Siang itu entah mengapa Ucup tak jua muncul di tempat biasa. Sudah lima belas menit lebih Nunu menunggu. Bedaknya sudah mulai luntur akibat kena keringat. Hari yang sangat panas memang. Dengan perasaan yang tak menentu dilangkahkannya kedua kakinya menjauhi halte. Segera ia belok ke kiri jalan lalu masuk ke sebuah gang persis di sisi kios buah. Sekitar lima belas meter ia tiba-tiba dipeluk seorang anak laki-laki setinggi dirinya.
“Kena!" katanya dengan keras sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Lepas. Lepasin. Ih, kurang ajar banget sih Lu main peluk-peluk orang sembarangan. Lepasin enggak? Kalau enggak..."
"Kalau enggak, apa?" Balasnya dengan tatapan yang sulit dimengerti. Nunu terus saja meronta. Kedua matanya liar mencari pertolongan. Di gang itu tak ada orang yang lewat. Hanya ada beberapa gerobak yang diparkir di sisi kebun kosong. Beberapa perempuan berlari ke arahnya dari dalam sebuah rumah. Ya, setidaknya itulah yang Nunu lihat. Bangunan tua yang ada di tengah kebun itu memang berbentuk rumah pada umumnya. Yang membedakannya hanyalah gaya arsitekturnya saja. Nunu sangat menyukai bentuk jendelanya. Itu mengingatkannya kepada rumah-rumah yang ada di film-film tempo dulu.
"Anton, aduh kamu ini. Lepaskan mbaknya, ya, Sayang." Bujuk salah satu perempuan yang berpenampilan modis dengan balutan dress polkadot.
"Enggak. Aku enggak mau. Aku mau main sama mbak ini, Mama." Rajuknya.
Nunu melongo mendengar anak tersebut berbicara. Ia tak sangka sama sekali anak yang sudah berkumis itu manja sekali kepada mamanya. Sebentar, apa iya itu mamanya, ya? Pikirnya dalam hati. Kok tua banget, ya. Ah, bodo amatlah. Emaknya kek, tantenya kek yang penting tuh bocah lepasin gua. Titik. Ga nyaman banget dipeluk kenceng kayak gini. Emang gua pacarnya apa. Hatinya ngedumel terus sementara kedua telinganya menangkap ada nada yang tidak beres dari suara anak tersebut.
Perempuan itu mengelus kepala Anton dengan lembut. Perlahan ia melepaskan pelukannya. Segera ia memeluk dan menciumi perempuan yang dipanggilnya mama tadi. Perempuan yang dipanggilnya mama itu menuntunnya kembali ke rumah. Didengarnya si mama sibuk bercerita banyak hal kepada anaknya sepanjang jalan. Nunu melihat Anton bersorak-sorai mendengar kata-katanya. Dengan bersungut-sungut ditinggalkan tempat itu setelah salah satu ibu yang tadi mengejar Anton menjelaskan bahwa Anton adalah siswanya yang cacat mental. Tiga hari dalam seminggu Anton bersekolah di sana.
Maafkan Anton, ya. Ia murid berkebutuhan khusus di sini. Itu tadi mamanya. Maaf, ya. Kamu enggak kenapa-kenapa, kan? tanyanya memastikan.
Enggak, Bu. Alhamdulillah. Iya, Bu. Semoga Anton lekas sembuh, ya, Bu. Maaf saya permisi. Sudah kesiangan. Alasannya enggan memperpanjang percakapan tentang Anton. Perempuan itu tidak mencegahnya. Setelah mengucapkan terima kasih, ia pun kembali ke rumah tersebut. Nunu memandanginya. Huh, nasib gua kenapa ya hari ini? Udahlah nungguin si Ucup cape banget eh ketemu makhluk aneh. Ke mana lagi tuh anak udah jam segini belum nyusul juga? Padahal gua kan jalannya pelan-pelan banget. Masa iya enggak kekejar. Gerutunya dalam hati.
Ia melanjutkan perjalanannya seorang diri hingga sesampainya di sisi empang ia pun berhenti. Ia berbalik dan melihat serombongan anak sekolahan berjalan ke arahnya. Mereka hanya tersenyum saat melewatinya. Sesekali terdengar tawa di antara mereka. Kelihatannya mereka sedang asyik ngobrol. Ucup masih tak kelihatan juga. Akhirnya dengan berat hati ia pun berjalan menyusul rombongan tadi. Ia memang tak berani jalan sendiri melewati sisi tegalan empang. Trauma masa kecilnya membuatnya parno tiap kali melihat eceng gondok.
Saat baru sampai di pintu gerbang sekolah ia terkejut bukan main. Apaan tuh. Hatinya terperanjat. Napasnya langsung naik turun dengan cepat. Wajahnya memerah. Jelas ada yang tak beres. Ia memandang ke sekeliling area sekolah, berharap tak ada yang memperhatikan apa yang dilihatnya. Ia mencoba menenangkan hati dan melanjutkan perjalanan. Tinggal sedikit lagi ke pintu tangga. Sayang konsentrasinya pecah. Dilihatnya lima anak laki-laki sudah berada di kelas satu satu (1-1). Kelas paling atas dan paling ujung, persis di lantai terakhir.
"Nu, ada salam" teriak salah satu dari mereka.
Ia diam dan pura-pura tak mendengar.
"Nu, lihat sini dong. Ih, somse amat sih enggak mau lihat. Sini, liat ke atas sini dong. Ada siapa nih?" teriak yang satunya lagi.
“Ada Aa ganteng nih, Nu.” Balas yang lainnya.
Duh, Tuhan. Kampungan banget sih mereka pake teriak-teriak begitu. Ini kan sekolah gede. Tiap lantainya aja ada lima kelas. Bikin malu aja pake manggil-manggil nama gua.
Saat ia sedang asyik mengabaikan panggilan dan teriakan mereka secara bergantian, tiba-tiba ia melihat ada tulisan yang lumayan besar sedang dipegang oleh beberapa orang di depan selasar kelas itu. Ada Namanya tercetak dengan huruf-huruf yang sangat besar.
"Nu, baca ini, Nu" Suherman, cowok yang tadi teriak pertama kali ke arahnya berteriak sambil menunjuk ke arah spanduk.
Dengan muka sebal ia menengok Astaga. NUNU, I LOVE YOU. Ia segera menutup mulutnya dan memalingkan muka. Sebelah tangannya mengepal. Ini keterlaluan, katanya dalam hati. Benar-benar kampungan. Awas lu, gua laporin ke Ucup.
Sementara itu cowok yang sejak awal senyam senyum saat teman-temannya memanggil Nunu segera turun ke arah pintu tangga. Ya inilah satu-satunya tangga yang menghubungkan semua lantai di gedung tersebut. Ukurannya cukup lebar. Bisa menampung delapan hingga sepuluh orang berjalan bersisian dalam waktu bersamaan.
Saat Nunu tiba di pintu gerbang pertama ia kaget. Ketiadaan lampu penerangan di sana membuatnya waspada. Ya, agak gelap di sana. Remang-remang. Kalau cuaca cerah, anak tangga di tangga pertama ini bisa dilihatnya dengan jelas. Saat itu ia melihat sesosok tubuh berdiri. Tangannya menggenggam sesuatu. Sepertinya ia sengaja berdiri dan menantikannya.
"Hai" sapanya sedikit ramah. Disodorkannya setangkai mawar kepadanya.
Glek. Ingin rasanya ia menampar cowok itu seketika. Namun, niat tersebut diurungkannya demi dilihatnya Suherman cs yang notabene adalah anggota ekskul bela diri dan paskibra sudah berdiri tak jauh darinya. Ia merasa tidak nyaman sekali. Bagaimana pun mereka satu ekskul dengannya. Namun, diam adalah pilihan yang lebih baik yang bisa dilakukannya saat itu.
"Ayo, Yud, jangan diam aja."
"Iya, Yud, cepetan. Masa gitu aja lama banget".
"Elah, kok kalian malah diem-dieman gitu, sih. Yud, jangan diem dong. Cepetan nembaknya".
Wajah Nunu seketika memerah demi didengarnya kata-kata tadi. Oalah jadi cowok di depannya ini mau nembak dia. Busyet. Berani banget. Dikira gua mau, apah. Dih, enggak lah yaw. Ngaca dulu sana kalau mau nembak gua. Hatinya sibuk bicara sendirian sementara matanya awas mengamati tingkah laku Yudi dan kawan-kawannya. Saat ada kesempatan ia pun segera lari menuju kelasnya. Gagallah usaha Yudi siang itu. Ia sempat mendengar suara ledekan teman-temannya saat ia berhasil kabur dari situ.
Sesampainya di kelas, dibantingnya tasnya ke meja. Giginya gemeretukan menahan kesal, marah dan juga malu. Napasnya terengah-engah. Ia tampak berantakan sekali. Ia tak tahu motif apa yang membuat Yudi cs berani senekat itu. Semua orang tahu masa SMA adalah masa yang paling indah. Masa di mana cerita cinta banyak terjadi. Tapi, Nunu tidak pernah berharap cerita cintanya bakal begini. Amat sangat kampungan dan menjengkelkan. Kejadian tadi sungguh membuatnya kesal. Apalagi saat itu tiba-tiba Tio menyindirnya di depan teman-teman.
"Cie, yang baru jadian. Suit, suit." Ledeknya disambut gelak tawa cowok-cowok yang duduk di belakang. Nunu makin sebal. Sudahlah ia tak suka kepadanya gara-gara dibilang blo’on tiap kali Pak Tri masuk, eh sekarang gara-gara Yudi ia kena diledekinya juga. Dasar Tio brengsek. Umpatnya.
"Cie... yang baru jadian lagi asyik ngelamun. Ngelamunin apaan nih? Kasih tau kita-kita dong." Ledeknya lagi semakin keras sehingga semuanya dengar.
"Wih ada yang baru punya pacar, ya, Yo?", tanya Diana temannya yang jangkung keriting tiba-tiba bertanya saat masuk kelas.
"Yoi."
"Siapa?"
"Tuh, si kutu buku." Jawabnya sambil tertawa terbahak-bahak diikuti kawan-kawannya.
"Oh, si kutu buku laku juga, ya?" Ledek Eman, teman sebangkunya.
"Gua kira kutu buku doyannya sama buku doang. Lah ternyata sama cowok juga doyan, ya". Sambungnya lagi. Disambut gelak tawa seisi kelas.
"Normal kaleee. Kan kutu bukunya betina." Balas Tio enggak mau kalah.
"Emang kutu buku ada kelaminnya?" tanya Iyan dengan polosnya.
Seisi kelas tertawa mendengar pertanyaan Iyan. Evi saja yang selama ini musuhan dengan Nunu ikut tertawa terpingkal-pingkal. Nunu kian geram.
Huh, hari yang enggak menyenangkan. Belum mulai belajar saja, perasaan Nunu sudah kacau balau. Moodnya langsung berubah. Emosinya pun meledak. Dihampirinya cowok terganteng di kelas itu. Tanpa basa basi, ditamparnya wajahnya. Spontan semua orang melongo. Tak disangka gadis manis yang sangat pendiam itu berani juga terhadap Tio. Semuanya mulai rame. Beberapa anak laki-laki mendekatinya. Nunu tak bergeming. Dipandanginya mereka satu persatu. Dipelototi seperti itu ciut juga hati mereka. Akhirnya membiarkan Nunu lewat dan kembali duduk di bangkunya yang terletak di barisan terdepan. Sepanjang hari itu semuanya menahan diri. Tak ada yang berani berceloteh. Termasuk Tio dan gengnya. Mereka semua hanya saling pandang saja. Alhasil kelas pun sepi. Tak ada yang usil saat guru-guru mengajar. Semuanya kompak, diam.
Rupanya kesabaran Nunu masih diuji hingga sore hari. Saat bel pulang berbunyi ia segera keluar kelas. Ditujunya kelas Ucup yang berada di ujung kelasnya. Ingin rasanya ia menangis saat mengetahui sahabatnya tidak masuk hari itu. Duh, kena deh pulang sendirian. Hatinya kalut. Sejujurnya ia takut pulang sendiri setelah semua kejadian hari ini. Ia takut Yudi akan mengejar-ngejarnya di tengah empang.
Namun sayang ia tidak menjumpai Ucup di sana. Akhirnya mau tak mau ia pun mulai menuruni tangga. Semua teman sekelasnya segera memberinya jalan saat melihatnya turun. Tak ada yang bercakap-cakap di depannya. Setelah agak jauh barulah suara-suara sumbang terdengar. Cewek galak. Begitulah mereka menyebutnya.
Sesampainya di pinggir jalan yang menuju pabrik Capsugel, ia memperlambat langkahnya. Sekelompok anak laki-laki sedang menunggunya di atas gundukan tanah yang di bawahnya diberi bantalan kerikil. Dengar-dengar sih itu buat jalan kereta. Tapi enggak tahu kereta jenis apa dan kapan dioperasikan. Sampai ia kelas tiga ia tak pernah melihat satu pun kereta yang melewatinya.
Sekelompok anak laki-laki itu segera membuat setengah lingkaran saat Nunu tiba. Mereka membuat benteng agar Nunu tidak lari. Lalu tiba-tiba dari belakang mereka muncullah laki-laki paling menyebalkan yang dikenalnya di sekolah. Siapa lagi kalau bukan Yudi.
"Hai, cantik." Sapa Yudi sok manis.
"Kok diam aja. Pulang bareng, yuk." Ajaknya sambil menggamit lengannya.
Nunu menolak. Ia tak suka diperlakukan seperti itu. Tanpa permisi main gamit lengannya. Matanya melotot ke arah semua anak laki-laki yang ada di sekelilingnya.