Hari itu matahari tidak bersinar seterik biasanya. Hari kelima di bulan Juli 1996 itu adalah hari yang paling menyesakkan dadanya. Bagaimana tidak, seminggu sebelumnya ia sudah bersusah payah mendatangi Panitia Penerimaan Siswa Baru SMA 3. Dengan naik angkot Kijang nomor 32 ia bertiga dengan Leli dan Erik menuju sekolah impiannya. Saat itu baru ada sepuluh unit angkot yang melayani trayek menuju sekolah menengah atas tersebut. Sekolah bercat biru itu adalah sekolah terfavorit di wilayah Cibinong. Maklumlah sekolah baru. Jadi banyak orang yang mengincarnya. Hampir 80% kawan sekelasnya pun memilih melanjutkan sekolah di sini. Termasuk Leli dan Erik yang selalu menjadi saingannya sejak tiga tahun yang lalu.
Kedatangannya ke SMA 3 siang itu disambut angin musim kemarau. Daun-daun Ketapang mulai berjatuhan mengotori halaman sekolah yang dipenuhi beberapa mobil dan sepeda motor pribadi. Ia datang ke sana sebenarnya atas perintah mamanya yang ingin memastikan bahwa guru SMP-nya, Pak Sam, benar-benar sudah mendaftarkan dirinya bersama Leli, Erik, dan Ridwan di sana. Sambutan hangat bapak dan ibu panitia PSB sekolah yang baru punya beberapa lokal kelas itu membuatnya yakin ia pasti bersekolah di sana bersama teman-temannya di tahun ajaran baru. Apalagi ia tahu persis NEMnya melampaui passing grade penerimaan siswa baru pada tahun itu.
Sayang, apa lacur. Semua harapan dan keinginan itu pun menguap begitu saja saat hari pengumuman tiba. Amplop yang diterimanya dari Pak Sam tidak setipis amplop teman-temannya. Ia sangat sedih. Segera ia pulang mengabarkan hal itu. Mama kaget bukan kepalang. Bagaimana bisa anak yang paling pintar semasa bersekolah di SD itu kini ditolak di SMA negeri. Mama membaca surat pengumuman itu berulang kali. Ia berupaya mencari petunjuk di sana. Barangkali saja ia mendapatkan solusinya. Ah, mama memang sangat ingin anak sulungnya melanjutkan ke negeri. Alasannya sederhana, hemat uang. Zaman itu hanya anak-anak orang kaya saja yang bisa sekolah di sekolah swasta. Terutama sekolah bonafide.
Setelah membacanya berulang kali akhirnya mama memutuskan untuk menghadap kepala SMA 3. Ia ingin meminta pertolongannya. Tanpa menunggu lama ia membawa Nunu ikut serta. Segera mereka naik angkot. Sepanjang perjalanan keduanya tidak saling berbicara. Nunu asyik melamun sendiri sambil memandangi daerah-daerah baru yang baru dua kali ia lewati. Ia masih terkagum-kagum melihat banyaknya kebun singkong di sisi jalan yang dilalui. Ia pikir singkong-singkong itulah yang biasa ia goreng tiap minggu untuk teman camilan ayahnya. Ternyata bukan. Singkong-singkong yang ditanam di sepanjang jalan itu bukan yang biasa dikonsumsi secara langsung. Para petani di daerah tersebut menanamnya untuk mengambil sagunya. Sementara Mama sedang memikirkan latar belakang masalah yang dihadapi. Ia masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Sungguh, ia tak paham bagaimana Pak Sam berani mendaftarkan Nunu bukan ke sekolah yang diinginkannya.
Setelah menempuh perjalanan yang tidak singkat, sampailah keduanya di gerbang sekolah. Sekolah baru yang memiliki lahan cukup luas itu belum sepenuhnya dibangun. Hanya ada satu gedung utama yang difungsikan sebagai ruang guru, tata usaha dan kepala sekolah. Sisanya hanya ada satu gedung tambahan di sebelah kiri gedung utama yang terdiri atas empat lokal ruang kelas. Di depannya terdapat lapangan yang sangat luas dan tidak berumput. Lapangan tersebut sepertinya digunakan untuk upacara dan olahraga saja. Tidak ada tiang gawang, basket dan jaring yang biasa digunakan untuk sepakbola, basket dan voli. Hanya lapangan saja. Sejauh mata memandang Nunu tidak melihat pohon-pohon besar di sekitar sekolah selain Ketapang. Di sisi barat daya terdapat tumpukan pasir, batu kali, split, besi dan bata merah. Beberapa tukang sedang asyik bekerja membangun toilet. Toilet ini direncanakan akan digunakan untuk guru dan siswa. Di sana pun belum ada musala apalagi masjid. Jadi setiap kali waktu salat tiba para guru mengerjakan salat di ruang guru secara bergantian. Sementara siswa melaksanakannya di ruang kelas masing-masing.
Setelah menunggu lama akhirnya Mama berhasil menemui Pak Rudi, kepala SMA 3. Ia membawa dan menunjukkan semua dokumen milik anak pertamanya itu. Harapannya sederhana, setelah melihat itu semua Pak Rudi akan menerima putrinya di sana. Toh NEM Nunu sendiri melebihi passing grade yang ditetapkannya. Batas NEM tertinggi yang diterima di SMA 3 adalah 32,00 sementara NEM Nunu 36,00.
Namun sayang Pak Rudi tidak serta merta menyetujui permohonan Mama. Meskipun Mama sudah bilang bahwa ia juga guru. Bukankah sesama guru biasanya saling tolong menolong? Bukankah guru juga memiliki jiwa korsa seperti profesi lainnya? Pak Rudi hanya tersenyum. Ia menunjukkan antrean yang mengular dari depan pintunya hingga keluar ruangan. Ia bilang semua orang itu datang mengantre untuk meminta pertolongannya agar anak-anak mereka diterima di sini. Ia sudah memutuskan untuk menolak anak-anak mereka kecuali mereka mau membayar sejumlah uang. Sekolah akan menggunakan uang tersebut untuk menambah lokal kelas. Maklum kan bantuan dari pemerintah tidak besar dan tidak langsung cair saat dibutuhkan. Jadi partisipasi masyarakatlah yang selama ini sangat membantu keberlangsungan proses pendidikan di sekolah tersebut. Begitu Pak Rudi menjelaskan perihal uang tadi. Mama tersenyum kecut. Ia tidak punya uang sebanyak itu.
Nahas benar nasib Mama siang itu. Ia dimintai uang dua juta rupiah bila tetap ingin memasukkan anaknya ke sekolah. Mama jelas menolaknya. Buat Mama uang sebanyak itu sama jumlahnya dengan besarnya gaji selama tiga bulan. Selain itu juga senilai dengan membeli motor bekas. Gaji Mama sebagai guru tidak besar. Gaji bapak di Maxim’s juga sama. Hanya cukup untuk makan sehari-hari saja. Selain itu, Nunu bukan anak bodoh. Jadi buat apa pakai bayar segala. Kalau bodoh seperti Dini anak tetangganya barulah mama setuju pakai uang. Uang sogokan namanya. Sementara ini kan beda kasus. Enak aja pakai bayar dua juta, pikir Mama.
Semua orang juga tahu bahwa Nunu ditolak bukan oleh panitia Penerimaan Siswa Baru di SMA 3 tapi SMA 1. Ini semua ulah Pak Sam. Ia ternyata salah daftar. Ia tidak mendaftarkan Nunu ke SMA 3 seperti yang diminta tapi malah ke SMA 1 dengan alasan bahwa NEM-nya tinggi. Pada tahun sebelumnya SMA 1 menerima siswa dengan NEM 34,00. Jadi menurut perkiraannya Nunu pasti diterima di SMA 1. Makanya ia ngotot mendaftarkan Nunu ke SMA 1 bukan ke SMA 3. Suwe, kalau sudah begini kejadiannya dia angkat tangan bahkan lari terbirit-birit. Enggan bertanggung jawab. Masa depan Nunu pun menjadi taruhannya. Nunu merasa masa depannya seketika gelap. Bukan hanya buram.
Nunu hanya bisa berdiri melongo melihat keceriaan teman-teman sekelasnya. Mereka tertawa bahagia saat datang ke SMA 3. Mereka berlomba-lomba menuju ruang-ruang kelas yang akan menjadi kelasnya belajar. Dari tempatnya berdiri ia mendengar gelak tawa mereka saat bercanda di dalam kelas.
Ah, nasib. Ia tak bisa ikut berjalan-jalan di sekitar sekolah. Bahkan hanya untuk mengintip kelas-kelas tersebut pun ia tidak punya nyali. Ia terlanjur malu lantaran tidak sedikit dari teman-temannya yang tahu bahwa ia ditolak di negeri 1. Akhirnya ia hanya berdiri mematung di depan ruang kepala sekolah tanpa paham apa-apa sambil menunggu ibunya keluar. Sebagai anak yang baru berusia 14 tahun ia tidak bisa memahami kejadian nahas apa yang sedang dihadapi Mama tercinta. Dengan langkah gontai ditinggalkannya pelataran sekolah saat mama keluar dari ruangan Pak Rudi.
Masih berbaju putih biru ia ikuti langkah kaki Mama yang panjang-panjang dan cepat. Sementara kedua telinganya ditutupinya dengan kapas. Untung ia selalu bawa kapas, betadine, dan plester di tasnya. Jadi saat dibutuhkan salah satu dari ketiganya ia sudah siap. Setengah berlari ia mengejar mama. Keduanya berhenti di depan pintu sekolah. Setelah menunggu tiga puluh menit barulah keduanya naik angkot yang sama untuk pulang.
Sepanjang jalan pulang mama terus saja mengoceh. Kedua matanya melotot ke arah Nunu. Ia tidak peduli para penumpang yang lain memperhatikan mereka berdua. Saking kesalnya sepanjang jalan itu ia membentak-bentak buah hatinya. Sementara Nunu duduk diam. Sesekali dibuangnya wajahnya ke samping. Dibukanya jendela angkot lebar-lebar. Berharap angina segar yang menerpanya bisa menyegarkan otaknya yang kalut siang itu.
Ia bosan mendengar omelan, cacian dan umpatan Mama sepanjang jalan. Ia maklum Mama kecewa. Mamalah yang telah memberikannya mimpi untuk bersekolah di sekolah ini. Mama bahkan sudah bilang akan mengirim Nunu ke pendidikan lanjutan untuk menjadi anggota Angkatan Udara. Kini, semua rencana dan impian itu pun terbang bersama konflik yang sedang dihadapi Mama di kantor. Ia tak tahu harus bagaimana lagi. Yang jelas ia sangat malu sekali melihat Leli, Mila, Erik bahkan Hendrik dan Dini yang paling bodoh di kelasnya menyapanya di Lorong SMA 3. Oh Tuhan ke mana wajahnya harus disembunyikan?
**
"Pak, buruan ikut saya ke Pertiwi!" teriak Mama sesampainya di rumah. Tanpa ba bi bu lagi dibukanya pintu rumah dan langsung masuk. Ditinggalkannya Nunu yang berjalan lamban di belakangnya. Bapak yang sedang menonton televisi terkejut bukan alang kepalang. Demi dilihatnya wajah merah sang istri dan wajah Nunu yang sudah tak enak dipandang ia segera berjalan ke kamar. Sedikit pun ia tak berani mengeluarkan kata-kata. Dipakainya kemeja putih dan celana hitam. Dalam hitungan menit ia sudah siap mengantarkan Mama. Nunu pikir hanya Mama dan Bapak saja yang pergi, et dah ternyata ia pun harus ikut serta mengekor di belakang keduanya. Ia tak berani membantah. Bahkan meminta ijin untuk ganti baju pun ia takut padahal ia sudah lapar dan bete.
Ah, elah penderitaan banget. Ia jadi tidak punya waktu masuk ke kamarnya sendiri guna berganti baju sekaligus menumpahkan air mata yang sudah ditahannya sepanjang jalan. Apa boleh buat dengan baju seragam putih biru yang masih menempel di badan ia pun berjalan di belakang kedua orang tuanya. Perutnya yang sudah bernyanyi sejak dua jam lalu pun diacuhkannya. Ia bahkan belum minum seteguk air sejak jam 8 pagi. Kasihan.
Ketiga anak beranak itu pun benar-benar jalan kaki sejak turun dari angkot biru nomor 08 di depan pasar Cibinong. Memang sekolah yang dimaksud Mama itu letaknya di tengah perkampungan padat. Jadi tidak ada angkutan umum yang bisa mengantarkan mereka ke sana. Kalau mau bisa aja sih naik ojek. Tapi Mama dan Bapak memilih berjalan kaki. Alasannya biar Nunu hafal jalan. Besok kan ia harus ke sekolah sendiri. Kedua orang tuanya tidak akan mengantarkannya ke sekolah. Jadi tidak boleh sampai nyasar. Selain itu ongkos ojek juga lumayan mahal. Sepuluh ribu per orang.
Sepanjang jalan Mama bercerita apa yang telah terjadi di sekolahnya juga di SMA 3 kepada Bapak. Perseteruannya dengan Si Botak atasannya gara-gara hal sepele hingga uang 2 juta yang diminta Pak Rudi disampaikannya tanpa jeda. Bapak mendengarkannya dengan seksama. Hanya sesekali ia menimpali curhatan sang istri.
Sementara Nunu yang sebenarnya korban beralih posisi menjadi pesakitan. Sepanjang jalan menuju tempat yang tak pernah didengar sebelumnya ia harus menerima semua tumpahan rasa marah, kecewa dan kekesalan sang ibunda. Tak ada sedikit pun kata-kata dari Bapak yang membelanya saat itu. Mereka seolah kompak menumpahkan semuanya sebagai kesalahannya semata.
Sepanjang jalan ia hanya bisa menatap kedua kakinya sambil melangkah. Sesekali punggung tangannya menyeka keringat dan air yang jatuh dari kaca bening kedua netranya. Tak ada yang menghiraukan penderitaannya. Duka dan laranya ditelannya sendiri. Kedua orang tuanya sibuk dengan berbagai praduga yang bisa mereka ambil dari peristiwa tersebut.
Hidup begitu berat baginya saat itu. Lebih berat dari sekadar dikecengin Adolf, Erik dan Hendrik teman sekelasnya di SMP. Bahkan sangat berat ketimbang ditinggal Kak Wawan yang pernah menemani hari-hari indahnya di SMP. Duh kok ya lagi begini malah jadi baper bin galau. Umpatnya. Ah, andai ada Kak Wawan ia bisa curhat. Andai saja. Lagi-lagi ia berkhayal.