasi uduk, gorengan, dan kopi sachet yang diseduh mendadak di tepi jalan. Trotoar yang semula lengang perlahan dipenuhi oleh pekerja yang berjalan cepat, wajah-wajah lelah yang masih menggantung sisa tidur, namun tetap bergerak cepat di bawah rindang pepohonan kota yang sesekali tampak di sela-sela bangunan beton.
Asap tipis dari knalpot membaur dengan kabut pagi yang cepat hilang saat matahari semakin tinggi. Di beberapa ruas jalan, teriakan pedagang masih terdengar, memanggil para pembeli. Jakarta di pagi hari terasa seperti kota yang baru saja bangkit dari lelapnya, perlahan tapi pasti mulai memanas, siap menghadapi hari yang sibuk dengan semangat yang tak pernah surut.
Tak terkecuali Laras. Dalam balutan kemeja hitam dengan potongan leher berbentuk V yang sederhana namun anggun, ia memadukannya dengan celana berwarna khaki yang jatuh rapi. Sepasang heels berhak lima sentimeter menyempurnakan setiap langkahnya, sementara tas kerja berwarna senada dengan celana menggantung di lengannya. Penampilannya mencerminkan harmoni yang tenang namun tegas, menyambut hari dengan keanggunan yang tak berlebihan.
Pagi hari Laras diawali dengan ocehan Liyana yang menceritakan tentang kencan buta dengan laki-laki yang Liyana sebut bernama Pras. Liyana bercerita jika semalam adalah hal yang istimewa baginya. Pras memperlakukan Liyana dengan baik dan mereka sepakat akan ada pertemuan selanjutnya. Respon Laras? Hanya menanggapi dengan senyuman manis saja.
"Lo nggak capek, Li?" Laras bertanya saat mereka baru saja turun dari bus di halte dekat kantor mereka.
"Huh? Nggak lah. Gue dari tadi naik bus bukan jalan kaki apalagi lari," jawab Liyana seraya mengibaskan tangannya di depan wajah.
"Bukan kaki lo, tapi mulut lo," kata Laras. "Dari pintu kos lo kebuka sampai kantor, lo nggak berhenti bicara panjang lebar."
"Itu karena gue terlalu excited, Laras!" ujar Liyana mendorong bahu Laras. Hampir saja Laras oleng jika tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya.
Laras hanya bisa menghela napas sambil mengelus dadanya, mencoba bersabar. Liyana memang tipe teman yang saat tertawa atau sedang bahagia, tangannya selalu tak bisa diam. Suka menepuk-nepuk bahu orang di sekitarnya. Kadang, saking bahagianya, gerakannya jadi begitu lepas dan spontan.
"Kalau Pras ajak gue pacaran saat kita ketemuan lagi, bagaimana?"
"Baru dua kali ketemu, Li. Masa iya langsung diajak pacaran," kata Laras sangsi.
"Kalau saling suka pasti bisa, Ras. Lo sih nggak pernah mengalami ketemu sama orang yang bikin lo terus kepikiran sama dia. Padahal baru sekali atau dua kali ketemu," kata Liyana.
"Pernah, Li, pernah."
Laras hanya bisa mengungkapkan semuanya dalam hati. Semalaman ia tenggelam dalam pergulatan antara hati dan pikirannya, mencoba memahami maksud dari setiap perlakuan Biru. Maksud perlakuan Biru padanya itu apa? Apa yang sebenarnya yang pria itu inginkan darinya? Dan mengapa jantungnya berdegup lebih kencang setiap kali memikirkan Biru? Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung di benaknya, seperti kabut yang enggan sirna.
Namun, di tengah kebingungannya, Laras malah melakukan hal yang dia tahu bodoh. Dengan kesadaran penuh, Laras memandangi ponselnya yang sedang diisi daya. Biru berkata bahwa pria itu akan menghubunginya. Dalam diam, Laras tanpa sadar berharap sebuah pesan dari pria itu muncul. Tetapi hingga pukul satu malam, layar ponselnya tetap sunyi, tidak ada kabar, tidak ada pertanyaan apakah Laras sudah sampai rumah atau belum dengan selamat.
Laras merutuki kebodohannya. Untuk apa berharap pada seseorang yang tak mampu menepati janji? Dia tersenyum getir, tak habis pikir dengan dirinya sendiri. Bukankah sekarang dia sedang berusaha melangkah keluar dari bayangan perasaan lama, dari cinta yang bertahun-tahun tertambat pada Heksa? Namun, anehnya, setiap kali nama Biru melintasi pikirannya, hatinya justru bergetar lembut, seolah ada harapan yang diam-diam tumbuh di sela-sela kekecewaan.
Laras terjebak dalam paradoks, mencoba move on namun terperangkap pada perasaan yang baru. Seakan Biru adalah simpul yang tak terduga, menghentikan langkahnya menuju kebebasan hati. Laras tahu, ia tak seharusnya berharap lebih, tak seharusnya menunggu pesan yang mungkin tak pernah datang. Tapi ada sesuatu tentang Biru yang membuatnya sulit untuk sepenuhnya berpaling.
Laras tidak bisa sepenuhnya memahami dirinya sendiri, apakah ini sekadar ilusi hati yang menginginkan kehangatan, atau ada sesuatu yang lebih dari sekadar ketertarikan sesaat.
"Gue deg-degan banget kalau jalan sama dia, Ras. Act off service-nya itu loh yang bikin gue dad dig dug serr. Masa kemarin kita makan di restoran seafood, dan lo tahu yang dia lakukan ke gue, Ras? Lo tahu?" oceh Liyana membuat Laras kembali pada fokusnya.
"Nggak tahu, Li. Gue 'kan nggak ikut," sahut Laras saat mereka tengah menunggu di depan lift.
"Dia kupasin kulit udang punya gue, Ras! Bahkan dia juga pisahin daging ikan dari tulangnya. Gimana gue nggak baper coba?" seru Liyana tanpa sadar beberapa pasang mata tertuju ke arah mereka berdua.
Laras memasang senyum canggungnya. Dia benci menjadi pusat perhatian seperti ini. Tapi temannya adalah Liyana. Laras hanya bisa menebalkan muka.
"Pelanin suara lo, Li."
Ucapan Laras hanya dianggap angin lalu saja oleh Liyana. Selebihnya, gadis yang memakai rok span berwarna hitam dengan atasan blouse warna maroon itu terus mengoceh.