Pemburu jatuh hingga rebah
Burung kenari ketawa-ketiwi
Terlalu lama dirundung wabah
Bangunlah segera ibu pertiwi
Satu pelajaran kudapat dari bermain bersama Reihan. Tidak, aku tidak marah. Aku malah memuji keberanian kami dalam menemukan cara bermain ular tangga yang tidak biasa. Soal kalah dan menang, itu hanya bonus. Keseruan bermain tadi, meski kemudian Reihan mundur, itu cukup mengasyikan bukan?
Ayah pun sepakat dengan pikiran itu. Katanya, aku dan Reihan telah menembus batas. Kami terikat dengan keharusan di rumah saja, tapi tetap bisa bermain melewati pagar. Dan, itu bagus. Ayolah, siapa yang pernah berpikir bermain ular tangga jarak jauh bukan?
“Jadi, permainan lain pun bisa kalian mainkan dengan cara itu, Do, misalnya ludo atau malah catur,” begitu kata ayah begitu aku sampai di ruang keluarga.
Aku mengangguk bangga. Mungkin, aku tak akan sebangga ini kalau bermainnya dengan gawai. Ya, pakai telepon video malah membuat kita menghilangkan rasa saling percaya antarteman kan? Semuanya bisa dilihat. Tidak seru.
Apalagi, aku memang tidak dibiasakan bergawai oleh ayah dan ibu. Tidak aku saja, semua adik-adik juga begitu. Kata ayah dan ibu, belum saatnya. Kami masih kecil jadi masih butuh berpikir dengan bebas. Kalau terpaku dengan gawai, maka akan membuat kami manja dan mau gampangnya saja. Entah benar atau tidak petuah ayah dan ibu itu, nyatanya kami menurut.
“Baiklah, Do, sekarang saatnya Ayah beraksi!”
Aku perhatikan gaya ayah saat mengucapkan kalimat itu. Lucu. Seperti orang yang kegirangan. Apalagi ketika dia memegang dan mulai menggantungkan akordionnya di dada, lalu berteriak, “Ayo Bu, anak-anak sudah tak sabar melihat kita.”
Ibu tak kalah girang. Dia berjalan menuju alat musik keyboard kebanggaannya sambil menari-nari. Ibu memang tidak punya piano klasik yang berbadan besar dan megah. Keyboard milik ibu juga tidak begitu besar. Tapi, ketika jari-jari ibu sudah menyentuhnya, suara yang keluar begitu indah. Ya, meski dengan alat musik eletrik itu, ibu tetap memilih suara piano.