Jauh buah dari ladang
Walau begitu sama rasanya
Jaga percaya jangan mengarang
Kalau tak mau kawan binasa
“Tapi aku tak punya dadu, Do. Punyaku hilang,” kata Reihan di seberang telepon.
Ya, sudah aku katakan saja, dadunya berarti hanya satu dan itu adanya di rumahku. Reihan harus percaya dengan hasil kocokan dadu yang kulakukan untuk dia. Dan, Reihan setuju dengan hal itu. Soal bagaimana kami berbicara juga Reihan setuju, bahkan sangat semangat karena belum pernah bermain telepon-teleponan pakai kaleng bekas.
Dia diam dan menyimak saat aku jelaskan bagaimana cara membuat telepon yang dimaksud. Ya, mulai menyiapkan kaleng kosong dan membuat lubang sekecil mungkin di bagian tengah alas kaleng itu. Di lubang itulah kemudian dimasukan benang dan diikatkan. Selesai.
“Siap, segera dilaksanakan. Nanti kau lemparkan benangnya ke rumahku biar nyambung ke kalengku ya, Do!” teriaknya.
Beres. Aku sudah menyambungkan satu sisi benang di kalengku. Di ujung lainnya, aku ikatkan benang itu dengan kayu kecil. Lalu, kayu kecil itu kukeluarkan ke celah jendela dari kamar. Tidak, bukan aku yang berada di luar rumah untuk melemparkan benang itu. Sesuai kesepakatan, yang boleh ke luar rumah hanya ayah. Jadi, tugas ayah yang akan melemparkan benang terikat kayu itu ke rumah Reihan.
“Tambah kerjaan Ayah saja si Dodo ini,” keluh ayah.
“Biar lho, Yah, biar tak suntuk dia,” balas ibu.