Di Sepanjang Rel Kereta

Neneng Hendriyani
Chapter #2

Bab 2 Ucup

Pagi itu ia sudah berjalan menyusuri jalanan yang dilewati bersama kedua orang tuanya tempo hari. Sesekali ia berhenti. Dilihatnya gedung SMP PGRI Pabuaran di sebelah kanannya. Ia tersenyum. Baguslah aku tidak nyasar, batinnya berbisik. Di sebelah kirinya berdiri sebuah stasiun kereta yang baru saja selesai dibangun. Konon katanya stasiun kecil itu akan segera dioperasikan menjelang pergantian tahun. Entah benar entah tidak. Yang ia tahu tetangganya, Mbak Ita, selalu pergi ke Depok naik kereta di stasiun Kampung Sawah yang juga stasiun kecil sejak awal tahun ini. Kedua stasiun tersebut memang baru dibangun.

Setelah satu jam berjalan kaki keluar masuk gang sempit sampailah ia di gedung tua di mana para pekerja sedang asyik mengangkut pasir dan batu. Ia memandang sekelilingnya. Sekolah ini ternyata luas juga. Lapangannya cukup besar untuk menampung seribu siswa sekaligus. Ini lapangan yang berfungsi ganda. Setiap Senin pagi dan Sabtu sore lapangan ini digunakan untuk upacara penaikan dan penurunan bendera. Di hari-hari lainnya lapangan ini dipakai untuk kegiatan kerohanian, latihan pencak silat, taekwondo, dan baris berbaris. Jadi betul dugaannya tadi malam. Di sini ia tidak melihat ada lapangan basket, voli apalagi bulu tangkis. Huh. Ditelannya ludahnya. Kerongkongannya terasa sakit. 

 Dilemparkannya pandangannya ke arah lain. Selain memiliki lapangan yang luas, sekolah ini juga memiliki masjid. Masjidnya besar sekali. Tempat wudunya berada di bawah. Tangganya lumayan curam. Agak licin. Jadi harus hati-hati bila mau turun dan naik. 

Ia lihat meskipun gedungnya sudah tua tapi sekolah ini memiliki kelas yang sangat banyak. Maklumlah kelas satunya saja ada sebelas kelas. Belum lagi kelas dua dan tiganya. Total semuanya ada tiga puluh tiga kelas. Ditambah ruang guru, ruang kepala sekolah, ruang wakil kepala sekolah, ruang tata usaha dan ruang kepala yayasan. Oh iya di bawah tangga utama ada kantin koperasi. Ini satu-satunya kantin yang dikelola langsung oleh koperasi sekolah. 

Sepertinya yayasan saat ini sedang merencanakan renovasi besar-besaran. Kantor tempat ia diterima sore itu sudah rata dengan tanah. Hanya ada beberapa besi yang terpancang di tiap pojoknya. Ia melengos. Cepat sekali semuanya berubah. Seperti hari yang harus dijalaninya. Rasanya baru kemarin ia pulang bersama Arista, Putri, Wawan, Ari, dan geng Halimah dari SMP. Baru kemarin ia pun berpisah dengan mereka dan geng Erik yang usil. Kini ia ada di tempat baru yang sama sekali tidak dikenalnya. Air matanya kembali mengembang mengingat mereka.

Ia pun segera mengalihkan perhatian. Tak dibiarkannya hatinya dirundung kesedihan. Ini hari pertama sekolah. Aku harus tenang dan bahagia. Tekadnya. Ditatapnya puluhan siswa yang baru datang. Mereka terlihat akrab. Beberapa dari mereka masuk ke ruang kelasnya. Tidak ada satu pun yang menyapanya. Mereka langsung duduk berpasang-pasangan. Kehadirannya sama sekali diacuhkan. Bahkan senyumnya pun tidak dibalas. Mereka terlihat sombong. Akhirnya ia kembali ke tempat duduk yang dipilihnya tadi pagi. Beruntung ia datang paling pagi jadi bisa memilih meja dan bangkunya duluan. Ia duduk sendirian di bangku terdepan sepanjang hari. Tak ada yang duduk bersamanya. Ia belum mengenal satu pun dari mereka. Dengan hati sesak, ia ikuti kegiatan pengenalan lingkungan sekolah hari itu hingga sore menjelang.

Saat matahari sudah menjorok ke barat, kelas pun bubar. Kembali dilihatnya puluhan orang berbaju putih biru keluar bersamaan menuju gerbang sekolah. Mereka saling berbagi cerita satu sama lain. Akrab sekali. 

Dibuangnya wajahnya saat ia berpapasan dengan beberapa murid perempuan. Hatinya masih kesal lantaran tadi pagi dicueki. Selintas diliriknya seragam putih yang mereka kenakan. SMP Pertiwi, bacanya dalam hati. Oh kini pahamlah ia mengapa mereka begitu akrab. Ya, iyalah, mereka semua satu SMP. Jadi semua kawan SMA-nya berasal dari SMP yang sama kecuali ia dan Eva. Pantas saja mereka sangat akrab. Eva sendiri lulusan SMP 6 di Depok. Berbeda dengan Nunu, Eva langsung duduk sebangku dengan Ade yang ternyata teman mainnya di rumah. Ia maklum kini dengan apa yang terjadi tadi. Ia orang baru di sekolah ini.

Ia tak tahu jalan mana yang harus ia pilih saat pulang sekolah. Saking asyiknya melamun ia jadi tidak sadar bahwa jalan yang ia tempuh berbeda dari jalan saat ia berangkat sekolah. Awalnya ia hanya mengikuti saja langkah kawan sekelasnya. Kini ia kebingungan sendiri. Kalau ia ikut belok ke kanan ia tidak tahu ujung jalannya menuju ke mana. Kedua orang tuanya sendiri belum pernah mengajaknya menyusuri jalan-jalan yang ada di sekitar sekolahnya. Wajahnya segera pucat. Ia panik. Bukan panik karena enggak bisa pulang alias nyasar. Ia justru panik membayangkan mamanya yang akan marah besar bila ia pulang terlambat. Mama tidak akan percaya bahwa ia tersesat. Masa iya, anak SMA bisa tersesat. Begitu nanti mama meledeknya dengan bibir ditarik ke atas.

Dipandanginya jalan tanah yang ada di hadapannya. Diingat-ingatnya lagi apakah ia pernah melewatinya atau tidak. Ada banyak gundukan tanah di kiri kanannya. Juga gunungan batu kerikil di kedua sisi gundukan tanah. Di ujung jalan juga ada tempat pembuangan sampah. Ia mencoba mencari patokan rumah atau pohon yang bisa membantunya mengingat arah pulang. Di saat itulah sebuah tangan menepuk pundaknya. Ia melompat kaget. 

"Siapa, kamu?" tanyanya spontan. Kedua matanya melotot. Dipegangnya tas ranselnya erat-erat. 

Anak lelaki yang menepuknya tertawa. "Baru pisah tiga tahun masa lupa ama gua." Sambil cengengesan diuyeng-uyengnya kepala Nunu. 

"Ih, enggak sopan banget sih Lu." Sahutnya sewot. Tangannya menepis tangan si cowok yang sudah berhasil mengacak-acak sisiran rambutnya.

"Ya ampun, Lu beneran enggak ingat gua, Nu?" 

"Ni gua, Ucup alias Supriatna"

Nunu memandangi wajah lelaki itu lamat-lamat. Ucup? Sepertinya ia pernah mendengar nama itu. Di mana, ya? Ingatannya terbang ke masa-masa awal ia bersekolah di SD. Sebuah masa yang paling indah dari seluruh perjalanan pendidikannya. Ia mencoba mengingat nama yang baru didengarnya. 

"Nana? Nana Supriatna?" tanyanya ragu.

"Iya. Ini gua. Lu kan manggil gua, Ucup. Bukan Nana. Emak lu doang yang manggil gua Nana.” Jelasnya.

Nunu tersenyum. Tak disangka ia bertemu lagi dengan teman satu kelasnya di SD. Sungguh ia bahagia sekali. Akhirnya ia pun pulang bersama dengan Ucup sore itu. Ia tak perlu susah payah mencari patokan jalan berupa rumah, gedung, kantor atau pohon yang bisa membantunya pulang. Cukup ikuti langkah-langkah ringan Ucup maka sampailah ia ke terminal Cibinong. Tempat ia biasa naik angkot biru nomor 08 atau 35 menuju rumahnya.

Lihat selengkapnya